CHANGED (sudah DITERBITKAN)

By sfdlovato

13.3M 356K 57.3K

Berawal dari sebuah dompet dan berujung menjadi perjalanan cinta yang rumit. Kenya Sharp adalah seorang maha... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
PRE-ORDER!!!
ATTENTION!! CHANGED hadir di Gramedia & Gunung Agung!!
CHANGED Side B di Gramedia!
Sequel CHANGED, "REBELS: A New Beginning" sudah terbit
Hari Ini PRE ORDER Rebels: The Last
Koleksi Semua Bukunya (1-4 Tamat)
CHANGED Full WATTPAD Version

Chapter 17

197K 5.4K 394
By sfdlovato

Degup jantungku semakin tidak karuan ketika Harry membuka matanya, dadanya naik turun sebelum akhirnya ia membuka mulutnya yang menggoda itu. Dia menatapku dengan getir. Mulutnya mengatup sebentar kemudian terbuka lagi, "Aku harap kita bisa berteman."

Jantungku rasanya copot. Apa dia bilang? Gadis batinku tertawa dengan frustasi! "Berteman? Kau bercanda." Ujarku geli. Jelas-jelas Harry tidak mungkin serius dengan perkataannya.

"Tidak. Dengar, kupikir kita bisa mencobanya."

Keningku berkerut cepat, "mencobanya? Mengapa pula kau ingin berteman denganku? Harry, aku hanya ingin sekedar mengingatkanmu bahwa aku bukan tipe gadis yang senang dengan pesta dan adu balap liar, untuk apa kau berteman denganku?"

"Karena kau sudah bersama si pecundang itu!" Ujar Harry cepat seraya menggertakkan giginya. Sekali lagi ucapannya membuat jantungku nyaris copot. Apa maksud perkataannya itu?

"A-aku tidak mengerti." Demi Tuhan, aku benar-benar tidak tahu apa maksudnya. Apa ia baru saja berkata bahwa ia ingin berteman denganku karena aku sudah terlanjur bersama dengan Ezra? Keningku berkerut cepat.

Ia menekan bibirnya menjadi garis keras. Rahangnya menegang kemudian ia membuang muka dariku. "Lupakan." tuturnya dan ia pergi begitu saja melewatiku.

Sialan. "Hey!" Aku berbalik tapi Harry hanya mengangkat satu tangannya kemudian menghilang di ujung tangga. Apa-apaan itu?! Gadis batinku memberengut kesal, merasa dipermainkan. Tepat disaat aku hendak mengejarnya, seseorang membuka pintu dan memanggil namaku.

"Kenya, apa yang sedang kau lakukan di luar sini?" Ezra menoleh ke samping kiri untuk memastikan apa yang sedang aku lihat di ujung tangga sana. "Dimana orang itu?"

"Dia sudah pergi."

"Well, kalau begitu masuklah. Kau harus makan."

Aku mengangguk pasrah. Masuk ke dalam ruang apartemenku kemudian duduk di meja makan. Ezra langsung mengambil kursi kosong di sebelahku sementara Jules tidak terlihat dimana-mana. Mungkin ia sedang di kamarnya.

"Apa yang kalian bicarakan di luar tadi?"

Jari-jariku terhenti ketika hendak menyuapkan makanan cina ke dalam mulutku dengan sumpit. "Ia hanya datang untuk minta maaf. Sudah itu saja."

"Dan kau memaafkannya?"

Aku menggidikkan bahu, melanjutkan makan malamku disaat Ezra menyimpan segudang pertanyaan di kepalanya, aku tahu itu. Aku sudah bisa menebaknya. Mungkin ia memilih untuk menunggu hingga aku selesai dengan makananku. Oh, ternyata aku kelaparan. Aku menghabiskan makanan cina yang tidak kuketahui apa namanya ini dengan lahap.

Ezra mengendus terhibur, tangannya melayang untuk mengusap puncak kepalaku. "Sudah kubilang kau butuh makan."

Aku tersipu malu. Menatapnya dengan enggan kemudian berlalu menuju dapur untuk mencuci piring-piring kotor. Kulirik Ezra yang sekarang bangkit dari tempat duduknya di meja makan, ia beranjak ke dalam kamarku kemudian keluar dengan membawa handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi. Aku melanjutkan cucian piringku sesegera mungkin.

"... Aku sudah memberimu kesempatan untuk berbicara dengannya! Sekarang kau yang dengarkan aku, Harry. Aku tahu apa rencanamu, aku sudah bisa menebaknya... Tidak! Aku tahu kau, dan kau menyuruhnya untuk menjauhi Liam hanya untuk sebuah kedok..." aku terkesiap ketika mendengar Jules berbicara dengan Harry di teleponnya. Posisi dapur yang bersebelahan dengan kamar Jules membuatku bisa mendengar ucapannya yang berkoar-koar dengan jelas.

Apa yang sedang mereka bicarakan? Dengan cepat aku mencuci tanganku sebelum berjalan keluar dapur kemudian mengintip ke dalam kamar Jules. Aku penasaran apakah yang sedang mereka bicarakan adalah aku atau orang lain?

Perlahan aku membuka pintu kamar Jules, ia terlihat sedang mondar-mandir di dekat tempat tidurnya. Tangannya yang bebas bergerak ke atas secara dramatis, kemudian ia terhenti dan kembali berbicara di telepon.

"...Kalau begitu kau urusi saja urusanmu dan Liam seorang diri, kau tidak perlu membawa siapa-siapa... Tidak! Aku tidak bisa percaya padamu sejak kejadian itu dan sampai kapan pun kau tidak boleh menyentuhnya... " Jules terkekeh. "...Well, kau mungkin bisa mencari gadis mana pun tapi tidak dengannya, bajingan!"

Mulutku menganga lebar. Mendengar Jules berkata-kata kasar pada Harry cukup membuatku terkesan, ternyata di dunia ini bukan hanya aku saja yang terganggu oleh si gila kontrol itu. Dapat kupastikan bahwa saat ini Harry pasti sedang berusaha untuk mengontrol Jules dengan kuasa yang sama sekali tidak berhak untuk ia lakukan. Tapi, satu hal yang kusadari bahwa kemungkinan besar ini tidak ada kaitannya denganku, tapi mungkin dengan teman Jules yang lain? Karena jelas-jelas aku tidak tidak ada sangkut pautnya dengan Liam.

Sesaat kuperhatikan Jules langsung membeku di tempatnya dengan mulut yang menganga. Wajahnya memucat, masih dengan telepon genggam yang menempel di telinga dan pipinya. Oh, ya Tuhan, apa yang Harry katakan sampai Jules menjadi sepucat itu? Julia melayangkan tangannya ke rambutnya yang ia sanggul secara sembarangan, ia terlihat frustasi. Jules menutup teleponnya kemudian ia menoleh dan berjalan mendekati lemari pakaiannya. Pun aku melangkah mundur, duduk di meja makan berpura-pura tenang sampai Jules keluar dari dalam kamarnya dengan membawa tas selempang di bahunya.

Aku duduk dan terus memperhatikan.

Dengan terburu-buru Jules berjalan ke arah dapur dan terlihat panik. Astaga, apa yang terjadi? Ezra yang bertelanjang dada tiba-tiba muncul dari dalam kamar mandi dan ikut menatap Jules yang kewalahan dan seperti ketakutan.

Tidak tahan, aku pun bangkit dari kursi dan berjalan ke arahnya. "Jules? Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir. Jules menjawabku dengan gelengan, dan guratan emosi yang campur aduk terpampang jelas di wajahnya. Ia menggigil, wajahnya pucat, tangannya bergerak memasukkan dua buah pil ke dalam mulutnya lalu meneguk segelas air. Ia berjalan melewatiku dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Aku mengikuti di belakang.

Sementara itu Ezra masih terdiam sambil memberiku tatapan 'ada-apa-dengannya'? Aku hanya bisa menggeleng. Kuperhatikan Jules yang sedang memasukkan botol obat tidur ke dalam tasnya sebelum berbalik dan menatapku nanar.

"Jules?"

"Aku harus pergi. Aku akan menginap di tempat Tyler malam ini, jika Harry datang mencariku katakan padanya bahwa kau tidak tahu. Aku bisa mempercayaimu, kan?" bibir Jules bergetar hebat dan sekilas aku seperti melihat genangan air mata di pelupuknya. Jelas-jelas Jules sedang ketakutan sekarang.

Ya Tuhan, ada apa ini? Apa yang Harry katakan hingga Jules ketakutan setengah mati seperti ini? "Ka-kau baik-baik saja?"

Jules menggeleng, entah itu merujuk pada pertanyaanku atau ia memang sedang kewalahan. Dengan terburu-buru ia berjalan melewatiku dan membuka pintu apartemen kami.

"Jules? Jules!" aku berlari mengejarnya, tapi Jules sama sekali tidak mau berbalik atau pun menoleh, ia terus mempercepat langkahnya hingga ia menghilang di arah tangga.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Ezra di belakangku.

Aku memutar tumit dan menggeleng padanya, "Aku juga tidak tahu. Kudengar ia tadi sedang bertelepon dengan Harry dan tiba-tiba saja wajah Jules berubah pucat dan ketakutan seperti itu."

Ezra memincingkan matanya, menatapku penuh tanda tanya lalu berdecak pinggang, "Apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian bertiga. Mengapa pria itu seakan mengancam kehidupan kalian?"

"Aku tidak tahu, Ezra. Demi Tuhan, aku juga tidak tahu! Harry adalah teman Jules dan aku mengenal Harry setelah ia pindah ke jurusanku. Jules sering mengajakku untuk datang ke pesta di frat-nya tapi aku benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai ini. Kupikir ini hanya masalah yang Harry miliki dengan teman-teman di dalam kelompoknya, aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal ini kecuali kalau...—" Oh, sial! Aku nyaris kelepasan berbicara! Sial! Sial! Sial! Mataku mejereng lebar.

"Kalau apa?" Ezra mengerutkan keningnya, menatapku curiga dan melangkah mendekatiku.

Aku menelan ludah, "Bukan apa-apa."

"Oh, ayolah, Kenya! Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku. Apa yang telah si bajingan itu perbuat padamu?"

Aku menggeleng cepat, "Tidak ada."

"Kau bohong."

"Tidak, aku tidak berbohong." Ujarku sambil menatap lantai di bawah kakiku dan bertopang dagu. Aku tidak bisa menatap matanya! Gadis dalam batinku langsung menggigit kuku-kuku jarinya dengan cemas. Oh, Tuhan, aku bodoh sekali!

"Kupikir kau mempercayaiku." Desahnya. Sekejap perasaan bersalah menjalar di sekujur tubuhku, aku mendongak, membawa tanganku turun lalu natapnya nanar.

"Memang."

Ezra memalingkan wajahnya dariku. Mulutnya mengerucut sebelum ia beranjak masuk ke dalam kamar dan membanting pintu kamarku dengan keras. Astaga, ia benar-benar marah. Bagaimana ini? Mengapa semuanya jadi bertambah rumit? Jules pergi dengan terburu-buru dan ketakutan terpampang jelas di wajahnya lalu sekarang Ezra marah padaku.


Dasar Harry bajingan! Ini semua gara-gara ulahnya!

"Jules!" Harry muncul secara tiba-tiba, mengagetkanku. Sial, ini karena aku lupa menutup pintunya. Dan mengapa juga ia kembali? Kukira ia sudah pulang? "Dimana temanmu?" Harry menjerengkan matanya lebar-lebar ke arahku. Brengsek, ia seperti orang kesetanan.

Aku menggeleng cepat, "A-aku tidak tahu."

Harry mengendus berat sebelum berjalan masuk ke dalam kamar Jules, mencarinya di setiap sisi ruangan. Ya ampun, aku lega karena Jules sudah pergi.

"JULES!! JULIA!!!" Harry berteriak, membuatku tersentak dan meloncat kaget. Ia berteriak seakan-akan ingin membuat urat-urat lehernya putus. Seketika aku pun paham mengapa Jules memutuskan untuk pergi. Harry sangat mengerikan.


"Di-dia tidak disini." Ujarku kalut. Harry langsung berbalik dan menatapku tajam dari kejauhan. Sesaat itu pula Ezra muncul dari dalam kamarku dengan pakaian lengkap. Ekspresi wajahnya tidak bisa ditebak, ia langsung berdiri beberapa meter di depanku.

"Ada apa lagi kau kemari? Pergi dari sini."

"Dimana Jules?" Harry menggertakkan gigi-giginya dan menatapku.

"Kau tidak dengar? Ia tidak ada disini, ia sudah pergi sejak tadi. Lebih baik sekarang kau pergi meninggalkan tempat ini dan jangan kembali lagi." Tutur Ezra dengan tegas. Seandainya saja aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang memunggungiku!

Sejurus kemudian Harry datang menghampiri kami dengan langkah lebar dan cepat, membuat jantungku berpacu oleh adrenalin. Oh, jangan sampai! Jangan sampai ada keributan disini! Harry menghentikan langkahnya tepat beberapa inci dari Ezra, memaksaku untuk berjalan ke arah mereka berdua secara spontan. Harry memasang tampang kerasnya, memelototi Ezra dan hidungnya kembang kempis, tangannya mengepal kuat seakan siap meninju Ezra hingga babak belur.

"Kau tidak berhak mengusirku." Ujar Harry di sela-sela giginya yang mengatup rapat. Kedua orang di hadapanku ini sama sekali tidak berkedip. Ezra sebisa mungkin memasang mimik wajah sedatar mungkin meski aku tahu ia sama marahnya denganku.

"Kenya, suruh dia pergi." Ezra tidak melepas tatapannya dari Harry.

"Harry, pergilah. Jules tidak ada disini."

"Lalu dimana dia?"

"Aku tidak tahu."

Harry berpaling ke arahku, menatapku keras, "Kau bohong." Astaga, kata itu lagi! Apa seburuk itukah kemampuanku dalam berbohong? Gadis batinku menepuk jidatnya dengan frustasi.

"Tidak, aku tidak berbohong. Jules pergi secepat angin, aku tidak tahu kemana ia pergi. Aku bersumpah, Harry." suaraku bergetar dan masih merasa kalut.

"Aku benci kata-kata itu. Terdengar seperti omong kosong." Oh, sialan.

"Kurasa kau tidak mengerti, ia benar-benar tidak tahu. Sebaiknya kau pergi sekarang sebelum aku menelepon polisi." Polisi? Ezra pasti tidak serius!

Sontak mataku menjereng lebar, melirik keduanya secara bergantian, Harry memalingkan wajahnya lagi pada Ezra dan memberikan tatapan yang mematikan—itu pun kalau tatapan memang bisa membunuh—dan tanpa kusadari tiba-tiba Harry sudah mendorong tubuh Ezra menjauh dengan kedua tangannya.

"Hentikan!" aku menjerit, berusaha untuk berdiri di antara mereka berdua sebelum hal yang jauh lebih buruk lagi terjadi. "Harry, kau harus pergi sekarang. Cepat." Tapi ia tidak mau mendengarkanku. Matanya yang menjereng lebar masih belum terlepas dari Ezra yang berdiri di belakangku, rahangnya mengeras dan lagi-lagi hidungnya kembang kempis. Sejenak aku berpikir bahwa Harry memang sedang kesetanan. Dadanya naik turun seolah menahan iblis di dalam dirinya.

Aku meringis ngeri menatapnya. Menyentuhnya pun aku tidak berani...

"Aku akan membuat perhitungan denganmu." Harry mengernyit sebelum akhirnya ia mengangkat kakinya pergi dari apartemenku.

Dengan cepat aku langsung menutup pintu dan menguncinya agar ia tidak bisa kembali lagi. Aku menghembuskan napas lega, berbalik dan kulihat Ezra yang mematung menatapku. Apa yang salah?

"Ezra? Ada apa?"

Butuh beberapa detik baginya untuk menjawab, "Kau harus pindah dari sini. Kau harus menyewa apartemen lain."

Oh, tidak. "Tidak, itu tidak perlu."

"Tentu kau harus! Ia bisa datang kemari kapan pun ia mau dan melakukan hal yang jauh lebih buruk padamu, Kenya! Kumohon mengerti lah, ia berbahaya! Ia bisa menyakitimu!"

Berbahaya? Benarkah begitu? Ini persis dengan apa yang diucapkan oleh Jules padaku. Ia selalu memperingatkanku untuk jauh-jauh dari si bajingan itu. Tapi kupikir ia hanya berlebihan, buktinya sampai sekarang tidak ada korban yang jatuh karena Harry. Atau mungkin belum.

Aku menggelengkan kepala dan beranjak menuju sofa untuk duduk. Aku membawa kedua tanganku ke rambut sebelum menggigit bibir bawahku. "Kau tahu aku tidak mungkin pindah dari sini, aku dan Jules tinggal bersama karena kami kesulitan membayar uang sewa seorang diri. Ezra, percaya lah bahwa aku akan baik-baik saja. Harry datang kemari karena ia memiliki urusan dengan Jules, ia tidak mungkin menyakitiku."

Ezra berdiri di hadapanku sekarang, kembali berdecak pinggang dan guratan emosi memenuhi wajahnya. "Aku tidak mengerti dengan dirimu. Kau berkata seperti itu seakan-akan kau sudah mengenalnya jauh melebihi apapun. Dengar, Kenya, aku memintamu untuk pindah karena aku menyayangimu, aku tidak mau sesuatu yang buruk menimpamu, jika kau sampai terluka disaat aku tidak ada maka aku—" Ezra tidak melengkapi kalimatnya, guratan emosi di wajahnya langsung berubah menjadi kesedihan dan itu membuatku merasa sangat teramat bersalah.

Oh, astaga...

"Ezra, kau tidak perlu khawatir." Aku bangkit dari sofa dan menangkupkan wajahnya dengan kedua tanganku. "Aku sudah dewasa, aku bisa menjaga diri. Lagi pula mulai detik ini aku tidak akan membiarkannya datang kemari."

"Oh, ya? Bagaimana caranya?" Ezra menatapku miris, sementara aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku akan mengunci pintu apartemen ini rapat-rapat agar ia tidak bisa masuk." Jawabku seadanya, dan aku tahu Ezra tidak mempercayai ucapanku.

Ia tergelak dan menyeringai. "Jika ia datang kemari dan menakutimu, kau tidak boleh ragu untuk menelepon polisi, kau mengerti?"

Aku menelan ludah, "Aku mengerti."

"Berjanjilah padaku, ini demi kesalamatanmu."

"Aku mengerti, Ezra." Ujarku, tidak mengiyakan tapi juga tidak menolak ucapannya. Ia langsung menarikku dalam pelukan, aku bisa merasakan detak jantungnya yang bedegup kencang oleh adrenalin. Sekilas aku seperti mendengar ia bergumam mengatakan 'aku mencintaimu', namun aku hanya diam karena tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.

"Bisa kita pergi tidur sekarang?"

Aku mengangguk. Ia pun melepaskan pelukannya dariku dan kami berjalan masuk ke dalam kamar, mematikan lampu kemudian masuk ke dalam selimut. Aku tidur dengan posisi yang memunggunginya, namun Ezra dengan segera melingkarkan tangannya di pinggangku, menarikku mendekat hingga punggungku menempel dengan dadanya.

Sejenak aku mencoba untuk mencari desiran di sekujur tubuhku, akan tetapi aku tidak menemukannya, yang ada malah perasaan bersalah dan sedih yang mendominasi batinku sekarang. Aku pun seolah diingatkan, bahwa Harry memiliki efek yang berbeda padaku. Sentuhannya dan ciumannya seakan dapat membuatku menembus langit-langit kamar, terlepas dari apa yang terjadi malam ini.

***

"Kau yakin kau ingin pergi sekarang?"

Ezra menaruh tasnya di lantai kemudian menggenggam kedua tanganku dan meremasnya lembut, "Sebenarnya aku tidak ingin, tapi ini tuntutan dari rumah sakit kalau tidak, aku terancam tidak lulus dan harus mengulang tahun depan."

Aku mengerucutkan bibirku, sebaik mungkin berusaha untuk memperlihatkan kesedihanku untuk melepas Ezra pergi ke Washington pagi-pagi sekali. Setelah apa yang terjadi semalam, aku pun merenung dan berpikir bahwa Ezra mungkin benar-benar orang yang tepat untukku. Aku tidak boleh mengecewakannya hanya karena seorang bajingan yang gila kontrol dan tidak tahu diri, aku harusnya bisa lebih bersyukur karena memiliki Ezra hingga detik ini.

"Well, kalau begitu hati-hati di jalan, dokter Mills. Aku tidak sabar untuk datang pada acara kelulusanmu." Aku tersenyum menyemangati, seketika itu pula Ezra membawa tangannya ke saku belakang celananya dan mengeluarkan isi dompetnya. Awalnya aku tidak mengerti apa yang hendak ia lakukan, hingga akhirnya ia memberiku beberapa lembar uang $100 dan tersenyum lembut padaku. Astaga. "Apa ini?" aku mendongak untuk menatap kedua mata abu-abunya.

"Maaf aku tidak bisa memberimu banyak untuk saat ini, tapi kau tahu aku sangat peduli pada dirimu dan Will, jadi kuharap ini mungkin akan sedikit berguna."

Oh, ya Tuhan, Ezra...

Dengan cepat aku menariknya dalam pelukan, meremas rambut coklat tembaganya dan menghirup aroma tubuhnya yang berbau aftershave. "Aku mencintaimu." Ujarku pelan nyaris berbisik.

Aku pun langsung dapat merasakan senyumannya meski aku tidak bisa melihat wajahnya, "Aku juga mencintaimu. Jaga dirimu baik-baik."

***

Karena aku tidak memiliki jadwal di hari Rabu, aku pun memutuskan untuk menjenguk Will di rumah sakit, dan hingga sekarang Jules masih belum pulang ke apartemen. Entah apakah ia akan menginap di tempat Tyler hingga beberapa hari ke depan atau tidak. Aku sudah mencoba menghubunginya beberapa kali tapi selalu tersambung ke mailbox, mungkin karena ia masih berusaha untuk menghindar dari Harry. Ah, ya ampun, sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang Harry katakan hingga ia membuat Jules ketakutan setengah mati? Dan siapa sebenarnya orang yang mereka bicarakan? Mengapa pula ada sangkut pautnya dengan Liam?

"Selamat siang, dokter Schmidt." Ujar Will membuyarkan lamunanku. Otomatis aku pun berbalik dan ternyata Christian sudah berdiri di belakangku.

"Selamat siang, Will. Bagaimana kabarmu?"

"Baik."

"Kau sudah siap untuk melakukan kemoterapi-mu yang selanjutnya besok?"

"Tentu." Will tersenyum lebar. Padahal aku tahu sebenarnya ia tidak menyukai kemo karena ia cukup sering mengeluh mual padaku.

"Besok? Kukira kemonya berjalan satu bulan sekali?" tanyaku heran.

Christian langsung mengangkat sebelah alisnya dan enggan menatapku. "Ada yang perlu kusampaikan padamu, nona Sharp. Bisa kita bicara di luar?" Oh, sial. Apa maksudnya ini?

Jantungku berdegup cepat, namun aku mengangguk dua kali padanya, kemudian Christian berbalik dan berjalan keluar kamar inap diikuti olehku di belakangnya. Aku tahu saat ini ia sedang berusaha untuk memasang mimik wajah yang tenang meski situasi ini tidak bisa dibilang baik.

"Apa yang terjadi? Apa keadaan Will bertambah buruk?"

"Secara teknis tidak."

"Apa maksudnya itu?" sergahku cepat.

Christian menyadari kecemasanku dan langsung menyuruhku untuk tenang, "Sel kanker di dalam tubuh Will ternyata berkembang sangat cepat, aku juga tidak mengira ini akan terjadi. Entah apakah ia salah makan atau tidak meminum obatnya, tapi yang jelas kemoterapi harus dijalankan satu minggu sekali mulai saat ini."

Brengsek. "A-aku tidak mengerti, kau bilang Will salah makan atau tidak meminum obatnya?" keningku mengerut dalam. Dan tanpa kusadari bibirku bergerak terlalu cepat hingga menggigit ujung lidahku sendiri.

"Well, sejauh pengamatan para perawat mungkin Will memang memakan makanannya dengan baik, tidak ada junk food atau pun makanan-makanan beresiko tinggi yang memicu perkembangan sel kanker dalam tubuhnya, tetapi jika ia tidak meminum obatnya dengan benar maka... well, kau pasti mengerti apa yang kumaksud."

Ya. Ya, aku mengerti. Sialan, bagaimana bisa Will tidak meminum obatnya?!

"Ja-jadi berapa biaya yang harus kubayar?" ini adalah pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin lagi aku lontarkan. Terlalu banyak beban! Terlalu banyak biaya! Aku bisa gila! Sejenak wajah Spencer terbesit dipikiranku. Kalau begini bisa-bisa aku harus kembali lagi padanya.

"Kau tidak perlu memikirkannya, nona Sharp."

Apa? Tidak perlu memikirkannya? Ia bercanda, ya?! Tentu aku harus memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan uang untuk membayar semua tanggungan biaya rumah sakit!

"Dokter, aku—"

"Aku ingin meminta tolong padamu, dan jika kau bersedia, aku akan membiayai seluruh pengobatan Will."

Oh, ya Tuhan... Apa Christian sedang berusaha untuk menyogokku?

Aku berdehem dan mengerjapkan mataku beberapa kali. Gadis batinku bergeliat tidak nyaman di kursi panasnya. "Kau meminta tolong padaku? Mengapa?"

"Karena aku yakin kau adalah satu-satunya orang yang bisa menolongku... dan Sarah."

Dan Sarah, ia bilang? Gadis batinku langsung meledak-ledak begitu mendengar nama itu di udara. Astaga, tenangkan dirimu, Kenya. Tenangkan dirimu! Ingat, Christian akan membebaskanmu dari biaya rumah sakit jika kau berhasil menolongnya.


"Well, aku tahu mungkin ini kedengarannya tidak lazim dan aku mengerti jika kau merasa keberatan. Tapi kau boleh menolak, nona Sharp. Aku tidak akan memaksamu."

"Tidak, well, maksudku katakan saja apa yang kau butuhkan, dok. Jika aku bisa membantumu, mungkin aku akan mencobanya."

Christian menarik napas dan melengkungkan kedua alisnya ke atas, tidak menatapku dan justru memandang ke lantai di bawah kakiku. Butuh beberapa detik sebelum ia kembali berbicara. "Dulu aku memiliki seorang putra. Ya, ini memang cerita pribadi tapi kurasa kau akan mengerti nantinya."

Oh.

"Ia meninggal tiga tahun yang lalu saat ia masih berusia 16 tahun—jika ia masih hidup ia sudah seumuran dengan Harry sekarang. Ia mengalami kecelakaan dan tewas di tempat saat mendaki gunung bersama teman-teman satu klub-nya di sekolah menengah atas. Aku sangat terpukul saat itu—sangat, sangat terpukul. Begitu pun dengan Clarissa—mantan istriku. Semenjak aku menikah dengan Sarah, aku pun tahu bahwa putranya juga memiliki ketertarikan pada hal yang berbahaya. Harry mencintai motornya sama halnya seperti Nick mencintai kegiatan mendaki gunung.

"Awalnya kami sama sekali tidak terlalu khawatir hingga pada suatu hari Harry mengalami kecelakaan motor saat melakukan balap liar dua tahun yang lalu. Ia memiliki 11 jahitan di dekat pelipisnya dan ia koma selama 4 hari. Sejak saat itu Sarah menaruh kekhawatiran berlebih terhadap putranya—putra kami, maksudku." Ia mengoreksi, ada jejak senyum menghiasi wajahnya yang rupawan. "Sarah meminta Harry meninggalkan hobinya, tapi Harry tidak pernah mau mendengarkan. Kau tahu bagaimana sifatnya, bukan?"

Ya, dia seorang bajingan yang keras kepala, gila kontrol, brengsek, pemarah, dan terkadang ia sok tahu.

"Dan semenjak aku melihatmu bersama Harry di rumahku, kupikir mungkin kau bisa menolongku."

Aku mengerjap keheranan. "Mengapa kau berpikir seperti itu?"

"Ada sesuatu dalam dirimu yang bisa mengontrol emosi putraku—secara ajaib tentunya. Dan kurasa mungkin dengan itu kau bisa membujuk Harry untuk berhenti dari hobinya."

Kontan aku tergelak heran dan menggeleng pelan. Ini sungguh terdengar konyol. Aku? Memiliki kemampuan mengontrol emosi si bajingan itu? Dan sekarang ayahnya memintaku untuk membujuknya untuk berhenti melakukan hobinya? Ini sungguh diluar kemampuanku.

Christian mendengus berat, "Aku mengerti jika kau berpikir bahwa permohonanku ini sulit untuk dilakukan dan kau pasti merasa keberatan, nona Sharp. Tapi aku sudah mengupayakan segala cara untuk menghentikannya karena jujur aku menganggap Harry seperti putra kandungku sendiri. Aku tidak ingin kejadian yang menimpa Nick juga terjadi padanya."

Sesaat aku bergidik ngeri ketika membayangkan hal itu terjadi. Harry kecelakaan motor kemudian meninggal di tempat seketika? Itu pasti akan menjadi mimpi buruk bagi Sarah dan Christian... juga bagiku... mungkin.

"Aku selalu ingin bisa dekat dengannya, namun sayangnya Harry adalah orang yang sulit untuk didekati, ia tidak pernah mau mendengarkanku kecuali disaat ia membutuhkan uang. Emosinya mudah meledak-ledak, pikirannya terlalu dipenuhi oleh sesuatu yang... entahlah, aku juga tidak bisa menggambarkannya. Tapi aku tahu kau pasti paham apa maksudku, karena aku yakin kau jauh lebih mengenalnya ketimbang aku mengenal putraku sendiri."

Wow. Itu jelas membuatku tersentuh tapi sayangnya kurasa ada yang salah dari ucapan Christian. Aku tidak mengenal Harry—paling tidak, aku tidak mungkin mengenalnya jauh lebih dalam ketimbang Christian mengenalnya. Aku baru mengenal Harry selama dua minggu. Bayangkan, bagaimana mungkin aku lebih mengenal Harry ketimbang Christian yang sudah mengenalnya bertahun-tahun?

"Kumohon, nona Sharp. Kuharap kau mau mempertimbangkannya. Aku akan sangat berhutang budi jika kau bersedia."

Aku tergelak, bingung harus berkata apa. "Dokter Schmidt, aku sebenarnya ingin saja menolongmu, sungguh. Tapi aku tidak yakin jika aku bisa melakukannya."

"Cobalah." Sergahnya cepat, lagi-lagi membuatku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Wajahnya tegang dan menaruh harapan besar terhadapku. "Aku yakin sesuatu dalam dirimu itu bisa membantu Harry keluar dari segala masalahnya termasuk masalah kami."

Kami? Ia dan Sarah? Apa Sarah tahu tentang hal ini?

Aku mengulum bibirku sebelum menjawab, menimbang-nimbang apa yang sekiranya harus kukatakan. Ingat Will! Jika kau berhasil kau tidak perlu lagi menjadi pekerja seks komersial! Gadis batinku berteriak menyemangati. Namun, jika aku menerima kesepaktan ini, itu berarti mau tidak mau aku harus mendekati Harry. Ini jelas berbanding terbalik dengan perkataanku kemarin padanya. Aku sudah berniat untuk menjauh darinya.

"Baiklah, aku akan mencoba." Seketika itu pula wajah Chrsitian menggambarkan kelegaan yang tiada tara. Senyuman lebar tersungging di wajahnya. "Tapi bagaimana jika aku gagal?"

"Itu tidak akan menjadi masalah, setidaknya kau sudah benar-benar mencoba, nona Sharp. Tapi aku yakin kau pasti berhasil. Ia mau mendengarkanmu."

Ia mau mendengarkanku? Aku menggigit bibir bawahku, antara yakin dan tidak yakin.

"Terimakasih, nona Sharp. Aku akan menghargai segala usahamu, apapun itu."

Aku hanya tersenyum, menatap matanya dengan ragu-ragu. Ya, kuharap aku bisa melakukannya. Semoga saja.

TO BE CONTINUED!

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

Continue Reading

You'll Also Like

5.2M 59.8K 15
(Dave & Clara) watty winner 2016 Part 86-End sudah di hapus karena telah di terbitkan. Terima kasih :) Jatuh cinta itu membuat pikiran dan logika k...
249K 39.3K 33
❝ Sora, kau ada waktu Jum'at minggu depan?❝ Sora Egbert jelas mengingat dua kenangan mengejutkan dalam hidupnya. Pertama ketika Seojin Hwang datang m...
3.4K 282 10
"Bukan ini yang aku minta!" Kisah pilu dari seorang laki laki bernama Juna, karena kekhilafan yang dibuatnya, ia harus kehilangan anak, istri dan ked...