My Beautiful Girl

By putytiya

565K 18.1K 198

WARNING ALERT!! Cerita tidak konsisten, banyak revisi, kata tidak jelas, rating 17+ ~ Alessa dan Leo adalah m... More

My Beautiful Girl : 01
My Beautiful Girl : 02
My Beautiful Girl : 03
My Beautiful Girl : 04
My Beautiful Girl : 05
My Beautiful Girl : 06
My Beautiful Girl : 07
My Beautiful Girl : 08
My Beautiful Girl : 09
My Beautiful Girl : 10
My Beautiful Girl : 11
My Beautiful Girl : 12
My Beautiful Girl : 13
My Beautiful Girl : 14
My Beautiful Girl : 15
My Beautiful Girl : 16
My Beautiful Girl : 17
My Beautiful Girl : 18
My Beautiful Girl : 19
My Beautiful Girl : 20
My Beautiful Girl : 21
My Beautiful Girl : 22
My Beautiful Girl : 23
My Beautiful Girl : 24
My Beautiful Girl : 25
My Beautiful Girl : 27
My Beautiful Girl : 28
My Beautiful Girl : 29
My Beautiful Girl : 30
My Beautiful Girl : 31
My Beautiful Girl: 32
My Beautiful Girl : 33
My Beautiful Girl : 34
My Beautiful Girl : 35
My Beautiful Girl : 36

My Beautiful Girl : 26

9K 353 2
By putytiya

Vote, please...

.


Saat itu malam musim panas yang hangat, dan matahari terbenam di cakrawala. Ruangan itu dipenuhi dengan suara gemerisik pakaian dan dentingan gantungan saat Alessa, dengan hati-hati memilih barang miliknya yang akan dikemas. Dia telah menyelesaikan pekerjaanya selama tiga bulan dengan Leo, dan sekarang hari itu akhirnya tiba, dia tidak bisa menahan perasaan membingungkan selama ia membereskan barangnya.

Saat Alessa melipat pakaiannya dan meletakkannya dengan rapi ke dalam kopernya, ingatan akan hari-hari pekerjaanya yang dulu membanjiri pikirannya.
Saat dia menutup ritsleting kopernya dan meletakkannya di dekat pintu, dia merasakan kehampaan menyelimuti dirinya.

Alessa berjalan meninggalkan kamar, ia berjalan menarik kopernya ke arah dapur dimana Leo, duduk membelakanginya sembari memakan sushi yang pria itu pesan.

Berdehem kecil, mencoba mencari perhatian. "Terimakasih Leo, atas segalanya." Alessa berkata, dengan menaruh kunci kamar di meja makan.

Leo tak bergeming sama sekali, ia terus menyuap sushi ke dalam mulutnya, tapi wajahnya terlihat masam.

"Leo, gue..."

"Sebelum lo pergi, bisa buatin spaghetti dulu?" Potong Leo cepat, menaruh sumpit ke atas meja.

Alessa terdiam, menatap Leo dari samping.

"Please." Kepalanya menoleh ke arah Alessa, matanya terlihat sedih dan murung.

Alessa mengangguk kecil sebagai jawaban, ia lalu berjalan ke arah dapur dan memakai apron bersiap memasak.

Leo tahu bahwa ini akan menjadi terakhir kalinya perempuan itu memasak di dapurnya, terakhir kali ia akan menikmati aroma bumbu favoritnya yang Alessa masak.

"Sa."

"Ya?"

"Jadi, setelah ini lo mau kemana?" Tanya Leo, matanya memperhatikan bagaimana perempuan itu mondar-mandir.

"Gue belum tau." Alessa memutar knob kompor.

"Lo gak lanjut S2?"

Pertanyaan tersebut membuat Alessa tercenung, sebenarnya jurusan yang ia ambil sekarang bukan jurusan yang ia inginkan. Alessa menginginkan jurusan kedokteraan, namun ia mengurungkan niatnya karena faktor biaya-bagaimanapun Alessa harus mengesampingkan keinginan disaat dia sedang kabur, jurusan sekarang yang ia ambil menjadi alternatifnya.

"Sa." Panggil Leo membuyarkan lamunan Alessa.

Alessa mengerjap matanya, tersadar. "Gue mungkin gak lanjutin, soalnya jurusan yang gue inginkan selama ini kedokteran." Tak ada salahnya mengungkapkan keinginan pada Leo, toh mereka tak akan bertemu.

"Oh, kedokteran."

Alessa mengangguk singkat.

Leo memperhatikan Alessa yang sedang sibuk memasak. Suasana di sekitarnya terasa hangat dan harum, dengan bau sedap yang menguar dari wajan yang dipakai. Leo akan merekamnya di kepalanya, saat setiap gerakan yang dilakukannya terlihat begitu indah dan elegan, seakan-akan ia sedang menciptakan sebuah karya seni yang luar biasa. Dia pasti akan merindukan hal tersebut.

Alessa menghidangkan spaghetti terakhir yang ia buat untuk Leo.

Leo tersenyum berterimakasih dan mulai mencicipi hidangan itu, ia menikmati setiap rasa, mengetahui bahwa itu akan menjadi terakhir kalinya ia mencicipi masakan perempuan itu. "Thanks." Gumamnya di sela mengunyah.

Alessa tersenyum sebagi jawaban, ia lalu kembali menyimpan apron dapur ke tempat asalnya.

"Kita akan ketemu lagi kan?" Tanya Leo tanpa menatap Alessa yang berjalan melewatinya.

Alessa tertawa kecil, sebagai tanggapan.

"Alessa?" Panggil Leo, mengusap sudut bibirnya menggunakan punggung tangan. "Gue..."

Alessa menunggu, meremas pegangan koper. Berharap Leo tak mengatakan apapun, mereka telah melupakan ciuman tidak disengaja mereka atau mengatakan hal absurd lainnya. Lama menunggu, namun Leo tak kunjung melanjutkan ucapannya. "Goodbye, L."

Leo meremas garpu kesal, kesal akan dirinya yang tidak memiliki keberanian untuk melanjutkan ucapannya dan kesal apa yang perempuan itu ucapakan. "Not goodbye. But, See you later!!" Koreksi Leo, cemberut. Mereka akan bertemu lagi, dan mungkin Leo sudah memiliki keberanian yang ia cari-cari saat mereka akhirnya bertemu.

Alessa terdiam tak menanggapi, matanya melihat ke sekeliling ruangan untuk terakhir kalinya dan melihat Leo yang tengah menyantap spaghetti dengan dentingan kesal, mencoba mengukir setiap detail ke dalam ingatannya sebelum berbalik untuk pergi.

Udara kental dengan ketegangan saat Leo melihat Alessa berjalan ke arah pintu apartement. Suara langkah kakinya bergema di telinganya, pengingat menyakitkan akan apa yang akan hilang darinya. Langit gelap dan merenung, mencerminkan badai yang mengamuk di dalam hati Leo.

Ingatan akan ciuman mereka menghantuinya, mengejeknya dengan apa yang bisa terjadi.

Saat Alessa menghilang dari pandangan, Leo tahu bahwa dia tidak akan pernah bertemu lagi, tapi dia tidak memiliki keberanian untuk mencegahnya karena semuanya telah selesai.

***

Seperti 1 minggu sebelumnya, Alessa terbangun karena suara burung berkicau di luar. Ia bangkit dari tempat tidurnya, merentangkan tangannya, dan berjalan ke jendela untuk melihat pemandangan kebun teh yang indah-biasanya ia melihat hiruk pikuk kota yang padat. Dia menghirup udara segar dalam-dalam dan tersenyum, mengetahui bahwa hari lain bersama, Thunder menantinya.

Alessa memeluk tubuh ibunya dari belakang, ia melirik panci yang mengepul asap lembut.

"Pagi, sayang." Sapanya terdengar sangat ceria dan bahagia.

Alessa tersenyum cerah sembari mengangguk, ia melangkah mengikuti tubuh ibunya yang mondar-mandir menyiapkan sarapan.

"Kebiasan belum mandi!" Tegur Danella melihat Alessa hanya memakai baju tidur.

Alessa terkikik, lalu melepaskan pelukan Danella dan berjalan menjauh dari dapur setelah mengambil satu buah apel.

Thunder adalah kuda kesayangan miliknya, Alessa menuju ke kandanb untuk memberi makan Thunder dan merawatnya. Setelah lama tak berjumpa, Alessa memiliki hari yang panjang dengan Thunder, yang belum mengenalnya lagi setelah lama ia tinggalkan.

Kudanya itu sangat sensitif dengan orang baru, pada hari pertama bertemu ia hampir di tendang olehnya. Namun, secara perlahan Thunder mulai mengenali siapa Alessa. Dengan sebuah apel, di pagi hari.

Saat Alessa menyikatnya, dan berbicara kepadanya tentang rencananya untuk hari itu bersama Thunder. Kudanya itu dengan ajaib mendengarkan dengan saksama, seolah-olah dia mengerti setiap kata yang diucapkannya.

Setelah dandan, Alessa membebani Thunder dan mengajaknya jalan-jalan melintasi ladang. Dia menyukai cara dia bergerak, otot-ototnya yang kuat beriak di bawahnya. Saat mereka berkendara, dia merasa bebas dan hidup, dengan angin di rambutnya dan matahari di wajahnya.

Saat mereka kembali ke kandang, Alessa menghabiskan waktu bersama Thunder, memberinya hadiah dan bermain dengannya. Ia menyukai cara mencium tangannya dan suara rengekan lembutnya.

Thunder bersuara saat mengetahui Alessa bersiap pergi.

"Aku tak akan kemana-mana Thunder, besok aku akan kembali."

Mata Thunder mengedip-ngedip, saat tangan lembut Alessa mengusapnya.

Alessa tersenyum lalu berlalu meninggalkan Thunder di kandang, ia melihat sekilas Thunder yang menatapnya dari kejauhan.

Suara air mengalir memenuhi ruangan saat Alessa melangkah ke kamar mandi, membiarkan air hangat membasahi tubuhnya. Ia tidak terburu-buru, menikmati sensasi air di kulitnya dan uap yang memenuhi udara.

Alessa berjalan memasuki ruangan makan, di mana aroma teh memenuhi udara. Dia duduk di meja, bergabung dengan keluarganya untuk sarapan.

"Setelah, ini kamu mau kemana?" Tanya Bima, ayahnya memecahkan keheningan.

"Bersama mama, melihat kebuh bunga." Jawabnya, pelan tak melihat ayahnya.

Danella mengangguk di tempat duduknya, saat melihat tatapan Bima.

***

Suasana rumah besar mewah ala Eropa dekat kebun teh begitu menakjubkan. Melayang di tengah-tengah perbukitan hijau yang menyejukkan, rumah itu tampil tinggi dengan arsitektur klasik yang memukau. Di depan rumah, terdapat taman yang luas dan indah, dengan berbagai jenis bunga yang berwarna-warni dan menghiasi setiap sudutnya.

Danella sangat suka berkebun dengan itu semua bunga bermekaran sangat subur karenanya. Sejak dulu Alessa menyukai melihat bagaimana ibunya, memelihara tanamannya.

Saat pertama kali kembali ke rumah, Alessa tak terbiasa dengan banyak lorong dirumahnya. Ia harus menghabiskan satu hari penuh mengunjungi beberapa ruangan dan menuliskannya ke dalam denah kecil.

Sore itu, angin sepoi-sepoi bertiup lembut di sekitar rumah kecil itu. Alessa duduk di teras rumah, menikmati suasana yang semakin terasa akrab. Matanya terpejam merasakan kehangatan matahari yang menyentuhnya, dan mendengarkan suara burung-burung yang berkicau riang di pepohonan di sekitarnya. Namun, jauh dilubuk hatinya ia merindukan sosok pria itu, yang setiap malam selalu hadir dalam mimpinya.

Alessa tidak tahu pasti sejak kapan selalu memikirkannya. Tapi, tiba-tiba saat dirinya terdiam cukup lama dalam lamunan entah, ayahnya atau ibunya akan datang dan membuyarkan lamunannya akan pria itu. Sejak itulah Alessa tahu, bahwa dia telah lama melamunkan pria itu, dalam diamnya.

"Alessa." Panggil Ayahnya, matanya memicing saat melihatnya.

Alessa mengerjap terkejut, lagi-lagi memikirkan tentang Leo. Di depannya, hari telah berangsur malam.

***

Seseorang bersembunyi di balik semak-semak, menahan napas agar tidak terdengar oleh orang yang mencarinya. Dia merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, dan keringat dingin yang mengalir di dahi.

Orang-orang yang berjalan di belakang, orang yang bersembunyi berbisik.

"Itu kan, Leo."

Leo berbalik mendengar seseorang menyebut namanya, lalu ia bersikap biasa saja saat melihat banyak orang yang memperhatikannya. Dia membenarkan posisi jasnya yang berantakan, ia telah menyelesaikan apa yang harus dilakukan mahasiswa yang telah menyelesaikan sidang skripsi dengan dospen, saat dua orang suruhan ayahnya terlihat.

Terakhir kali ia melihat orang suruhan ayahnya, ia dibawa kerumah besarnya dan ia tak ingin kembali menemui ayahnya. Ayahnya, gila dengan terus memintanya agar segera menikah.

Dalam gambarannya, dia merenungkan keputusannya untuk bersembunyi, dan berharap bahwa orang yang mencarinya tidak akan menemukannya namun orang di belakangnya berbisik-bisik mengenai dirinya.

Setelah beberapa saat, dia mendengar suara langkah kaki yang semakin dekat, dan hatinya berdegup kencang. Leo menatap ke arah sumber suara dan ia melihat salah satu suruhan ayahnya melihat tempat persembunyiannya.

Leo kembali berlari, memutari danau yang berada di kampusnya. Semua orang yang ada di taman menatapnya heran, Leo memejamkan mata menahan malu dengan terus berlari meninggalkan taman dengan di susul dua orang suruhan ayahnya.

"Sialan!" Pekik Leo.

Leo akan terus bersembunyi dari ayahnya dan dua orang suruhnya yang ingin menjemputnya paksa. Karena kalau Leo kembali, ayahnya akan mempertemukannya dengan calon tunangannya.

***

Siang itu, sinar matahari menyinari ruangan tamu rumah, dengan gaya ala eropa.

Alessa dan Danella duduk di depan mesin jahit. Alessa memandangi kain putih yang terentang di hadapannya, yang kelak akan menjadi baju wisuda yang indah. Jarum mesin jahit bergerak naik turun dengan irama yang teratur, menghasilkan suara yang menenangkan.

Danella fokus pada tugasnya, memastikan setiap jahitan rapi dan kuat. Di sekelilingnya, terdapat potongan kain dan benang yang berserakan, namun tidak peduli. Ia hanya tertarik pada baju wisuda yang sedang ia jahit, yang kelak akan menjadi simbol keberhasilannya anaknya dalam menyelesaikan pendidikan.

"Wah, aku gak sabar." Kata Alessa, dengan memandangi baju wisudanya yang hampir selesai.

Danella tersenyum geli, melihat Alessa menatap kebaya tersebut dengan manik mata cemerlang.

Mereka sudah sejak subuh melakukan kegiatan tersebut, Alessa tak terlalu mahir dalam menjahit pakaian, tapi untungnya ia mempunyai ibu yang serba bisa.

Alessa berjalan menjauh, Danella menatap Alessa yang berjalan menuju dapur.

"Aku buatkan teh ya, ma."

"Iya."

Alessa dengan hati-hati memilih daun teh terbaik, berhati-hati untuk mengukurnya dengan tepat. Saat dia mengisi ketel dengan air, dia tidak bisa menahan perasaan nostalgia menyapu dirinya. Kenangan masa kecilnya membanjiri pikirannya, tentang ibunya yang menyeduh teh untuknya di pagi musim hujan yang dingin, dan tentang kehangatan dan kenyamanan yang dibawanya.

Saat ketel mulai bersiul, Alessa menuangkan air yang mengepul ke atas daun teh, memperhatikan saat daun teh mulai terendam. Aroma teh memenuhi ruangan, dan dia tidak bisa menahan senyum memikirkan reaksi ibunya ketika dia mencicipinya. Dia menambahkan sedikit susu dan sesendok madu, persis seperti yang ibunya suka.

Saat Alessa membawa secangkir teh untuk ibunya, dia melihat punggung ayahnya yang terlihat tegang.

"Kita tidak akan pergi ke wisuda." Katanya pelan, suaranya terdengar serat akan keputusan yang mutlak.

Langkah Alessa terhenti, wajahnya berubah bingung menatap punggung sang ayah. Padahal ayahnya telah berjanji, bahwa mereka akan mengantar Alessa wisuda.

Danella menatap Alessa yang berdiri di belakang suaminya.

Bima memejamkan mata sejenak, tahu akan kehadiran sang putri.

"Bima?" Panggil Danella, setelah mengalihkan pandangannya dari Alessa.

Bima berpaling, ia tak kuasa bila harus menatap istrinya yang juga sama kecewanya dengan Alessa.

"Kenapa?" Tanya Alessa, tersendat.

Bima melirik Alessa sekilas. "Besok mereka akan datang."

"Bima!" Tegur Danella memegang lengan Bima yang tegang, ia menatap tak menyangka pada Bima yang selalu membuat patah hati Alessa.

"Aku sudah menyetujuinya."

Danella memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya yang juga sakit.

Cangkir di tangan Alessa terjatuh, perlahan ia berjalan mundur. Dua orang kepercayaan Bima yang juga ada di sana, perlahan mendekati Alessa-seperti telah diberi perintah.

Namun, saat mereka semakin mendekat Alessa telah berlari keluar rumah, air mata marah mengalir di wajahnya. Dia tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Ayahnya tak pernah berubah, selalu menyetujui suatu hal secara sepihak.

Padahal ini impian Alessa, untuk bertemu kembali dengan kedua sahabatnya-untuk menjelaskan semuanya, dan Leo, pria yang tak ia sukai, namun diam-diam selalu ada dalam benaknya.

Alessa belari ke arah kandang Thunder, kesayangannya itu secara naluri merasakan kehadiran sang pemilik.

Thunder menunggu kedatangan Alessa yang dikejar oleh dua orang kepercayaan ayahnya. Alessa berlari menghampiri Thunder yang juga bersiap, ia lalu naik ke atas punggung Thunder.

Alessa memeluk leher Thunder. "Bawa aku Thunder, lari sejauh yang kamu bisa." Tangannya mengelus leher Thunder.

Dua orang suruhan ayahnya berdiri mencoba menghadang, namun Thunder langsung agresif ia bersiap menendang kedua orang tersebut bila mereka mendekat.

"Go!" Teriak Alessa, saat melihat celah.

Thunder yang gagah berlari, dengan Alessa yang menangis diatas kuda kesayangannya.

"Alessa!!" Teriak Bima, saat melihat Thunder berlari membawa Alessa.

Alessa melihat ke depan, dimana pagar pembatas lapangan menjulang. Mereka semakin dekat, Alessa memejamkan mata membiarkan Thunder membawanya.

Saat Thunder melompat tinggi, Alessa bisa merasakan tubuh Thunder yang melayang tinggi melewati pagar. Tubuh Alessa tersentak pelan, saat Thunder berhasil melompati pagar dan kembali berlari menjauhi rumah, melewati pohon-pohon teh menuju hutan.

Kuda itu menikmati pelarianya, sementara pemiliknya menangisi nasibnya. Mereka berlari tanpa henti, dikanan-kiri keindahan alam yang terbentang di depan mata namun Alessa sedang dalam suasana hati yang buruk untuk memujinya. Suara kaki kuda yang menapak tanah dan hembusan angin yang menyapu wajah Alessa yang memerah karena tangisanya.

Thunder memelankan langkahnya, saat jarak mereka dengan rumah sangat jauh.

Alessa turun dari punggung Thunder, tangisanya kembali pecah dengan memeluk punggung Thunder.

Thunder diam tak bergerak, ia ikut merasakan apa yang Alessa rasakan.

***

Malam itu gelap dan sunyi, hanya terdengar suara jangkrik yang berkicau di kejauhan. Dari jendela rumah, pemandangan kebun teh bisa terlihat, dengan rembulan yang memancarkan cahaya lembut di atas dedaunan. Namun, suasana di dalam rumah itu tegang. Bima dan Danella berkumpul di ruang tamu, wajah mereka dipenuhi rasa khawatir karena Alessa yang tak kunjung pulang.

Danella menatap keluar jendela, harap-harap Alessa pulang bersama Thunder, kuda kesayangannya.

"Dia akan kembali, kamu tenang saja."

Danella tak menjawab, ia masih berdiri walau kakinya terasa pegal menunggu.

"Ella..." Panggilan Bima terpotong.

Seseorang datang, Danella bergegas berjalan ke arahnya bersiap mendengar informasi. "Bagaimana?"

"Alessa belum keluar dari perkebunan teh, dia masih disekitaran kebun. Terlalu gelap, saya tak bisa mencarinya."

Danella memejamkan mata, ia sudah lelah dengan semua yang terjadi.

Bima berjalan mendekat, namun Danella berjalan menjauh menuju balkon rumah, udara dingin menusuk kulitnya.

"Ella menunggu lah di dalam, kamu akan sakit bila terus diluar." Perintah Bima berdiri disamping Danella.

Danella berbalik menatap Bima, wajahnya merah menahan kesal dan sedih. Bima yang tahu langsung menarik Danella ke dalam pelukannya, alih-alih mendengar perkataan istrinya yang kecewa terhadapnya.

Ketika Alessa muncul dari tempat gelap, Bima dan Danella menghirup udara kelegaan. Alessa berjalan menuju kandang, ia melihat kekhawatir dimata orang-orang yang menantinya. Seseorang memgambil ikatan Thunder, Alessa berjalan lunglai menaiki anak tangga menuju rumah.

Sepasang kaki tanpa alas menginjak anak tangga terakhir, Danella memeluknya detik itu juga, saat melihatnya.

Alessa diam tak merespon, rambutnya acak-acakkan diterpa angin malam. Wajahnya kusam karena seharian menangis, ibunya mengusap wajah dengan lembut.

Mata Alessa beralih menatap ayahnya, yang dari kejauhan menatapnya. "Aku akan meminta satu syarat kepada calon tunanganku besok." Kata Alessa.

Bima mengangguk. "Katakan."

"Aku ingin kuliah kedokteran..." Alessa bisa melihat, bagaimana wajah ayahnya berubah tegang. "Sebelum menikah." Lanjutnya.

Bima terdiam cukup lama, saat istrinya mengiring Alessa menuju rumah, ia lalu bersuara. "Aku akan mengatakannya kepada mereka." Ucapnya.

Alessa dan Danella berjalan melewatinya begitu saja.

Bima menatap kebun teh dari kejauhan. Pikirannya dipenuhi dengan pikiran tentang kesalahannya kepada Alessa, dan merasakan rasa malu dan penyesalan. Ia tahu ia terlalu keras kepada Alessa, namun ini demi kebaikannya.

***

Suasana di bar itu ramai dan riuh. Orang-orang berbaur dan berbincang-bincang dengan semangat, sambil menikmati minuman mereka. Di sudut ruangan, terlihat seorang pria tengah duduk menunggu temannya.

Tak lama pria dengan hoodie hitam datang dan duduk di depan orang yang tengah minum segelas coctail.

"Aman?" Tanya pria berbaju hoodie, menatap sekitaran.

Pria didepannya mengangguk.

Leo menyibak kupluk hoodienya, ia lalu meminum segelas mocktail yang telah di pesan Vino. "Sialan, semakin hari orang suruhan bokap makin banyak." Gerutu Leo, meremas gelas dalam genggamanya dengan marah. Ia juga marah akan dirinya yang tak bisa kembali ke apartementnya, karena gedung itu telah di jaga.

"Ya udah sih, lo ketemu dulu ajah. Dari pada terus ngumpet gini!"

"Lo sih, enak cuma ngomong." Bentak Leo, mendelik.

Vino mendengus. "Kalau boleh tahu siapa yang bakal jadi calon lo?"

Leo menggedikan bahu tak tahu, karena selama ini ia telah mencari namun tak membuahkan hasil. Namanya pun ia tak tahu.

"Pak Bima Sarwono." Leo hanya tahu siapa ayah, dari putri yang akan menjadi calon tunangannya.

Vino membekap mulutnya. "Pak Bima?" Dengan, suara tercekik.

Yang Leo tahu sejauh ini, Pak Bima memiliki satu orang putri yang entah kenapa tak pernah muncul ke publik. Itu yang membuat Leo kesusahan mencari informasi tentang calon tunangannya. Apa putrinya terlahir jelek, hingga ayahnya pun tak ingin anaknya terexpos ke dunia?

"Wah gila, kalau gitu sih lo bakal jadi orang terkaya seasia." Vino bertepuk tangan, bangga.

Leo memutar kedua bola matanya.

Mereka tertawa dan bercanda, sambil menikmati minuman masing-masing-sejenak melupakan masalah apa yang terjadi. Vino memandang sekeliling, menikmati suasana yang hidup dan penuh semangat.

Dari balik gelasnya, Leo menyadari, Vino yang memberi sebuah isyarat. Mata Vino berkedip cepat beberapa kali, Leo membuang napas memahami isyarat yang diberikan.

Suasana menjadi tegang ketika Leo berlari cepat meninggalkan Vino. Semua orang di sekitarnya terdiam dan menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
Leo terpojok ia merasa takut dan putus asa. Semua perasaan itu terlihat jelas di wajahnya.

"Ayolah, kalian gak capek ngejar gue?" Tanya Leo yang terkepung.

Mereka menggeleng, secara serentak mereka maju ke arah Leo, namun ia berhasil menghindar sebelum akhirnya seseorang menutup kepalanya menggunakan kain.

Setelah sekian lama, Leo akhirnya tertangkap, ia lalu di bawa keluar dari bar. Vino mencoba mencegah namun ia kalah jumlah, ia hanya mampuh melihat Leo yang dibawa ke dalam mobil dan berlalu meninggalkan parkiran bar.

***

Hari itu, mentari terbit dengan gemilang di langit. Angin sepoi-sepoi meniup lembut, meniupkan aroma segar dari padang rumput yang luas. Di tengah padang rumput, Alessa berdiri tegak di samping kuda kesayangannya. Ia memandangi kuda itu dengan penuh kasih sayang, sambil mengelus lembut bulu halus di lehernya. Kuda itu tampak tenang dan siap beraksi.

Dengan mengenakan pakaian khusus untuk olahraga berkuda, lengkap dengan helm dan sepatu bot. Ia memeriksa kembali peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk bermain, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna. Ia merasa cemas dan tegang, namun juga sangat antusias.

Saat Alessa naik ke punggung kudanya, ia merasakan kekuatan dan kepercayaan diri yang mengalir dalam dirinya. Thunder merespons dengan baik, menunjukkan kekompakan dan kebersamaan yang telah terjalin di antara mereka. Mereka berjalan menuju lapangan, Dengan hati yang berdebar kencang, Alessa memulai reli.

Kuda itu berlari dengan cepat dan lincah, melompati rintangan-rintangan yang ada di depan mereka. Ia memegang kendali dengan erat, mengarahkan Thunder dengan keahlian dan keberanian yang luar biasa.

Dari kejauhan Danella memandang Alessa, waktu masih menunjukan pukul 9 pagi tapi gadis itu sudah memacu Thunder dengan lihai. Walau semalam ia pulang dengan keadan penuh luka karena terkena ranting pohon, kini Alessa beraktifitas seperti biasa.

Di dalam Bima sedang mengarahkan beberapa orang yang tengah membantunya membereskan rumah. "Untuk poto yang ada Alessa, tolong turunkan semuanya." Perintahnya.

Danella tak ingin banyak bertanya, suaminya tersebut terlalu sulit untuk di pahami.

Bima berjalan ke arah Danella. "Ini akan menjadi pertemuan yang hebat, Ella."

"Terserah kamu saja, Bim."

"Masih marah?"

Danella menghela napas.

"Aku jamin, Alessa tak akan menolak perjodohan ini."

Bima menarik Danella ke pelukannya, mengusap punggung sang istri dengan penuh kasih. Sambil memandangi Alessa yang tengah berkuda.

***

Continue Reading

You'll Also Like

856K 39.9K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
61.8K 5.8K 31
[Completed] Zeville tak menyangka kejadian itu mengubah hidupnya. Bertemu dengan pria arogan yang misterius, dan berakhir menjadi seorang maid demi m...
49.3K 1.5K 31
Jika sudah membaca jangan lupa tinggalkan jejak. 🔹🔹🔹 [17+] "Kak Dewa gak mau jadi pacarnya Zelly aja?" tanya gadis itu tak terduga. Dewa tercengan...
44.1M 2.3M 96
SERIES SUDAH TAYANG DI VIDIO! COMPLETED! Alexandra Heaton adalah salah satu pewaris Heaton Airlines, tetapi tanpa sepengetahuan keluarganya , dia men...