CHANGED (sudah DITERBITKAN)

By sfdlovato

13.3M 356K 57.3K

Berawal dari sebuah dompet dan berujung menjadi perjalanan cinta yang rumit. Kenya Sharp adalah seorang maha... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
PRE-ORDER!!!
ATTENTION!! CHANGED hadir di Gramedia & Gunung Agung!!
CHANGED Side B di Gramedia!
Sequel CHANGED, "REBELS: A New Beginning" sudah terbit
Hari Ini PRE ORDER Rebels: The Last
Koleksi Semua Bukunya (1-4 Tamat)
CHANGED Full WATTPAD Version

Chapter 15

208K 5.5K 797
By sfdlovato

The songs for this chapter:

Fifth Harmony - Leave My Heart Out Of This

M2M - Leave Me Alone

***

Jantungku semakin berpacu kencang seiring dengan angin yang berhembus di kegelapan malam. Si gadis pirang pembawa bendera sudah bersiap di tempatnya, menunggu peserta yang akan memenangkan perlombaan malam ini. Dia mengibarkannya dengan penuh semangat begitu motor hitam dan merah melewatinya bersamaan—well, mungkin tidak bersamaan, hanya saja yang terlihat dalam penglihatanku mereka seperti datang secara bersamaan. Tapi, melihat kemana arah gerombolan penonton pergi sambil bersorak sorai merayakan kemenangan, kurasa Harry lah yang memenangkan adu balap kali ini. Apalagi Tawni terlihat begitu ceria. Jk!

Aku tersenyum samar. Gadis dalam batinku langsung melempar pom-pomnya dan memakai sarung tangan berbentuk jari telunjuk yang mengacung ke atas dan bertuliskan #1. Jelas aku harus menyembunyikan perasaan senangku.

Jules menarikku lagi kali ini, dengan gerak-gerik yang sedikit protektif, membawaku ke arah Harry yang baru saja melepaskan helmnya. Dia berkeringat. Astaga... tahan, Kenya... tahan! Aku tahu dia terlihat panas!

"Selamat, kukira kau akan kalah hari ini. Paling tidak dalam minggu ini. Kau tahu kau sudah menang banyak dalam beberapa minggu terakhir." Jules menyeringai dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Entah apa maksud perkataannya itu bermaksud untuk memuji atau sebaliknya. Tapi Harry hanya membalas dengan seringaian miring seolah berkata 'kau-salah-besar-hey-gadis-sok-tahu', lalu melirik ke arahku selama sepersekian detik.

Seorang pria memakai topi baseball datang memberikan sebuah champagne berukuran besar—sangat besar—pada Harry lalu membukanya setelah ia turun dari motor balapnya yang kutaksir harganya sangat mahal. Christian. Satu nama yang terlintas disaat aku mengira-ngira berapa harganya.

"Jadi, aku milikmu malam ini." si gadis pirang nomor 1 tiba-tiba datang menghampiri Harry dan melingkarkan kedua tangannya di leher Harry. Brengsek! Dia salah satu hadiahnya!

Mataku sontak menjereng lebar. Harry menaruh sebelah tangannya yang bebas ke belakang punggung si jalang itu dan menariknya mendekat—ya, aku mengganti sebutannya dengan si jalang ketimbang si pirang nomor 1. Ketika si jalang itu menyusuri dada Harry dengan jari-jarinya, secara spontan aku melangkah mundur dan terkesiap, punggungku menabrak seseorang!

"Hai, manis. Kau mau kemana?" Liam! Aku kenal suaranya! Tangannya memegang pinggangku dari belakang.

"A-aku... aku harus pergi." Ujarku serak sambil berbalik. Tatapan Liam begitu keras dan seakan terbakar oleh emosi. Emosi kekalahan mungkin? Namun, yang jelas aku sempat melihat lirikan matanya ke arah Harry yang mencuatkan perasaan benci dan jengkel.

Aku berlari dari kerumunan, mencari Jules yang tidak terlihat dimana-mana. Astaga! Ia menghilang dengan cepat! Kemana perginya? Firasatku mengatakan Jules sudah keburu terhanyut dengan suasana kemeriahan di tempat sehingga ia melupakanku. Sial!

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Maksudku pulang. Sebenarnya aku tidak terlalu meniatkan diri untuk mencari Jules karena aku yakin ia masih harus berpesta dan bersenang-senang dengan yang lain, aku tidak mau mengganggunya.

Dengan gontai aku berjalan di atas trotoar. Ini sudah malam dan mungkin hampir jam 3 subuh, aku butuh istirahat. Terutama si jalang-hadiah-adu-balap itu telah merusak suasana hatiku lagi. Ah, ya Tuhan! Ada apa denganku sebenarnya?

Aku berjalan terus menjauh dan menjauh, melirik ke belakang dimana kerumunan itu masih merayakan kemenangan Harry. Aku tidak tahu aku akan membawa diriku sampai kemana, karena jujur aku tidak tahu jalan, dan ya, aku nekat—nyaris tersesat. Brengsek. Mengapa aku jadi linglung begini?

Gadis dalam batinku seolah berbisik padaku agar kembali ke kerumunan itu, dan aku hampir melakukannya, tapi memohon pulang pada Jules kurasa bukan ide yang bagus. Ingat terakhir kali aku memohon pulang padanya saat di frat? Dia langsung cemberut padaku.

Samar-samar, aku mendengar suara raungan motor dari arah belakang. Mungkin mereka sedang melakukan atraksi seperti yang ada di film-film, namun anehnya suara motor itu justru semakin mendekat hingga akhirnya kulihat Harry menghentikan motornya tidak jauh di depanku. Sial. Aku berhenti melangkah.

Apa lagi maunya?!

"Naiklah."

"Apa?" Oh, tidak, tidak. Aku ingin menjauh darimu, brengsek!

"Kubilang naik. Aku harus bicara denganmu."

Aku memutar bola mata dan lanjut berjalan. Teguhkan pendirianmu, Kenya Sharp! "tidak ada yang perlu dibicarakan."

Harry menangkap tanganku dengan cepat, aku menoleh dan kulihat tatapannya yang mengeras. "Kuantar kau pulang."

Oh? Gadis dalam batinku kegirangan, menunjukkan senyuman lebarnya dan melakukan tarian balet. Tapi tidak! Aku tidak boleh menuruti ucapannya kali ini! Si gila kontrol ini harus sadar diri bahwa ia tidak akan pernah bisa mengontrolku!

"Aku bisa mencari taksi." Gadis batinku cemberut, meneriakiku bahwa aku munafik.

"Tidak ada taksi yang lewat di sekitar sini."

Ya, aku tahu. Tapi jika aku menaiki motormu dan membiarkan kau membawaku pulang, aku yakin setibanya Jules di rumah ia akan kembali menceramahiku. Bahkan jauh lebih buruk. Ah, persetan! Masa bodoh lah. Aku hanya ingin pulang sekarang! Disini dingin, oke?

Dengan segera aku pun menaiki motornya, sempat aku melihat sudut bibir Harry yang berkedut seolah menahan senyum, tapi aku mencoba untuk mengabaikannya. Harry memberiku helmnya dan sekarang aku jadi bertanya-tanya, dimana si jalang itu? Apa ia meninggalkannya? Sekali lagi aku mencoba untuk masa bodoh. Aku melingkarkan tanganku di pinggang Harry, sadar bahwa ini sebuah pelanggaran dari janjiku pagi tadi, tapi aku memang ingin cepat-cepat pulang.

Pengkhianat. Tidak berpendirian kuat. Kau munafik, Kenya! Gadis batinku mengomeli sambil menahan tawa girang. Sial, akhir-akhir ini aku sering bertabrakan dengan diriku sendiri.

Namun, si brengsek-Harry tetaplah si brengsek-Harry. Ia tidak membawaku pulang! Astaga! Ia menghentikan motornya di suatu lapangan hijau besar yang gelap tanpa penerangan sama sekali kecuali dari lampu motornya! Dimana ini? Apa yang akan ia lakukan? Dimana orang-orang?!

Disini sepi, gelap, dingin, dan yang pastinya keberadaan Harry tidak menolong sama sekali. Aku turun dari motor dan Harry meminta helmnya tapi aku tidak mau memberikannya.

"Mengapa kau membawaku kemari? Kau bilang kau akan mengantarku pulang?"

"Memang, tapi kita perlu bicara." Harry berkata di sela-sela giginya yang mengatup rapat. Kemana perginya si Harry-pemarah-Styles? Atau ia sedang bersembunyi dibalik kilatan matanya itu?

"Bicara soal apa?"

"Jules. Apa yang ia katakan padamu pagi tadi?"

Jules? Mengapa Jules? "Ia hanya ingin aku menjauh darimu."

Harry menekan bibirnya menjadi garis keras, menarik napas mencoba untuk sabar. Ah, si brengsek-yang-pemarah muncul lagi. "Apa yang ia katakan tentangku?"

"Tidak ada. Ia hanya tidak suka jika aku berada di dekatmu." Karena kau berbahaya dan aku tidak mengerti apa maksudnya.

"Jangan dengarkan dia."

Apa?

"Apa? Apa maksudmu?"

Harry mendengus kemudian menatap tajam ke arahku, "Mengapa kau bisa berada di arena?"

"Jules mengajakku. Tyler menyuruhnya untuk membawa seorang teman dan Jules mengajakku." Hey, aku serius! Jangan ganti topik sembarangan! "Harry, apa maksudmu—"

"Kau tidak seharusnya berada disini." Tatapannya semakin mengeras, tangannya mengepal di sekitar setang.

Aku tergelak miris, "Hey, kau bukan ibuku, kau tidak berhak mengaturku, tuan gila kontrol! Lagi pula kau juga tidak seharusnya berada disini, kembali lah pada si jalang itu."

"Si jalang?" Harry mengerutkan keningnya.

"Ya, si pirang nomor 1 alias si jalang-hadiah-adu-balap. Mengapa kau meninggalkannya? Aku yakin ia mencarimu sekarang, ia membutuhkan kontrolmu saat ini." ucapku tergesa-gesa, berusaha menekan amarahku agar terkubur dalam-dalam tapi tidak berhasil.

Matanya menyipit, mulutnya sedikit terbuka lalu ia membuang muka dariku. Ada jejak senyuman di wajahnya, "Kau menggelikan."

"Begitu? Wow, terimakasih." Ujarku sarkastik.

Harry mengangkat kakinya turun dari motor dan menyender di jok lalu melipat kedua tangan di dada, "Aku benci gadis pirang." Ia bergumam.

"Ya, aku bisa melihatnya dari seberapa banyak gadis pirang yang berada di dekatmu. Dan oh! Tawni pasti berada dalam salah satunya?" lagi-lagi aku tidak bisa melepas nada sarkastikku.

Harry menggelengkan kepalanya terlihat frustasi, "Kau tahu mengapa dalam film horror atau thriller gadis pirang selalu mati lebih dulu?"

Keningku mengerut, bingung. Kemana arah pembicaraan ini? "Tidak."

"Karena mereka bodoh. Semua orang Amerika tahu seberapa besar IQ yang dimiliki gadis pirang. Itu sudah ada dalam gen mereka."

"Kau sudah gila kontrol, pemarah, brengsek, dan sekarang kau orang yang sok tahu. IQ seseorang tidak bisa dilihat dari warna rambut mereka, kawan."

"Terserah, tapi itulah sebabnya mengapa gadis pirang selalu diberi peran sebagai wanita jalang dan bodoh di sebuah film. Mereka juga layak untuk mati paling awal. Marilyn Monroe adalah salah satu ikonnya."

Astaga, dia psikopat! "Sudah selesai dengan teorimu? Aku akan senang hati memberimu nilai C untuk itu."

Harry tergelak, cengirannya melebar disaat ia memalingkan wajahnya dariku. Ia terlihat seperti anak kecil yang pemalu. Oh, kumohon jangan buat aku meleleh di saat seperti ini, brengsek! Ia benar-benar memiliki sejuta kepribadian.

"Naik ke motorku. Kuantar kau pulang."

***

"Hey." Aku menyerahkan helm-ku padanya begitu kami sampai di depan apartemenku. Ia mendongak dan menaruh helm-nya di atas mesin motornya. "Aku berbicara dengan Jules soal Liam hari ini."

Seketika kening Harry berkerut dan tubuhnya membeku. "Apa yang ia katakan?"

"Tidak banyak."

"Apa itu?" ucapnya mendesak, kerlingan di matanya membuatku takut.

"Soal bagaimana kelompok kalian jadi terpecah belah, hanya itu."

"Kau bertemu dengan Liam tadi?"

"Ya."

Harry menegang, mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun tertutup lagi. Ia mengacak-acak rambutnya kemudian melempar helm-nya ke aspal dengan keras. Aku terkesiap. Astaga, orang ini kenapa sih?

"Ia berkata sesuatu?" giginya menggertak.

"Ha-hanya berkata bahwa ia menyukai rok-ku. Awalnya kukira dia gay." Aku berusaha menaruh nada humor di dalamnya.

Harry memainkan mulutnya berputar-putar tanpa melihat ke arahku, ia berdiri dan turun dari motor sebelum mengambil helm-nya kembali. "Percaya padaku, ia tidak menyukai rokmu. Ia menyukai apa yang ada di baliknya." Suaranya berubah pelan dan dingin.

Mulutku menganga. Jelas aku mengerti apa maksud ucapannya. Sial, sial, sial! Benarkah seperti itu? Seketika aku teringat akan ucapan Jules mengenai hobi Liam yang senang membuat sex-tape.

"Kurasa ia pria baik, meski cengirannya agak cabul." Aku bergumam pada diriku sendiri, Harry langsung menjerengkan matanya padaku sambil menaiki motornya lagi. "Apa yang salah dari itu?" tanyaku.

Harry menggeleng pelan lalu menunduk, ada kerutan di keningnya tapi ia berusaha untuk menyembunyikan ketegangannya, "Tidak ada. Masuklah." Perintahnya, tapi aku mengabaikan.

Aku berdiri terpaku memandanginya, sejenak aku teringat bahwa mungkin setelah ini aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Tidak, tidak, maksudku, mungkin setelah ini aku tidak akan berbicara dengannya lagi. Aku harus menjauh, tapi berbagai macam pertanyaan masih menghantuiku dan ia belum menjawabnya.

"Kenya, masuk ke dalam atau aku yang akan memasukimu?"

Aku terkesiap. Ucapan kotornya sungguh menggoda dan membuatku jengkel di saat yang bersamaan!

"Ka-kau tahu kau tidak boleh menemuiku lagi." Aku mencoba menemukan suaraku, membuat Harry menyipitkan matanya dan terdiam seperti patung yang dipahat dengan indah. "Terimakasih sudah mengantarku. Kau pergilah, aku akan masuk sekarang." ujarku dengan nada yang kurang meyakinkan, aku berbalik dan mengambil langkah lebar memasuki gedung apartemenku yang terlihat tidak terawat. Setelah menjauh, aku terhenti sejenak di dekat tangga, kudengar Harry mengengkol pedalnya di luar, raungan motor yang samar-samar perlahan menghilang seiring dengan kepergiannya.

Aku menelan ludah, tidak kukira bahwa akan semudah ini ia pergi. Kau menyesal? Batinku bertanya, dan aku menggeleng. Tidak, aku tidak menyesal. Untuk apa aku menyesalinya?

***

Aku terbangun oleh sinar matahari yang menembus langsung ke dalam kamarku. Aku melirik jam weker di atas meja dan ternyata ini sudah lewat dari jam 12 siang. Sial! Aku mengecek ponselku dan kudapati ada 3 buah pesan singkat dari Jules yang menanyakan keberadaanku, serta sebuah voice mail dari dia juga.

Aku beranjak dari tempat tidurku dengan terburu-buru dan mencari Jules di luar kamar tapi ia tidak ada. Astaga, ia pasti marah! Ia pasti marah! Tapi seharusnya ia sudah pulang! Otomatis, aku membuka pintu kamar tidurnya yang tidak terkunci, seketika itu pula mulutku terbuka dan kupikir rahangku jatuh ke lantai.

Ya, Tuhan! Jesus! Aku melihat dua orang sedang bercinta di bawah selimut ungu milik Jules! Siapa mereka? Siapa??

Rambutnya pink dan seorang pirang. Astaga! Itu Jules dan Tyler!

"Kenya?" Jules menyentak, bertopang tubuh di sikunya sementara aku masih mematung bak tokoh kartun di film-film animasi. Bodohnya aku!

"Ma-maafkan aku. Aku... tidak tahu kalau...—" aku tidak melanjutkan ucapanku. Keluar, Kenya! Keluar! Tutup pintunya! Aku mundur dan langsung menutup pintu. Mulutku masih terbuka dan mataku mengerjap kaget, memutar kembali reaksi Jules di kepalaku yang terkesan sama kagetnya denganku sementara Tyler terlihat biasa saja.

Ya Tuhan, apa yang baru saja aku lakukan?

Aku menggelengkan kepala dan kembali masuk ke dalam kamarku, aku menguncinya agar Jules tidak dapat menyusulku. Ini sungguh hari minggu yang konyol. Tapi, sungguh tidak biasa Jules membawa seorang pria kemari—selain Niall, tentu saja. Apakah terjadi sesuatu semalam di antara mereka bertiga? Tidakkah Niall yang mengantarnya pulang? Tapi mengapa bisa ada Tyler disini? Apa Niall tahu soal ini?

Ah, masa bodoh. Ini bukan urusanku.

Dan sekarang di sini lah aku, berdiam diri di tepi ranjang sambil memikirkan apa yang akan kulakukan hari ini? Mengerjakan tugas Prof.Scotts? Ah, ya benar! Dengan segera aku beralih menuju meja belajarku dan menyalakan laptop. Aku membuka buku catatanku dan mulai menelusuri apa saja yang harus aku kerjakan untuk menyelesaikan tugasnya di awal semester ini.

Satu jam aku habiskan untuk mengetik di laptopku, mengkritisi sebuah buku karya William Shakespeare yang menurutku memiliki beberapa kesalahan. Meski dia adalah penulis favoritku, bukan berarti ia seorang penulis yang paling sempurna di jagad raya. Tapi jika mengingat bagaimana Prof.Scotts menjelaskan buku-buku karya Shakespeare, aku jadi sedikit ragu, bagaimana jika beliau tidak menyukai kritikkanku terhadap Othello? Beliau terlihat begitu menyukainya.

Sepuluh menit aku habiskan untuk memikirkan, apakah aku harus mengganti kata-kataku yang terkesan sarkastik atau tidak dalam tugasku? Tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk membiarkannya. Shakespeare itu tidak sempurna! Masih banyak karya milik orang lain yang jauh lebih bagus darinya meski aku mengakui kehebatannya. Sama halnya seperti Harry. Masih ada yang jauh lebih baik darinya! Seperti Ezra, contohnya? Harry adalah bocah berandal dan bengis. Dia gila kontrol, pemarah, dan sering seenaknya. Mengapa aku harus bertemu orang semacam dirinya? Oh, itu salahku karena aku mendadak bodoh dengan mengembalikan dompetnya di luar kelas saat itu. Tapi, jika aku tidak mengenalnya, akankah aku merasakan sentuhannya yang sensual di pangkal pahaku? Akankah aku merasakan bibirnya yang penuh di sekujur tubuhku?

Oh, ya Tuhan... Apa yang aku pikirkan? Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat, berusaha untuk membuang jauh-jauh pemikiran kotorku yang entah datang darimana. Sial. Aku jadi basah sekarang. Ini memalukan!

Ada ketukan di pintu. Jules meneriaki namaku dan dengan segera aku bangkit dari kursi untuk membuka pintunya. "Ada apa?"

"Aku akan pergi keluar sebentar, setelah ini kita harus bicara. Oke?"

Aku mengangguk cepat, "Oke."

Sesaat setelah Jules pergi, lagi-lagi Harry memenuhi pikiranku. Aku ingat kata-kataku padanya semalam yang menyuruhnya untuk pergi dan tidak boleh menemuiku lagi. Apakah aku menyinggung perasaannya sehingga ia dengan mudahnya pergi? Tidak, tunggu... Jangan bilang bahwa aku berharap Harry akan turun dari motornya dan mengejarku ke dalam apartemen. Jangan. Jangan berpikiran seperti itu, Kenya!

Aku merebahkan tubuhku di kasur sekarang, mendengus pelan dan memandangi langit-langit kamar. Seharusnya aku bersyukur. Kata-kata itu menggeliat di pikiranku, gadis dalam batinku bahkan sekarang sudah bangun dari tidur cantiknya, ia langsung menjerengkan mata, mencari-cari sesuatu yang seakan hilang di tempat tidurnya.

Aku pun menoleh ke samping, mengingat bahwa dua hari yang lalu aku tidak tidur sendirian. Ada Harry yang menemaniku. Punggungnya, pundaknya, rambutnya, dan wajahnya yang seperti anak kecil tak berdosa memenuhi pikiranku sepanjang hari.

Oh, Tuhan... mengapa aku jadi begini? Apa yang telah ia perbuat padaku?

***

Hari mingguku berakhir dengan cepat dan tidak terasa—di luar konteks kejadian Jules yang terpergok sedang bercinta dengan Tyler olehku kemarin, tentu saja. Jules memintaku untuk tutup mulut dari Niall, dan ya, kupikir aku bisa. Aku orang yang bisa menjaga rahasia dengan baik meski jujur aku merasa kasihan pada Niall. Dia pria yang baik.

Namun, di samping itu semua, Jules juga mempertanyakan mengapa aku pulang lebih dulu tanpa pamit padanya, dan ketika ia tahu aku pulang bersama Harry, Jules sama sekali tidak marah padaku. Ya, aku tahu ini sungguh di luar dugaan, tapi ia justru bereaksi sebaliknya. Ia marah pada dirinya sendiri. Ia menyesal telah membawaku ke arena balap kemarin.

Hanya saja kurasa Jules tidak seharusnya menyesal telah membawaku kesana, ia seharusnya lebih menginstropeksi diri bahwa ia datang ke arena balap bersamaku, tapi ia justru melupakanku disana. Tentu aku tidak mengemukakan kekesalanku padanya soal itu, aku tahu batasanku dan ia tahu batasannya—terkadang sih. Kami berada di dua dunia yang berbeda, aku tidak berhak memarahinya hanya karena ia lebih memilih untuk bersenang-senang dengan kelompoknya ketimbang denganku.

Saat ini aku masuk ke kelas Prof.Scotts, ia menagih tugas yang ia berikan dan aku langsung mengumpulkannya di mejanya. Kuharap hasilnya tidak akan mengecewakan.

Aku pun kembali duduk dengan tenang di kursiku. Alangkah kagetnya ketika Harry ternyata tidak membolos pada pagi hari ini, dan seperti biasa ia duduk di bangku kosong yang berada belakangku padahal aku sudah memilih tempat duduk paling depan hari ini!

Prof.Scotts menunjukkan salah satu buku favoritnya di kelas, sebuah buku karya Edgar Allen Poe yang cukup terkenal. Prof.Scotts mengatakan bahwa Poe adalah salah seorang penyair terbesar dan termalang di Amerika karena karyanya tidak di apresiasi di negaranya sendiri, melainkan karya pertamanya itu terkenal di Perancis dan Inggris, dan ia hanya pernah menyelesaikan satu novel dalam hidupnya. Aku cukup terkesan ketika Prof.Scotts menceritakan hal tersebut.

Setelah mata kuliahku berakhir, aku bergegas meninggalkan kelas, alih-alih agar terhindar dari si gila kontrol itu. Sejak aku menyuruhnya pergi aku tidak kunjung melupakan ucapannya mengenai Liam. Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di benakku tapi aku menahannya, menguburnya dalam-dalam, tidak boleh sampai menyundul keluar sehingga aku tidak perlu berurusan lagi dengan Harry. Namun, di samping itu semua, hal yang paling kukhawatirkan adalah diriku sendiri. Dan dia. Akankah dia menjauh dariku?

"Kenya." Oh, tidak. Suara itu... suara Harry yang memanggilku.

Gadis dalam batinku menyuruhku untuk tetap melangkah dan aku mendengarkan. Aku harus menurut pada diriku sendiri saat ini, jangan dengarkan sepatah kata pun yang Harry lontarkan atau aku bisa gagal.

Dan ya, aku pergi begitu saja. Aku pergi ke belakang gedung sastra dengan terburu-buru bahkan sedikit berlari kecil untuk menghindarinya. Lalu aku berhenti dengan mengistirahatkan punggungku di dinding. Aku menarik napas dalam-dalam, mencari kelegaan tapi tidak kutemukan sama sekali. Astaga, apa yang terjadi padaku?

"Kenya."

Aku terkesiap, melirik ke samping dan ternyata Harry sudah berada di sebelahku, memandangku tajam dan dingin.

"Harry, aku sudah bilang padamu untuk jangan mendekatiku lagi." Aku ingin membentak tapi tidak bisa. Suaraku seolah tercekat.

Harry tak menggubris, ia berjalan melewatiku dengan mudahnya lalu berbalik, begitu pun denganku, membuat kami berhadapan sekarang. "Jangan berlagak bodoh."

Hah? Aku? Berlagak bodoh?

"Harry, aku serius. Pergilah."

"Mengapa? Mengapa kau ingin aku menjauh darimu?" suaranya pelan dan bibirnya terkatup rapat.

Aku menelan ludah. Mengapa? Mengapa aku menginginkan ini? Selama beberapa detik aku lupa mengapa aku ingin berada jauh darinya. Apakah ini memang hanya karena Jules yang melarangku? Tapi ia tidak berhak! Bukan, bukan. Dari awal aku memang ingin Harry menjauh, ia sudah memberikan banyak ancaman dalam hidupku! Memanfaatkanku!

"Aku tidak bisa berada di dekatmu jika kau hanya menggunakanku untuk tidur denganmu." Suaraku parau, tanganku mengepal dan berkeringat. Harry memicingkan matanya, entah karena bingung atau ingin mengintimidasiku lagi seperti yang biasa ia lakukan. Aku tidak tahu. Aku hanya ingin bisa terlepas darinya sekarang juga, dan tiba-tiba saja pikiran liar melintas di kepalaku. Mulutku berucap tanpa ragu meski bergetar, "Kecuali kau membayarku." Aku menelan ludah.

Terima itu! Harry pasti akan mundur sekarang, karena aku tahu ia tidak akan mampu membayarku. Ia mengumpulkan uang hanya untuk fokus pada hobinya, begitu lah yang Christian katakan.

"Aku akan membayarmu."

Apa? Apa maksudnya berkata seperti itu? Mengapa ini terkesan seperti ia menginginkanku meski hanya untuk seks semata? Maksudku, ia bisa mendapatkan pelacur yang lain! Bahkan seorang jalang! Dan itu gratis jika ia bisa memenangkan adu balap yang lainnya!

Aku mengerjap beberapa kali, aku tidak suka akan ide itu. Tiba-tiba kurasakan ada benjolan besar di dalam kerongkonganku. Ya Tuhan, mengapa bisa-bisanya aku ingin menangis di saat-saat seperti ini?

"Bayaranku mahal."

"Aku tahu."

Aku mengerjap lagi, masih kaget dengan kekukuhannya. "Kau tidak mampu untuk membayarku."

"Aku bisa mencari cara."

"Tidak." Tukasku. "Kau tidak bisa. Dengar, Harry, aku tidak mengerti dengan maksud dan tujuanmu saat ini. Kau bahkan tidak mengenalku, begitu pun sebaliknya. Kau bisa mendapatkan pelacur mana pun yang kau mau...—" aku terdiam memberi jeda. Sekejap pandanganku terasa kabur meski dengan jelas aku bisa melihat ekspresi Harry yang mengeras. Aku tahu ia tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya. Oh, sial. Dia tidak menginginkanku. "Tidak, kau tidak bisa." Ucapku terburu-buru, memandang ke arahnya yang menatapku lurus, hingga seseorang yang berjalan tidak jauh di belakangnya mengalihkan perhatianku. Seorang pria, berambut coklat tembaga dan ia terdiam di tempatnya setelah memalingkan wajah dan melihatku.

Oh, sial! Sial! Sial!

"Kenya?" Ezra menyunggingkan senyumannya yang lebar.

Mengapa ia bisa berada disini?! Gadis batinku berteriak, menarik-narik rambutnya, mengerang dan memukul-mukul kepalanya ke dinding. Brengsek! Tidak bisakah ini berjalan lebih buruk lagi?

"E-Ezra?" aku nyaris tersedak ketika menyebut namanya. Seketika itu pula aku kembali menatap ke kedua bola mata Harry yang pupilnya mengecil.

"Sial, aku gagal memberimu kejutan meski sekarang kau terlihat terkejut. Sangat terkejut." Ia terkekeh singkat. "Sayang, aku mencarimu kemana-mana, ternyata kau berada di tempat seperti ini. Apa yang sedang kau lakukan?" Ezra masih menyengir lebar dari telinga ke telinga. Ia berjalan ke arahku dan menarik pinggangku ke arahnya, membuat daguku bertemu dengan pundaknya sementara aku tidak melepas tatapanku dari Harry yang rahangnya telah mengeras.

"Apa aku mengganggu?"

Aku memalingkan wajahku ke arah Ezra dengan ragu-ragu, "Ti-tidak. Ya Tuhan, aku masih tidak percaya kau ada disini." Ujarku menaruh nada keceriaan yang dipaksakan. Jelas ini bukan waktu yang tepat untuk berjingkrak ria merayakan kedatangannya yang tiba-tiba dan memberikan ucapan 'Selamat Datang Kembali, Aku Merindukanmu!'

Gadis dalam batinku masih memukul-mukulkan kepalanya ke dinding.

"Ya, aku bisa melihat itu. Kau melihatku seperti sedang melihat sesosok hantu." Ezra tergelak kemudian pandangannya beralih pada Harry, senyumannya langsung menipis. "Apa aku mengganggu kalian? Aku bisa menunggu di mobilku jika kau mau."

Aku melirik ke arah Harry sekilas, tatapannya tajam dan jahat. Sekilas aku melihat ke arah bawah dan kudapati tangannya yang sudah mengepal. Brengsek.

"Tidak, sama sekali tidak. Ayo kita pergi."

"Kau yakin? Bagaimana dengan temanmu?" Teman! Dia bukan temanku, Ezra! Dia psikopat yang senang mengejar-ngejar seorang pelacur!

"Kami sudah selesai."

"Tidak, belum." Sergah Harry secepat mungkin, suaranya sedikit menyentak, membuat kami berdua menoleh ke arahnya. Ia menggertakkan gigi dan menatap tajam pada kekasihku.

Aku menelan ludah, "Harry, kukira ini sudah jelas...—" aku melirik ke atas pada Ezra yang pandangannya masih terpaku pada si gila-kontrol-dan-pemarah-Styles, "—...sekarang kau tahu apa alasannya." Aku kembali menatap ke arah Harry yang sedikit membuka mulutnya, pupil matanya membesar, dan dengan segera aku menarik Ezra untuk pergi.

"Oke." Gumam Ezra di sampingku.

Kami berjalan melewati Harry dengan mudahnya. Sempat aku mengira ia akan menangkap tanganku seperti biasanya, namun nyatanya tidak. Ia hanya diam. Aku melingkarkan sebelah tanganku di pinggang Ezra, menaruh daguku di pundaknya lalu melirik ke belakang—melirik pada Harry yang bahunya merosot. Ia masih mematung di tempatnya.

TO BE CONTINUED!

*Pic of Kezra (Kenya+Ezra) on multimedia!

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 10.1K 3
Megan Lincoln adalah gadis gendut, tidak menarik, pemalu dan miskin. Dia terlahir tanpa orang tua yang jelas--dibesarkan dengan sukarela oleh wanita...
1.9M 39.4K 21
-My second story on wattpad- ( Cinta Tanpa Kepastian ) Sebuah pertemuan tak sengaja mempertemukan Avi Sena dengan Athaya Abraham yang membawa mere...
297K 2.6K 59
Saya hanya merekomendasikan cerita yang saya suka