CHANGED (sudah DITERBITKAN)

By sfdlovato

13.3M 356K 57.3K

Berawal dari sebuah dompet dan berujung menjadi perjalanan cinta yang rumit. Kenya Sharp adalah seorang maha... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
PRE-ORDER!!!
ATTENTION!! CHANGED hadir di Gramedia & Gunung Agung!!
CHANGED Side B di Gramedia!
Sequel CHANGED, "REBELS: A New Beginning" sudah terbit
Hari Ini PRE ORDER Rebels: The Last
Koleksi Semua Bukunya (1-4 Tamat)
CHANGED Full WATTPAD Version

Chapter 14

217K 5.4K 309
By sfdlovato

Harry menyempitkan matanya padaku, masih bertopang tubuh di sikunya, ia memutar bola mata kemudian membaringkan kepalanya lagi di bantal, "Selamat malam." Ujarnya santai sambil memejamkan matanya.

Astaga! Si brengsek ini! "Harry, aku serius! Bangkit dari kasurku dan pergi dari sini sekarang juga!" aku menarik bantalnya secara paksa, membuat Harry mengangkat kepalanya lagi dan sekarang ia tergelak. Hey! Apanya yang lucu?!

Harry memiringkan kepalanya ke satu sisi, memperhatikan sesuatu di balik pundakku, otomatis aku menoleh ke belakang dan ternyata Jules sudah menyender di ambang pintu kamarku. "Harry, aku perlu berbicara denganmu."

"Kau bukan bosku." Harry mendengus geli.

"Bukan, tapi ini tempat tinggalku. Aku bos disini."

Oh!

Menjatuhkan bantal ke lantai, aku pun kembali memandangi si Harry-brengsek-Styles yang sedang mengusap wajahnya kemudian turun dari tempat tidur. Bagus. Gadis dalam batinku menari-nari dan menyanyikan lagu kebangsaan.

Harry meraih pakaiannya yang berserakan kemudian mengenakannya, sementara aku merapihkan tempat tidurku yang berantakan, sesekali aku teringat dengan kejadian semalam. Bagaimana jadinya jika kemarin kami meneruskan sampai selesai? Mungkin Jules tidak hanya akan memergoki kami sedang tidur bersama, tapi juga telanjang! Mati sudah jika hal itu sampai terjadi.

"Aku sudah memperingatkanmu!" Jules menahan teriakannya dari luar kamar, aku tidak sadar bahwa Harry ternyata sudah berada di luar kamarku. Aku berusaha untuk mendengarkan tapi suara Harry benar-benar tidak terdengar oleh telingaku.

"Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi. Dia polos, Harry, dia polos!"

Aku menelan ludah, sedikit merasa bersalah karena aku telah menyembunyikan banyak hal dari Jules. Aku menggelengkan kepala, tidak mau lagi mendengar perdebatan mereka, lalu tiba-tiba saja aku teringat bahwa semalam aku berjanji akan menghubungi Spence. Ah, ya Tuhan! Ia pasti marah padaku sekarang!

Dengan segera aku meraih ponselku di dalam dompet, menghubungi Spence dan ia mengangkatnya pada nada sambung ketiga.

"Halo, Spence?" aku mendengar suara bising samar-samar di sebrang telepon, terdengar seperti ada bunyi klakson mobil dan beberapa orang yang berbicara di waktu yang bersamaan. Sepertinya Spencer tidak sedang sendirian.

"Kenny, mengapa kau baru menghubungiku sekarang?!"

Benar, bukan? Dia marah! Aku memijit keningku dan mondar-mandir di dalam kamar. "Maaf, aku kelupaan. Well, jadi bicara soal semalam, ada beberapa hal juga yang perlu kusampaikan padamu, Spence." Aku menjaga nada suaraku serendah mungkin kemudian masuk ke dalam kamar mandi, hanya sebuah antisipasi jika Jules dan Harry mungkin bisa mendengarku meski keduanya sedang beradu mulut.

"Maksudmu?" tiba-tiba suara bising itu hilang. Mungkin Spence sudah berpindah ke tempat yang lebih sepi.


"Aku... Aku ingin mengambil cuti."

Spencer tertawa di sebrang teleponnya, "Cuti, kau bilang? Kau pikir ini semacam pekerjaan yang kau lakukan di dalam kantor, Kenny? Beberapa pelangganmu mencarimu kemarin."

"Oh?"

"Kemarin aku sampai kewalahan karena salah satunya memaksa hanya ingin dilayani olehmu."


Wow. Aku cukup terkesima mengetahui ini. "Lalu apa yang kau lakukan?"

"Aku menawarinya gadis brunette yang lain."


Gadis brunette? Oh, aku tahu siapa dia. "Tuan Clark? Dia yang mencariku?" setahuku ia memang hanya menyukai gadis berambut brunette, dan aku salah satu favoritnya, dia paling anti dengan gadis berambut pirang.

"Ya, yang itu. Si tua berperut buncit. Jadi kapan kau akan kembali?" Spencer mendengus, aku bisa membayangkan dirinya yang sedang melipat tangan di dada.

"Mungkin satu atau dua minggu?" aku menggigit bibir, tidak yakin jika Spence akan mengijinkan.

"Itu terlalu lama. Mereka bisa segera lupa denganmu nantinya. Aku yakin kau tidak ingin kehilangan pelanggan tetapmu, Kenny."


Oh, aku lebih memilih jika aku yang menghilang ditelan bumi. "Baiklah, tidak lebih dari dua minggu. Bagaimana?"

Spencer terdiam beberapa saat. "Oke, tapi jika aku membutuhkanmu secara mendadak, kau harus siap."

"Aku mengerti. Terimakasih, Spence. Sampai jumpa." Spencer Hudson langsung mematikan sambungan teleponnya dariku. Ah, astaga, dia pasti marah besar. Dia bersikap baik seperti ini karena tidak mau kehilangan aku, melihat kenyataan bahwa beberapa pengusaha terkaya di New York sering memakaiku dengan bayaran sangat tinggi meski pun tidak terlalu sering. Oleh sebab itu, ada keuntungan tersendiri bagi Spence mengetahui aku adalah salah satu asetnya yang berharga kendati aku jarang mendapatkan pelanggan di hari-hari biasa.

Setelah aku keluar dari kamar mandi, aku sudah tidak mendengar suara Jules di luar kamarku. Mungkin Harry sudah pergi? Ketika aku berjalan keluar untuk mengecek ternyata tebakanku memang benar, dan sekarang Jules sedang berada di dapur dan membuat roti isi.

"Dia sudah pergi?"

Jules mengangguk dua kali, lalu menoleh, "Kau mau sarapan?"

"Ya, tolong." Aku berjalan menuju meja makan untuk empat orang. Tak lama, Jules datang membawa mug kesayangannya dan sepiring roti isi yang sudah dipotong menjadi segi tiga dan menyerahkannya padaku.

Ia menarik kursi di hadapanku kemudian duduk, "Kau jadi pergi denganku kan malam ini?"

Malam ini? Ah! Aku baru ingat kalau Jules mengajakku untuk menonton adu balap. "Ya, jika kau masih menginginkanku untuk datang."

"Tentu aku ingin kau datang, Tyler memaksaku dari jauh-jauh hari."

"Siapa Tyler?" aku mengangkat kedua alisku sambil menggigit ujung roti isi di tanganku. Jules memberikan seringaian cetilnya. Oh, aku mengerti. "Friends with benefits-mu yang lain?"

Ia menggeleng seraya mengunyah roti isi yang penuh di dalam mulutnya. Jules menelannya terlebih dahulu sebelum kembali berbicara, "Belum, tapi dia lah alasan mengapa aku lebih memilih untuk menjalani hubungan friends with benefits dengan Niall."

Aku mengernyit, tidak mengerti.

"Niall meminta lebih." Oh. "Dan aku tidak mau karena aku lebih menginginkan hubungan itu dengan Tyler."

"Mengapa? Apa ia lebih menarik?"

"Umm, tidak juga. Hanya saja kupikir Tyler lebih dewasa ketimbang Niall. Maksudku, Niall pria yang baik dan perhatian tetapi ia mudah kesal seperti bocah, aku tidak suka."

"Jadi kau menyukai Niall?"

"Tentu saja aku menyukainya! Tapi aku lebih menaruh ketertarikanku pada Tyler. You know, he's hot anyway." Jules menyeringai, mengedipkan sebelah matanya kemudian bangkit dari kursi untuk kembali ke dalam dapur.

Selama beberapa saat aku memikirkan perkataan Jules, ternyata aku tidak sendiri. Ia juga dikelilingi oleh dua orang pria yang ia sukai. Gadis dalam batinku terlihat menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk karena lega.

Tunggu, tadi aku berpikir apa? Tidak, tidak, tidak. Aku menggelengkan kepala, membuyarkan pikiranku yang sudah tidak waras! Ah, aku harus menghubungi Ezra siang ini.

***

Begitu jam kuliahku berakhir, aku langsung berhambur keluar dari dalam kelas menuju luar gedung NYU, berjalan menuju halte sambil merogoh ponselku di dalam tas yang aku jinjing karena teringat pada Ezra.

Aku menghubunginya dan ia mengangkat pada nada sambung kedua. "Hai." Sapanya di sebrang telepon.

"Hai." Aku bisa membayangkan senyumannya yang selebar milikku saat ini.

"Bagaimana kabarmu? Tumben kau meneleponku lebih dulu."

Aku terkekeh, meski dalam hati sedikit tersindir. Memangnya aku begitu jarang meneleponnya? "Aku baik, aku sedang menunggu bus di halte untuk pulang. Apa yang sedang kau lakukan? Aku merindukanmu."

"Oh, gadisku merindukanku, syukurlah." Wajahku merona, aku bisa merasakannya. "Aku juga merindukanmu. Aku sedang istirahat makan siang di café, aku ingin segera menyelesaikan kegiatanku di rumah sakit. Apa ada sesuatu? Aku masih sedikit terkejut kau menghubungiku lebih dulu, Kenya."


"Uh, tidak, tidak ada." Aku berdehem, sebenarnya ada banyak yang ingin kuceritakan padanya, tapi aku tidak yakin bahwa aku harus mengatakannya di telepon. "Aku hanya merindukanmu, berharap bahwa mungkin kau akan kemari? Will juga sudah rindu padamu." Aku yakin ia pasti bosan mendengar pertanyaan ini. Aku seperti seorang kekasih yang ditinggal pergi untuk tugas militer.

"Ya, aku tahu, kau sudah mengatakannya." Ezra terkekeh. "Sayangnya aku masih sedikit sibuk, tapi aku akan mencari cara untuk bisa pergi ke New York. Well, katakan pada adikmu kalau aku juga merindukannya, aku akan membawakan sesuatu begitu aku berkunjung kesana. Pastikan kau katakan itu padanya, oke?"


Senyumku melebar. Bentuk perhatian yang Ezra berikan pada Will sungguh menghibur suasana hatiku. Mendengar suara klakson bus, aku pun berjalan masuk dan mengambil tempat duduk di pojokkan tengah, memandangi beberapa orang yang juga masuk ke dalam bus sebelum akhirnya melaju pelan. Ezra membicarakan soal orang tuanya yang akan berlibur ke Barbados, lalu ia juga bercerita tentang beberapa temannya yang juga praktek di rumah sakit, salah satunya bernama Jessica, seorang gadis yang ternyata tinggal di apartemen yang sama dengannya. Mendadak perutku mual. Siapa Jessica?

"Wow, jadi ia juga belajar banyak darimu soal mendiagnosis pasien, eh?"

"Ya, dia sebenarnya cukup terampil, tetapi ia mudah panik dan khawatir. Jika ia menemukan diagnosis lain yang tidak berhubungan dengan penyakit pasien, ia selalu terburu-buru dalam mengambil kesimpulan. Itu yang aku khawatirkan dengannya, aku harap ia bisa lulus."


Aku tersenyum simpul, sedikit dipaksakan memang walau pun sebenarnya tidak perlu karena Ezra tidak akan mungkin melihat reaksi masamku. Hanya saja mengingat kenyataan bahwa Ezra selalu marah jika aku cemburu pada gadis lain membuatku sulit terlepas untuk berpura-pura menerima para gadis itu.

Wajar saja karena Ezra pria yang menarik. Ia tampan, cerdas, memiliki wibawa, rapih, dan sekarang ia seorang calon dokter. Siapa juga gadis yang tidak akan tertarik padanya? Gadis dalam batinku menebarkan kelopak-kelopak bunga mawar dan mengangkat spanduk bertuliskan 'Selamat Kau Beruntung!' membuatku tersenyum dan memutar bola mata pada saat yang bersamaan.

Beberapa menit kemudian Ezra pamit padaku karena ia harus kembali bekerja, aku pun mematikan sambungan telepon dan tak lama setelahnya aku turun dari dalam bus. Berjalan sedikit untuk bisa sampai ke apartemen, kulihat mobil mustang milik Niall sudah terparkir di luar, aku pun masuk dan menaiki anak tangga karena lift di apartemenku sering rusak, agak ngeri jika harus menggunakannya, maklum karena apartemen sewaan kami adalah apartemen murah.

Malamnya, Niall membawa kami ke daerah Brooklyn, ke suatu tempat yang gelap dan sepi, mungkin karena ini sudah jam 1 malam. Seketika aku merasa gugup karena aku tidak mengenali tempat ini sama sekali. Niall mengemudikan mobilnya menuju sebuah jembatan layang yang ditutup aksesnya. Astaga! Apakah ini legal?

"Jules, kita ada dimana?"

"Di arena balap." Jules menjawab tanpa menoleh ke belakang.

Arena balap? Ini terlihat seperti jalan raya biasa! "Kau yakin?"

"Ya."

"Apakah ini legal? Tidakkah polisi akan merazia? Ini berbahaya, Jules!"

"Astaga, Kenya, kami sudah sering melakukan ini. Dimana-mana yang namanya balapan liar mana ada yang legal!"

Balapan liar? Oh! Aku mengerti sekarang. Kukira Jules akan membawaku ke suatu adu balap resmi seperti MotoGP yang sering kami tonton di tv. Dan pantas saja Jules memaksaku memakai pakaian mini dan serba hitam seperti sekarang! Pasti akan ada banyak teman-temannya disini, termasuk Tawni.

Aku menggelengkan kepala, pikiran itu sangat menggangguku.

Begitu Niall memarkirkan mobilnya di sisi jalan, kami bertiga pun berhambur keluar, kulihat ada banyak orang yang sudah berkumpul disini. Semuanya berpenampilan seperti preman, memakai setelan hitam dan jaket kulit, tidak lupa ada rantai-rantai yang menggantung di belakang celana jeans mereka. Selain itu beberapa gadis juga terlihat bersenang-senang dan bersorak-sorai, kudapati salah satunya membawa sebuah bendera bermotif kotak-kotak berwarna hitam-putih yang persis seperti bendera di acara MotoGP.

Astaga, ini keren! Gadis dalam batinku melakukan salto dua kali.

"Ayo." Jules menarikku, menggiringku pada sekumpulan orang  yang cukup familiar sementara Niall mengikuti kami di belakang. Hanya ada beberapa orang yang kukenali disini, seperti Zayn, Louis, Tawni, dan Mike. Ah... Tawni... Kuharap ia sudah tidak dendam padaku, meski kelihatannya masih, buktinya ia langsung pergi sambil mengernyitkan wajahnya padaku. Baguslah, aku juga tidak ingin melihatnya. Gadis batinku seakan menendang gadis itu menjauh.

"Tyler, sesuai dengan pesananmu, aku membawa temanku, Kenya. Kenya, ini Tyler." Jules memandangku sambil menyunggingkan seringainya yang lebar.

Menatap ke arah Tyler yang memiliki rambut pirang, aku pun teringat pada sosok pria yang dulu pernah duduk berdampingan dengan Jules di MCC. Jadi dia pria yang terlihat begitu akrab dengan Jules waktu itu? Aku tersenyum membalas senyuman miring Tyler terhadapku, kuakui ia memang memiliki gaya yang cukup menarik, sama persis dengan gaya yang dimiliki oleh Jules. Bicara soal gaya Jules, dia menjadi yang paling nyentrik di gerombolan kami, rambut merah mudanya menyala di bawah lampu remang-remang fly over, ia juga mengenakan sebuah bandana di kepalanya, lalu ia mengikat kemeja kotak-kotak di pinggangnya. Ini sungguh bukan hal yang biasa dari Jules. Ia merombak habis style-nya.

Sejenak aku penasaran pada reaksi Niall, apakah ia tahu bahwa Jules menaruh perasaan terhadap Tyler? Aku pun menoleh ke arahnya yang berdiri di belakang Jules. Terlihat Niall sedang menggertakkan giginya lalu membuang muka. Oke, jadi Niall tahu soal Tyler.

"Jadi, kau gadis satu apartemen Jules? Senang bertemu denganmu. Kuharap kau suka dengan acara kami."

"Aku dan Jules sering menonton MotoGP bersama."

Tyler tertawa bersama teman-temannya. "Kujamin ini akan lebih seru ketimbang MotoGP. Bersenang-senanglah."

"Julia!" seseorang berseru tak jauh dari gerombolan kami. Liam. Ia datang sambil mengangkat kedua tangannya ke udara lalu mendekap dua orang gadis pirang di dekatnya.

"Oh, ayolah, jangan panggil aku dengan nama itu. Kau tahu aku membencinya." Jules memutar bola mata.

"Hmm..." Liam tergelak, sekarang matanya bergerak ke arahku. Sekilas aku teringat akan wajahnya yang samar-samar di ingatanku. Ya Tuhan, aku bersumpah aku pernah melihatnya! Tapi dimana?! Gadis dalam batinku mengingatkan kejadian di frat house, tapi aku langsung menyangkalnya. Bukan! Bukan di frat house! Di tempat lain! Sebelum itu!

"Kau membawa temanmu lagi. Aku ingat kau belum memperkenalkannya padaku, Jules." Liam menyeringai, sebelah tangannya terlepas dari pundak si pirang nomor 1, kemudian ia menjulurkan tangannya padaku.

"Kenya." Aku menyambut uluran tangannya. Wow, genggamannya sangat kuat.

"Kenya, aku suka rokmu." Apa? Liam menyeringai lagi dan kini ia berbalik setelah seseorang meneriaki namanya dari kejauhan. "Kau baru pertama kali kemari?"

Aku mengangguk, "Ya."

"Kuharap kau akan menikmatinya. Ada banyak bir di dalam van, kau bisa mengambilnya jika kau mau." seringainya mengerikan. Terkesan cabul tapi juga menikam.

"Tidak, terimakasih."

Liam menyeringai lagi, matanya memandangiku dari ujung atas hingga ke bawah. Aku menggeliat tidak nyaman.

"Well, mereka sudah memanggilmu, Li. Sebaiknya kau cepat kesana. Kupikir kau ingin menang malam ini, bukan?" suara Jules yang melengking menginterupsi tatapan Liam. Ah, syukurlah. Aku yakin Jules menyadari ketidak nyamananku tadi. Terimakasih Tuhan!

"Ya, tentu, apa kau memasang taruhan untukku? Sayangnya si pecundang itu belum juga memperlihatkan batang hidungnya, kukira ini akan menjadi menarik." Liam tergelak mengejek, ada nada geli dalam suaranya.

"Mungkin ia dalam perjalanan, semalam ia menginap di apartemenku dan berkata ia akan datang."

Semalam? Oh, apakah yang ia maksud adalah Harry? Si brengsek-gila-kontrol itu ada disini?! Maksudku, ia akan kemari?!

Hebat! Gadis dalam batinku tersenyum sarkastik. Ini tidak akan bisa menjadi lebih baik lagi. Sial!

"Ayo, Liam!" seru seseorang di kejauhan, Liam pergi dari kami termasuk dengan meninggalkan dua gadis pirang tadi.

"Kau sudah menghubungi Harry? Dimana dia? Aku sudah memasang taruhan tinggi untuknya, ia tidak boleh tidak datang." Zayn menggerutu pada Louis. Setahuku ia yang paling jarang berbicara di antara yang lain.

"Mailbox, mungkin dia sedang dalam perjalanan."

"Kupikir begitu." Jules menunjuk dengan dagunya ke belakang punggungku. Detik itu juga aku berbalik dan kulihat Harry mengendarai sebuah motor balap berwarna hitam yang selaras dengan jaketnya, rambut ikalnya berkibaran diterpa oleh angin malam, sebuah helm terpasang di belakang joknya, matanya memincing kemudian ia melewati kami dan menghentikan motornya di dekat sebuah van hitam yang dipenuhi oleh bir. Tawni juga ada disana, langsung menghampirinya.

Telapak tanganku berkeringat. Oh, Tuhan...

"Ini akan menarik! Ayo, Kenya!" Jules menarik tanganku dengan bersemangat, namun aku sedikit tertarik melihat ke arah bawah fly over. Sepi. Jalanan ini benar-benar sepi. Bagaimana bisa mereka sering melakukan ini tanpa terkena razia polisi sama sekali??

Mungkin karena waktunya memang sudah mepet, para peserta adu balap sudah memposisikan diri mereka masing-masing di arena. Para penonton menepi sambil meneriakkan peserta yang mereka dukung. Dan oh, tadi aku mendengar soal taruhan, apakah Jules juga melakukannya?

"Apa kau ikut bertaruh?"

"Tidak hari ini. Aku sedang kehabisan uang." Jules mengangkat bahunya, dan aku baru ingat kalau aku memiliki hutang 100$ padanya. "Kita harus berdiri di paling depan. Ikut aku." Jules menarik tanganku lagi, berjalan di antara kerumunan orang hanya untuk menonton balap liar dari depan.

Ada garis putih di aspal untuk menandai batas dimana penonton boleh berdiri. Aku menengok ke arah kanan dan kulihat ada 10 orang peserta yang sedang mempersiapkan diri di posisi mereka masing-masing, termasuk Liam juga Harry. Semuanya sudah memakai helm dan terlihat siap, hanya tinggal menunggu aba-aba.

"Ayo, bung! Kau harus menang lagi malam ini!" Zayn mengangkat kepalan tangannya penuh antusias. Memang ia memasang taruhan seberapa tinggi sih?

"Pemenangnya akan mendapatkan apa?" aku bertanya pada Jules.

"Uang, champagne, dan seorang jalang." Jules tergelak pada kata terakhirnya. Seorang jalang? Oh.

"Siapa yang kau jagokan?"

"Umm, cukup sulit. Semua orang tahu kalau persaingan antara Harry dan Liam selalu ketat. Tapi untuk malam ini aku menjagokan Liam. Aku sedang marah pada teman satu kasurmu itu."

Teman satu kasur? Oh, ayolah! Yang benar saja? Aku memutar bola mataku dari Jules. Itu terdengar menjijikan, kau tahu?

"Bersiap?" Aku mendengar suara seseorang berseru. Seorang gadis berambut pirang pendek juga sudah berdiri di hadapan para peserta adu balap sambil memegang sebuah bendera, bersiap untuk mengibarkannya.

Sontak jantungku berpacu kencang sekarang. Mataku terpaku pada Harry yang berada di posisi paling depan sementara Liam berada di posisi kedua dengan motor merahnya, semua peserta sudah mulai menggas dan terdengar raungan pendek.

"Apa tidak ada tim medis disini?"

"Tidak. Kami baru akan memanggil ambulans kalau ada yang celaka."

Jadi, tidak ada 'sedia payung sebelum hujan', hah? Ya Tuhan, ini benar-benar sangat berbahaya!

"Berapa putaran biasanya?"

"Umm, hanya 3. Kami memasang aturan sendiri. Jangan bayangkan seperti menonton MotoGP!"

Aku tertawa bersama Jules, dan tidak lama kemudian sorak sorai penonton semakin membesar.

"MULAI!"

Aku tersentak ketika mendengar teriakan seseorang yang wujudnya tak terlihat dari pandanganku. Suara motor langsung menderu kencang dan mereka melesat meninggalkan garis Start serta melewati seorang gadis yang sudah mengibarkan benderanya sejak balapan dimulai, mataku secara otomatis mengikuti kemana mereka pergi hingga tidak terlihat dan hilang di kegelapan. Tim yang sengaja ditugaskan untuk mengawasi jalannya adu balap juga ikut melesat beberapa saat setelah para peserta melaju cepat. Sejenak sorak sorai penonton berubah sedikit lebih tenang, menunggu siapa pemenang dari perlombaan ini.

"Apa aku boleh bertanya sesuatu?"

Jules menoleh, Niall yang berdiri di sampingnya memberikan sebotol bir kemudian berlalu bersama Zayn dan Mike, "Ya, ada apa?"

"Memang ketegangan apa yang terjadi di antara Harry dan Liam? Apa hanya sekedar adu kecepatan dalam balapan?"

Jules melebarkan pandangannya padaku, ia terlihat kaget, setelah itu ia menengok ke belakang seolah-olah mengantisipasi agar tidak ada orang yang mendengar kami. "Ini agak rumit. Aku sendiri tidak tahu harus menjelaskannya dari mana."

"Dari awal." Sergahku.

Jules kembali melebarkan matanya. Oh, ya Tuhan, aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. "Dulu kami semua satu kelompok." Jules merendahkan suaranya, "termasuk dengan Liam dan Harry. Kami terpecah belah karena suatu hal." Jules meneguk birnya sebelum melanjutkan, "Zayn dulu lebih berpihak pada Liam, mereka tinggal di satu frat, tapi Zayn mengakui bahwa dirinya sudah tidak tahan dengan kebobrokan Liam yang cukup mengganggunya. Maksudku, Zayn itu anak orang kaya, dia anak dari seorang CEO terkenal dan Liam sering memerasnya. Kurasa hal itu yang membuat Zayn berpaling pada Harry sekarang, oleh sebab itu ia pindah."

"Kau bilang mereka terpecah belah? Apa penyebabnya?" nada suaraku berubah seperti seorang polisi yang sedang mengintrogasi saksi mata. Oh, aku bisa melihat gadis dalam batinku memukul-mukul tongkat polisi di tangannya.

"Nah, aku tidak tahu, tapi beberapa di antara kami berspekulasi bahwa kematian Matthew—kakak Liam—adalah awal dari ini semua."

"Harry berkata padaku bahwa Liam adalah seorang bajingan besar. Apa itu benar?"

Jules tertawa lebar, "Ya, memang benar. He has a big-ass-hole (dia memiliki lubang pantat yang besar)." Ia tertawa lagi.

Aku menyipitkan mata, heran. Aku sedang serius, Jules!

"Well, salah satu hobinya adalah membuat sex-tape."

Apa? Sex-tape?! Aku menganga, tidak percaya.

"Kudengar ia memiliki seorang bos yang bekerja di suatu perusahan produksi video porno. Liam dan beberapa kru-nya sering mencari gadis yang mau direkam dalam adegan panas secara cuma-cuma."

Aku mengernyit jijik, "Secara cuma-cuma?"

"Ya, tanpa bayaran. Tapi anehnya ia selalu mendapatkan gadis semacam itu, entah ia mendapatkannya dari mana, tapi dulu si bajingan-kaya cukup sering membantunya."

"Si bajingan-kaya? Siapa?"

"Zayn!" Jules memutar bola matanya. "Ah, kau harus tahu seberapa kayanya dia. Beberapa waktu yang lalu saat ulang tahunnya, ia membawa kami ke MCC, kau tahu? Itu salah satu club paling mahal dan terkenal di New York! Hanya seorang anggota saja yang bisa masuk, dan Zayn, dia adalah anggota disana. Ia menghabiskan uang hingga puluhan ribu dollar hanya untuk mentraktir kami minum di hari ulang tahunnya!"

Wow. Mendadak perutku seakan ditendang. Jadi, saat itu mereka datang untuk merayakan ulang tahunnya? Tapi, jika ia seorang anggota, mengapa aku tidak pernah melihatnya sebelumnya?

Waktu pun terus bergulir, seluruh peserta sudah melakukan putaran pertama mereka. Di awal kulihat Liam memimpin hingga di putaran kedua. Entah untuk alasan apa aku merasa gugup, perutku mual dan telapak tanganku berkeringat lagi. Ini sungguh menegangkan!

"Ah! Itu dia! Itu mereka!" Jules berteriak histeris sambil memandang ke belakang pundakku, ia meneriaki nama Liam. Aku berbalik dan ternyata salah seorang—tidak, dua orang peserta adu balap—sudah hampir mendekati garis finish. Aku melihat dua buah lampu motor di kejauhan, keduanya seperti saling mengejar, pertukaran posisi banyak terjadi tetapi aku tidak yakin mana yang berada di posisi paling depan. Motor hitam dan merah tidak terpaut pada jarak yang jauh. Kurasa salah satunya akan menang tipis.

Aku pun menegang di tempat. Tubuhku berubah condong ke arah arena untuk bisa melihat lebih jelas siapa yang akan menjadi pemenangnya.

TO BE CONTINUED!

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

Continue Reading

You'll Also Like

152K 13.7K 169
Sebut saja cerita tak berjudul. Karena aku bingung judul apa yang tepat untuk menceritakan keseharian kita. Karena semua rasa yang kurasakan terjadi...
670K 32.2K 38
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
5.2M 59.8K 15
(Dave & Clara) watty winner 2016 Part 86-End sudah di hapus karena telah di terbitkan. Terima kasih :) Jatuh cinta itu membuat pikiran dan logika k...
754K 75.6K 53
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...