My Beautiful Girl

By putytiya

565K 18.1K 198

WARNING ALERT!! Cerita tidak konsisten, banyak revisi, kata tidak jelas, rating 17+ ~ Alessa dan Leo adalah m... More

My Beautiful Girl : 01
My Beautiful Girl : 02
My Beautiful Girl : 03
My Beautiful Girl : 04
My Beautiful Girl : 05
My Beautiful Girl : 06
My Beautiful Girl : 07
My Beautiful Girl : 08
My Beautiful Girl : 09
My Beautiful Girl : 10
My Beautiful Girl : 11
My Beautiful Girl : 12
My Beautiful Girl : 13
My Beautiful Girl : 14
My Beautiful Girl : 15
My Beautiful Girl : 16
My Beautiful Girl : 18
My Beautiful Girl : 19
My Beautiful Girl : 20
My Beautiful Girl : 21
My Beautiful Girl : 22
My Beautiful Girl : 23
My Beautiful Girl : 24
My Beautiful Girl : 25
My Beautiful Girl : 26
My Beautiful Girl : 27
My Beautiful Girl : 28
My Beautiful Girl : 29
My Beautiful Girl : 30
My Beautiful Girl : 31
My Beautiful Girl: 32
My Beautiful Girl : 33
My Beautiful Girl : 34
My Beautiful Girl : 35
My Beautiful Girl : 36

My Beautiful Girl : 17

15.8K 464 2
By putytiya

Vote, please...



.



Langit pagi itu biru cerah, sapuan tipis awan putih di beberapa bagian mempercantik warnannya dan burung-burung kecil bercicit di atas pagar balkon.

Tangan Alessa memegang tongkat pel erat, matanya menatap pintu kamar Leo yang sejak malam tertutup. Sendari tadi dia tak mendengar aktivitas dari dalam kamar. Apa mungkin pria itu belum terbangun dari mimpi kotornya? Atau, pria itu tidak pulang sejak semalam?

Menyingkirkan pikiran untuk mengetuk pintu tersebut, Alessa bergegas kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Setelah menata sarapan—Alessa ragu sejenak, bagaimana kalau Leo ternyata tidak ada di apartement dan makanan itu otomatis tidak akan termakan. Alessa mengeleng.

Namun, tidak ada salahnya menyiapkan sesuai protokol. Bila memang pria itu tidak pulang sejak semalam, mungkin pria itu akan pulang untuk berbenah diri dan menghabiskan sarapan yang dirinya buat.

Alessa buru-buru mengambil totebagnya dan bersiap pergi ke kampus. Untuk terakhir kalinya, ia kembali menatap suasana lengang apartement. Berharap mendengar aktivitas kecil dari arah kamar Leo. Namun  nihil hanya terdengar dengungan pendingin ruangan yang terdengar.

Tanpa berpikir dua kali, Alessa akhirnya melangkahkan kakinya keluar dari apartement.

Sore harinya. Saat Alessa melangkah memasuki apartement, suasana sunyi langsung menyambutnya.

Tubuhnya tiba-tiba terdiam, berdiri dengan tatapan cermat menelusuri ruangan yang sepi. Kenapa tiba-tiba Alessa, tidak suka dengan suasana dingin yang menyambutnya? Merasakan keheningan yang mengisi setiap sudut ruangan, seakan-akan apartement ini belum pernah ada yang masuk sejak terakhir kali ia tinggalkan.

Alessa melangkah perlahan, tidak ada tanda-tanda kepulangan Leo.

Makanan yang berada di atas meja bar pun masih tetap di tempat semula. Tanpa sadar Alessa mendesah kecewa, ia lalu mulai membersihkan makanan yang tak berkurang sedikit pun.

Setelah membersihkan ruangan tv dan dapur yang sebenarnya masih rapi, Alessa kembali ke kamar dan mulai mengerjakan skripsi.

Dua jam yang panjang dengan pikiran penuh pertanyaan. Akan keberadaan Leo yang sudah dua hari tak kunjung pulang membuatnya tak bisa berkonsentrasi penuh. Sesekali Alessa melirik ponselnya, berharap Leo menghubunginya.

"Kenapa juga gue mikirin dia..." Geram Alessa pada dirinya sendiri, menenggelamkan wajahnya pada telapak tangannya.

Jam di layar laptop sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Alessa beringsut berdiri meninggalkan meja belajar dan menutup laptopnya.

Untuk kesekian kalinya Alessa menatap ponselnya, namun nihil yang dia harapkan tak kunjung datang.

Ibu jarinya tanpa sadar mengusap layar ponsel, berharap untuk terakhir kalinya Leo menghubunginya. Sebelum akhirnya jatuh tertidur.

***

Di sebuah butik baju yang mewah, seorang wanita tengah berbelanja dengan penuh semangat. Dia bergeser kesana kemari memilih-milih pakaian dengan hati-hati, mencoba satu kesatuan baju yang dia rasa cocok. Wajahnya berseri-seri ketika dia menemukan salah satu baju yang terlihat cocok untuknya.

Sementara itu, Leo yang menemani kakaknya berbelanja menunggu dengan bosan. Dia duduk di sofa yang terasa seperti permukaan batu karang, sambil memainkan ponselnya dengan malas. Ia merasa bosan dan tidak sabar menunggu, kakak perempuan itu menyelesaikan sesi berbelanja.

Leo merasa seperti waktu berjalan sangat lambat, di dalam store tersebut.

"How about now?" Tanya Anna yang sudah keluar dari ruang ganti pakaian.

"Same." Jawab malas Leo hanya melirik sekilas ke arah kakaknya.

Anna tersenyum menunjuk baju yang dia pakai kepada pelayan toko. "Masih memikirkan perjodohan itu, huh?" Tanya Anna, kini beralih memilih tas.

Leo mendengus. Tak tertarik untuk mengungkit masalah tersebut. Itu hanya membuat hatinya kesal dan kesal.

"Ayah gak bakal ngejodohin kamu sama cewe yang gak bermutu. Tenang ajah."

"Tau darimana?!"

"Ucapan kamu tadi malam bener-bener bikin kakak sakit hati tau. Emang kakak sama Sam gak dijodohin?" Anna beralih menatap Leo, dengan bertolak pinggang khas miliknya.

Leo tertawa pendek tanpa humor. "Ya, kakak sih happy. Karena, Sam anak orang kaya."

Anna membuat suara tercekik pendek. "Bla-bla... Kakak mu ini gak pake uang Sam, sepeserpun untuk beli tas atau baju. Uang yang di kasih Sam kakak tabung untuk Radit. Catet itu." Sungut Anna sebal, berbalik dengan dramatis memunggungi Leo.

Leo memutar kedua bola matanya. Mulutnya mengerucut meledek.

"Apa jangan-jangan..." Anna kembali menatap Leo, skeptis. "Jangan-jangan kamu jatuh cinta dengan pembantumu itu? Si pekerja keras, cantik—ya dia memang cantik, minus mulut tajamnya." Tebaknya dengan menatap adiknya menyelidik.

Leo memandang Anna, datar di depannya. "Apaan sih." Elaknya tajam, yang membuat Anna bertepuk tangan tak percaya.

Anna masih bertepuk tangan. "Ah, tebakan gue berarti bener!!" Dengan tertawa puas, dia berbalik untuk melihat dirinya di pantulan kaca dan meneliti wajah adiknya dipantulan kaca.

Sedangkan Leo, dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukan senyum kecilnya. Karena, ya. Tebakan kakaknya 100% benar, dia jatuh cinta pada perempuan itu. Mungkin. Leo tidak tahu pasti.

***

Pagi itu, suasana kampus begitu sepi. Hanya terdengar suara langkah kaki Alessa yang terburu-buru menuju ruang kuliah di lantai dua. Dia mengabaikan hatinya yang gelisah, karena sudah tiga hari Leo tidak pulang.

Pagi tadi ia memberanikan dirinya untuk membuka pintu kamar tidur Leo yang ternyata tidak terkunci. Matanya terbelalak tidak percaya saat melihat pintu tersebut terbuka dengan jeritan yang tertahan ditenggorokkannya.

Alessa kembali menutup pintu tersebut dengan cepat—wajahnya panas karena ulahnya tersebut. Tentu saja, bagaimana kalau sebenarnya pria itu ada di dalam kamar dan memergoki tindakkannya. Sial—namun dewi fortuna sedang berada di pihaknya.

Alessa terus berjalan, mencoba menenangkan dirinya sendiri di setiap langkahnya. Namun, semakin lama dia semakin merasa gelisah—dibalik rasa malunya. Dirinya tidak bisa berkonsentrasi pada sisa pelajarannya dan hanya terus memikirkan Leo.

Apakah dia baik-baik saja? Apakah Leo dalam bahaya? Dia merasa seperti terjebak dalam sebuah labirin yang tak berujung. Bagaimana kalau ternyata pria itu melarikan diri, tidak membayar upahnya?

Gisel dan Mega yang duduk di depan Alessa, tengah berbincang hangat. Sedangkan, Alessa tak ikut dalam perbincangan tersebut.

Alessa malah menatap kosong ke layar laptop dengan masih memikirkan kemana perginya Leo. Tidak tahu harus melakukan apa alih-alih mulai mengerjakan tugasnya.

Alessa merasa ada yang tak beres dengan perasaanya. Dia tak berinisiatif menghubungi pria itu, karena dia tak ingin menjadi yang pertama menghubunginya—itu akan meruntuhkan egonya dan buka tipe dirinya.

Bisa dipastikan pria itu akan mengejeknya habis-habisan bila menanyakan kabarnya lebih dahulu.

"Sa." Panggil Gisel tiba-tiba.

Alessa mengalihkan tatapannya untuk mendapati bahwa kedua sahabatnya tengah menatapnya.

"Kenapa dari tadi perasaan begong mulu?"

Alessa menggeleng pelan, matanya mengerjap memulihkan kesadarannya. "Gue... Gue cuma bingung banget, kenapa di bab ini banyak revisi." Dengan menunjuk kertas hvs yang penuh coretan.

Mega mengangguk kecil, sedangkan Gisel sebaliknya—matanya menatap tajam perempuan di depannya.

***

"Mau kemana?" Tanya Anna bergeser ke samping di dalam mobil. Saat Leo berdiri diluar setelah menutup pintu mobil dan tidak ikut masuk ke dalam mobil.

"Keperluan kecil." Jawab Leo mengibaskan tangannya kepada supir.

"Wait." Kata Anna kepada supir. Matanya beralih memicing menatap Leo di luar. "Kecil menurutku besar, Leo." Katanya penasaran.

Leo memutar matanya malas. Dia memang tidak bisa menyembunyikan apapun kepada kakaknya.

"Kamu tahu, kalau ayah mengetahui ini... Dia pasti tidak akan senang."

Untuk beberapa saat Leo terdiam. Matanya menatap serius wajah sang kakak.

"No, aku tidak akan melakukannya kali ini." Anna mendengus, tahu kalau Leo takut dirinya akan melaporkan hal tersebut kepada ayah mereka. " Just, kamu tahu perbuatan akan selalu ada akibatnya. Ayah bukan orang yang mudah diajak kerja sama dan bila ayah ingin itu... Berarti itu harus sesuai yang dia inginkan." Anna mendesah lelah. Tangannya terulur keluar dari jendela.

Tanpa diminta, Leo mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan sang kakak. "Thanks." Untuk tutup mulutnya, gumam Leo di dalam hati.

Untuk terakhir kalinya, Anna memberikan senyuman terbaiknya untuk Leo yang menatap kepergian mobil beserta dirinya, dari pelataran mall menuju hiruk pikuk jalan raya.

Leo tak akan mengalah untuk kali ini. Ayahnya adalah pria egois, dan Leo akan menunjukkan bahwa darah egoisnya juga mengalir padanya. Leo lalu menginstrupsikan tubuhnya untuk berbalik dan kembali memasuki mall.

***

Hari lainnya, seperti pagi hari sebelumnya.

Alessa akan duduk di dalam bus kampus, menatap keluar jendela dan melihat pemandangan jalan kampus yang masih sepi di sepanjang rute menuju gedung fakultasnya.

Suasana di dalam bus masih tenang dan hening, hanya terdengar suara mesin bus yang bergetar dan suara langkah kaki satu-dua penumpang yang masuk.

Beberapa penumpang lain di dalam bus terlihat sibuk dengan ponsel mereka, mungkin sedang mengecek jadwal kuliah atau menyelesaikan tugas. Tanpa sadar Alessa menatap ponselnya dalam genggamannya, ia masih menunggu Leo menghubunginya—walau mungkin pria itu tak menganggapnya. Tentu saja... siapa dia?

Sedangkan di tempat lain, Vino sedang dalam perjalanan menuju kampus dengan Ogay yang mengendarai mobil. Dia menikmati suasana pagi yang masih tenang, menghiraukan perkataan temannya di samping yang sejak berangkat terus mengoceh.

Vino melempar pandangannya keluar jendela. Saat mobil menyalip bus kampus, ia mengenali salah satu penumpang bus. Kepalanya berputar menatap bus yang kini berada di belakang mobil yang dia tumpangi.

"G, turunin gue di halte depan."

"Why? What happend?" Tanya Ogay, berturut dengan kebingungan memancar di wajahnya.

Tanpa pikir panjang, Vino memutuskan untuk turun dari mobil Ogay yang telah berhenti dan bersiap menaiki bus yang sebentar lagi berhenti di halte.

Vino melihat sekeliling mencari perempuan yang membuatnya nekat turun dari mobil dan meninggalkan temannya dalam kebingungan, akhirnya dia menemukannya di bagian belakang bus.

Alessa menatap tak percaya atas keberadaan Vino, yang kini berjalan ke arahnya.

"Bagaimana bisa?" Tanya Alessa, alih-alih menyapa pria tersebut yang kini duduk di sampingnya.

Vino mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Gak biasanya ajah, baru kali ini gue liat lo." Kata Alessa. Ya pasalnya, Vino adalah salah satu anak pengusahan sukses yang telah berkuliah hampir 4 tahun dan baru terlihat menaiki bus. Aneh rasanya.

Hening panjang, Vino melirik sekilas ke arah buku yang sedang dibaca oleh perempuan tersebut. Saat perempuan itu menyadari sedang di perhatikan, buku tersebut hilang dari pandangannya.

"Kenapa, ada yang salah?" Tanya Alessa. "Gimana, Gisel?

Vino menggeleng. "Gak biasanya lo bawa-bawa novel." Dengan tertawa pendek.

Alessa mendengus. "Gimana, Gisel?" Tanyanya lagi.

"Buruk, dia selalu nganggap gue hama." Vino membuat suara tersakiti yang membuat Alessa meringis pelan.

"Gisel emang gitu, dia... Sulit."

Vino mengangguk lemah, kedekataannya dengan perempuan bernama Gisel, cukup dibilang sangat sulit. Perempuan itu terlalu jujur dalam berekpresi. Saat pertama kali mereka berbicara Gisel langsung menolaknya, matanya menatapnya penuh curiga dan sinis.

"Eh, iya Vin." Vino tersadar dari lamunannya dan beralih melirik Alessa yang terlihat ragu sejenak sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya. "Lo... Lo tau Leo, kemana? Udah tiga hari dia gak pulang." Tanya Alessa setelah menimbang-nimbang. Tangannya memilin ujung totebagnya hingga kusut.

"Dia gak ngasih tau?"

Alessa menggeleng pelan.

"Dia pulang ke rumahnya."

Alessa mengangguk-anggukan kepala dengan cepat, wajahnya tiba-tiba menjadi merah.

"Kenapa, rindu?" Goda Vino.

Alessa menggeleng cepat, menyadari kesalahannya menanyakan kabar Leo pada—pria tersebut yang notabennya adalah saudaranya. "Gak lah, mana ada!" Ketusnya.

Disamping Vino tertawa kecil, menyadari Alessa yang salah tingkah.
Tanpa berpamitan perempuan itu bergegas turun, meninggalkan Vino di dalam bus dengan beberapa mahasiswa lainnya.

Suasana bus mulai lengang, Vino pindah duduk disamping kaca bus. Dari kejauhan dia bisa melihat Alessa yang berjalan menuju gedung fakultas.

***

Alessa duduk di atas kasurnya, menatap layar ponselnya yang terus berdering. Dia merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan perasaannya yang campur aduk.

Selama ini dia menunggu kabar dari Leo, dan sekarang Alessa menerima telepon darinya.

Leo akhirnya menghubunginya dan perasaan senang tiba-tiba merasukinya—senang karena pria itu masih hidup dan mampu membayar upahnya untuk dua bulan kedepan.

Alessa mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab panggilan itu.

"Hallo."

"Hai. Gue ganggu, ya?" Ucap Leo disebrang.

"Enggak. Lo... Lo udah pulang?" Sial, padahal jelas-jelas sejak tadi Alessa duduk di keheningan dan tak mendengar apapun selain jalanan yang sibuk.

"Belum. Gue masih ada urusan. Gue boleh minta tolong gak?"

Alessa tiba-tiba mengangguk, antusias. "Iya, apa?"

"Tolong, rapihin kamar gue."

Alessa berpikir sejenak, karena selama ini dia tak pernah membersihkan kamar pria itu. Leo pun dari awal tak pernah memintanya. "Okeh."

"Nanti juga seperti biasa, bakal ada yang datang buat ambil pakaian kotor gue." Dan mencuci pakaian Leo juga, bukan bagian pekerjaanya. Karena setiap empat hari sekali akan ada orang yang datang ke apartement untuk mengambil pakaian kotor Leo dengan membawa pakaian bersih milik pria itu.

"Oke."

Leo di sebrang mengangguk. "Oh ya, Sa."

"Kenapa?"

"Lo boleh kok, ngerjain skripsi di ruang tv daripada harus di kamar terus."

Kening Alessa berkerut sangat dalam, dia menatap layar ponselnya dengan tidak percaya.

Mendengar perempuan di sebrang terdiam. Leo tentu saja gelagapan. Dia berdehem membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa tercekik mengetahui bahwa dia membuka kartu emasnya. "Gue..."

"Lo..." Suara perempuan itu memotongnya dengan nada tajam.

Alessa membuat suara tercekat, tidak percaya bahwa selama ini Leo memperhatikannya dari jauh. Bagaimana bisa pria itu tahu bahwa tiga hari terakhir ini dia sibuk di kamar mengerjakan skripsi? "Ada cctv di apartement?" Tanya Alessa cepat dengan napas yang memburu.

Cctv? Sudah hampir dua bulan Alessa berada di apartement tersebut dan baru menyadari bahwa apartement ini memiliki cctv. Tapi sejenak Alessa pikir, memang logis sebuah apartement mewah memiliki sebuah cctv. Tapi, bagaimana kalau pria itu. Sudah sejak lama memperhatikannya tanpa dirinya sadari dan ketahui.

"Ya iya, ada cctv di ruang tv dan dapur. Gue selama ini mantau lo karena gue takut lo kabur!" Jawab Leo suaranya tajam untuk menutupi kegugupannya.

"Lo gila, seharusnya lo... Gue gak akan pernah kabur, gue orang yang bertanggung jawab gak kaya ELO!!!" Teriak Alessa di akhir. Dirinya benar-benar malu sekaligus kesal.

Bagaimana kalau Leo mengetahui perbuatannya kemarin, saat tanpa sengaja membukakan pintu kamarnya. Apa pria itu tertawa atau sedang mengumpulkan bukti untuk menuduhnya?

"Ya intinya, terserah gue!"

"Brengsek!" Pekik Alessa menutup telepon, dan langsung membanting tubuhnya ke atas kasur. Suara teriakkanya terendam oleh bantal.

***

Saat malam tiba, suasana di kamar balkon menjadi hening dan tenang. Disinilah Leo berdiri dengan tidak percaya. Setelah baru saja menelepon Alessa dan beberapa detik sebelumnya perempuan itu mematikan secara sepihak telepon mereka dengan marah.

Tentu saja Alessa marah padanya brengsek.

Pemandangan di depannya adalah kolam lotus yang indah dan cantik, namun pikirannya jauh dari sana.

Napasnya masih terengah-engah karena dirinya ketahuan telah memantau perempuan itu. Bukannya meminta maaf, Leo malah meninggikan suaranya untuk menutupi kesalahannya.

Brengsek, kata itu masih terngiang di dalam benaknya.

Kenapa setiap hari mereka harus selalu bertengkar? Pertengkaran tentang Leo yang menanyakan harga diri perempuan itu, juga masih hangat. Dan dia, sudah kembali membuka pertengkaran yang lain. Dirinya memang, brengsek.

"Sialan!" Leo mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

Di kejauhan, Leo melihat bintang-bintang yang samar-samar bersinar di langit malam yang penuh polusi, dan merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mungkin.

Namun, Leo menyadari bahwa setiap dia membuat kesalahan, dia tidak pernah meminta maaf dan malah bersikap biasa-biasa saja. Oh, betapa pengecutnya dirinya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

267K 18K 43
Romance Rangking # 1 Age-gap (04-07-2019) # 44 Misterius (07-07-2019) #1 Misterius (15-05-2020) Apa salahnya sih punya pacar bertato? Jangan ki...
87.9K 4.6K 51
▪︎▪︎ POSSESSIVE SERIES [1] ▪︎▪︎ ================================== Rara tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Raka. Laki-laki yang sangat i...
12.7K 2.6K 12
[eleven's : 06] [completed] Jaevian itu full of happiness, makanya dia membagikan kebahagiaannya kepada Jiesya si tetangga cantik yang sayangnya sela...
TOXIC SERIES By Dara

Teen Fiction

404K 18.9K 68
"I think I'm addicted to your body"-Jeffranz Altair- Sherra menyesali keputusannya malam itu. Malam dimana ia menyerahkan tubuhnya pada cinta pertama...