CHANGED (sudah DITERBITKAN)

By sfdlovato

13.3M 356K 57.3K

Berawal dari sebuah dompet dan berujung menjadi perjalanan cinta yang rumit. Kenya Sharp adalah seorang maha... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
PRE-ORDER!!!
ATTENTION!! CHANGED hadir di Gramedia & Gunung Agung!!
CHANGED Side B di Gramedia!
Sequel CHANGED, "REBELS: A New Beginning" sudah terbit
Hari Ini PRE ORDER Rebels: The Last
Koleksi Semua Bukunya (1-4 Tamat)
CHANGED Full WATTPAD Version

Chapter 10

231K 6.3K 442
By sfdlovato

The song for this chapter is:

Ariana Grande (feat. Mac Miller) - The Way

The Corrs - All The Love in The World

Mandy Moore (feat. Jonathan Foreman) - Someday We'll Know

***

"Pagi." Sapaku begitu Will membuka matanya. Semalam aku memang menginap di rumah sakit mengingat setiap hari Jumat aku tidak ada kelas. Will membalas sapaanku disaat aku berjalan ke arahnya. Kuusap lembut kepalanya yang sudah tak memiliki sehelai rambut pun—tentunya ini efek yang ditimbulkan dari kemo. Tapi Will justru terlihat bangga dengan kepala botaknya. Ia tidak pernah mengeluh dan justru menyukai saat-saat dimana aku mengelus kepalanya dengan lembut. "Kau mau sarapan?" tawarku sembari berjalan ke arah nampan yang suster taruh di atas meja beberapa saat sebelum Will terbangun dari tidurnya.

"Ya. Dan kalau boleh susunya buang saja."

Aku menoleh, memberikan senyuman lembut namun disertai tatapan tajam yang biasa kutujukan padanya jika ia sedang berusaha mencari gara-gara denganku.

"Kau tahu? Mungkin itu lah sebabnya mengapa kau terhitung sebagai bocah yang pendek di kalangan bocah-bocah seumuranmu." Aku menyodorkan segelas susu pada Will dan ia langsung menerimanya dengan agak ragu.

"Kau bercanda. Gen di keluarga kita adalah yang terbaik. Aku tumbuh tinggi tanpa perlu meminum minuman menjijikan ini."

"Terserah." Aku beranjak untuk menyiapkan roti isi yang sudah dibagi menjadi dua.

"Serius, Kenya. Kau mungkin yang paling tinggi di keluarga kita sekarang, tapi pertumbuhan anak laki-laki itu memang lambat. Lihat saja tiga sampai lima tahun lagi, aku akan lebih tinggi darimu."

Aku terkekeh sambil memberikannya roti isi. Benar dengan apa yang dikatakan Will. Ayahku adalah seorang mantan atlit dan mungkin dari gen-nya lah aku memiliki tubuh seperti ini. Tinggi semampai dan proporsional tanpa harus berolahraga atau melakukan diet ketat. Aku memiliki proporsi tubuh yang didambakan oleh para gadis di dunia ini. Setidaknya itu lah yang sering Jules katakan padaku. Kecuali pada bagian dada.

Sial! Seketika aku teringat akan kata-kata Harry yang menghina ukuran payudaraku yang kecil.

"Kenya!"

"Eh?" aku mengerjap kaget.

Will menatapku selama beberapa saat sebelum melanjutkan perkataannya, "Berikan aku jusnya."

Lantas aku langsung memberikan jus yang juga sudah disediakan oleh rumah sakit. Aku tidak tahu jus macam apa yang mereka berikan yang jelas aku kurang suka dengan baunya. Seperti campuran wortel, brokoli, dan sejenisnya. Ew.

"Ngomong-ngomong, mengapa kau memakai baju seperti itu?" Will memicingkan matanya padaku.

Sialnya aku tidak membawa baju ganti jadi aku masih harus memakai baju semalam. "It's nothing. A-aku hanya sedang mencoba sesuatu yang baru." Aku tersenyum pura-pura.

"Selamat pagi, Will, nona Sharp?" sebuah suara yang diikuti oleh langkah kaki membuatku menoleh dan berbalik. Kudapati dokter Schmidt datang bersama seorang suster untuk memeriksa keadaan Will seperti biasanya.

"Selamat pagi, dokter." Sapaku.

"Dia baru bangun?" aku melangkah mundur ketika dokter beranjak memegang tangan Will untuk mengecek denyut nadinya.

"Ya, ia baru saja bangun dan sarapan." Ujarku kemudian langsung berjalan ke arah jendela untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi dokter Schmidt. Aku memperhatikan seluruh gerak-geriknya yang dimulai dari memeriksa detak jantung Will dengan stetoskop kemudian mencatat sesuatu di papan yang dibawa oleh suster.

"Bagaimana perasaanmu setelah terapi semalam, Will?"

"Aku merasa lebih baik. Tapi perutku sekarang menjadi agak mual."

Dokter Schmidt tersenyum ramah setelahnya, "Itu selalu terjadi. Well, habiskan makananmu. Setelah itu jangan lupa kau meminum obatnya. Aku jamin kau akan segera sembuh."

Sembuh? Oh, tentu saja. Itu yang selalu dokter katakan terhadap pasien mereka, bukan? Memberikan motivasi pada mereka yang terlihat tidak memiliki harapan. Aku berpikir demikian bukan berarti Will tidak memiliki harapan untuk sembuh—tentu saja ia punya, hanya saja keadaan ekonomi kami yang tidak dapat menunjang harapannya.

"Kau dengar itu, Will? Jadi kau harus selalu menghabiskan susumu agar kau bisa cepat sembuh." Tuturku.

"Dokter tidak berkata seperti itu. Berhentilah memprovokasiku, Kenya."

Aku tergelak mendengarnya, "Apa kau bilang? Kau dapat kata-kata itu dari mana?"

"Sherlock musim ke-2."

Dokter Schmidt langsung terkekeh lalu berjalan ke arahku setelah menyerahkan papannya pada suster. "Setiap hari ia menonton serial itu di tv. Semalam saat ia menjalani kemo saja ia memohon untuk menyalakan tv karena ingin menonton tayangan ulangnya."

"Aku bisa lihat itu." Aku mengangguk mengiyakan. Meski aku bukan tipe orang yang banyak menonton serial di tv, tapi semalam aku memang mendapati Will sedang menontonnya dengan serius.

"Schmidt!" seseorang berseru dibarengi oleh kemunculannya bersama seorang suster lain yang berjalan mengekor di belakangnya. Siapa lagi kalau bukan Harry?

Oh, hebat. Tapi tunggu dulu, ada apa ia kemari??

"Harry?" gumam dokter Schmidt begitu ia menoleh ke arah putra tirinya.

"Maaf dokter. Saya sudah menyuruhnya agar menunggu di ruanganmu, tapi dia—"

"Tidak apa, Sam. Terimakasih."

Seketika itu pula suster yang terlihat panik itu langsung pergi meninggalkan ruangan. Aku tidak bisa membayangkan apa yang telah Harry lakukan terhadapnya sehingga ia terlihat panik dan ketakutan.

"Harry, aku sedang sibuk. Apa kau tidak lihat aku sedang memeriksa adik dari nona Sharp?" ujar dokter Schmidt setelah Harry berjalan mendekat ke arahnya, namun masih dengan menjaga jarak tentu saja.

"Oh, ya. Aku bisa lihat itu." Ujar Harry sarkastik sembari memandangiku dan ayahnya secara bergantian.

"Ini tentang semalam, bukan?"

Harry mengangkat sebelah alisnya. Meski aku tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, tapi aku bisa merasakan ketegangan yang terjadi di antara ayah dan anak tirinya. Gaya berbicara mereka yang kaku terkesan menggambarkan ada dinding yang menghalangi keduanya dalam berkomunikasi.

Sejurus kemudian dokter Schmidt berangsur ke arah Will dan mengecek suhu tubuhnya. Ia memasukkan sebuah termometer ke dalam mulutnya sebelum kembali berkata, "Sudah kukatakan padamu, jika kau menginginkannya maka kau harus menemui ibumu terlebih dahulu."

"Aku sudah menemuinya sebulan yang lalu." Harry menggerutu seperti biasanya. Dan kupikir dia sedang mencoba untuk membuat kekacauan.

"Dua bulan." Timpal dokter Schmidt mengoreksi.

"Serius, Christ?!Kau tahu aku hanya akan mengunjunginya tiga bulan sekali!"

"Harry, kau tidak lihat aku sedang apa? Kita tidak bisa membahasnya sekarang, jadi kuminta kau keluar sekarang juga."

"Tidak sampai kau—"

"Temui.ibumu." Sela dokter Schmidt seolah sedang menegaskan kata-katanya. Lagi-lagi ia memalingkan wajah pada putranya dan memberikan tatapan yang tajam. Sementara aku hanya bisa memandangi Will yang sedang menatap keduanya secara bergantian. Jagnankan Will, bahkan suster yang mendampingi dokter Schmidt ikut memandangi mereka berdua.

"Fuck!"

"Kumohon, jika kau tidak bisa menghargaiku, kuminta kau menghargai pasienku."

Tipikal Harry yang keras kepala. Ia justru bergeming di tempat dan bukannya meninggalkan ruangan. Ia tidak bergerak sama sekali dan hanya menarik napasnya berkali-kali. Entah ia kesetanan apalagi sehingga datang kemari dan membentak-bentak ayahnya untuk memberikan apa yang ia mau. Harry seperti bocah berumur 7 tahun yang memaksa ingin dibelikan sepeda baru.

Namun, jujur aku sedikit kaget ketika tahu bahwa Harry memiliki jadwalnya sendiri untuk mengunjungi ibunya. Mana ada anak semacam itu? Harry pasti sangat bermasalah dengan keluarganya.

Tak lama, dokter Schmidt melepas termometer di mulut Will dan kembali menuliskan sesuatu di papan yang suster berikan. Ia mengakhiri pemeriksaannya sebelum menggiring Harry untuk keluar. Ia juga sempat meminta maaf padaku. Otomatis aku berjalan ke arah Will untuk membantunya menghabiskan sarapannya.

"Apa ia pasien gangguan mental disini?" tanya Will yang membuatku langsung terkekeh. Bayangkan saja bocah berumur 10 tahun ini memiliki pemikiran yang serupa denganku!

"Bukan. Tapi mungkin saja ia mantan pasien gangguan mental."

"Atau mungkin ia kabur dari rumah sakit." lagi aku terkekeh karena ocehannya. "Kau mengenalnya?"

Aku mengangguk kecil sembari mengelap mulut Will yang kotor oleh remah-remah roti dan madu dengan tisu. Oh, aku baru ingat bahwa hari ini aku harus menebus uang obat-obatan di apotik. "Bagaimana kau bisa mengenalnya?"

"Kami satu kampus." Jawabku singkat.

"Ken." kudengar suara Harry yang memanggilku. Kontan aku menoleh ke belakang dan kulihat Harry yang sudah berdiri di ambang pintu. "Bisa kita bicara?" ujarnya tanpa menatapku.

Di detik itu pula aku berjalan ke arahnya, "Tidak sekarang, aku harus segera ke apotik sebelum antriannya penuh."

"Hey—"

"Bisa kau jaga Will sebentar?"

"Apa??" Harry mengernyit. Aku tahu ia akan berkata tidak, namun jika ia ingin berbicara denganku, maka ia harus mau kumintai tolong.

"Aku tidak akan lama. Terimakasih, Harry."

-Harry's POV-

Brengsek! Ia langsung pergi tanpa persetujuan dariku terlebih dahulu. Mengapa gadis ini selalu bertingkah seenaknya?!

"Dimana Kenya?" tanya bocah laki-laki botak yang terduduk di atas ranjangnya begitu aku berjalan masuk ke ruangannya yang beraroma seperti obat-obatan. Aku langsung berdiri dan menyender di dinding dekat jendela, berusaha untuk mendapatkan udara segar dari luar.

"Dia sudah pergi."

"Apa ia akan kembali?"

"Tidak. Tentu dia akan kembali!" Aku menggerutu. Kuakui mood-ku sedang hancur akibat perkataan Christ yang memaksaku untuk berkunjung ke rumahnya. Brengsek. Jika aku sedang tidak membutuhkan uang banyak, mungkin aku tidak akan kemari dan membuat kebisingan kecil di hadapan Kenya dan adiknya yang menyedihkan.

"Mengapa kau disini?"

"Ia yang menyuruhku untuk diam disini."

"Oh." Gumamnya. Tak lama setelahnya ia berusaha untuk meraih sebuah ponsel di atas meja.

Great. Kuharap bocah ini tidak kembali mengoceh. Aku benci anak-anak. Mereka berisik, tidak mau diam, cengeng, sering seenaknya, memiliki aroma tubuh seperti susu basi, dan yang jelas mereka sangat mengganggu.

"Apa kau bermain Flappy Bird?"

Tidak. Sial.

"Tidak. Aku tidak memainkan permainan sampah seperti itu."

"Well, sudah kukira kau akan berkata seperti itu. Aku tahu orang sepertimu pasti langsung menabrak pipanya meski sudah mencoba beratus-ratus kali."

"Oh." Ujarku tidak tertarik.

"Kau tahu? Skor terbaikku sekarang adalah 237. Awalnya aku hanya memiliki lima, lalu dua belas, kemudian 31, dan itu selalu bertambah secara bertahap." Ocehnya membanggakan diri sambil memainkan ponsel berwarna merah muda yang kuyakini milik Kenya.

Sementara itu aku hanya bisa memutar bola mataku dan melipat kedua tanganku di dada karena semakin tidak tertarik dengan ocehannya yang membuatku muak.

"Tidakkah aku hebat?"

"Ya, kau hebat dan aku tidak peduli." dan aku bersungguh-sungguh. Aku tidak peduli pada hal sialan itu dan bocah menyedihkan ini. 

Ia malah tergelak seakan menghinaku. Sudah kubilang bahwa anak-anak itu mengganggu dan sialan! Fuck! Bisakah Kenya segera kembali?

"Kau menyukai kakakku?"

Apa?

"Apa?" secara otomatis kedua alisku langsung bertautan.

"Kau menyukai Kenya?"

"Kau bercanda." Aku menyeringai dan membuang muka darinya. Mengapa anak kecil selalu banyak bertanya hal-hal yang tidak penting.

"Aku hanya ingin memperingatkanmu bahwa Kenya sudah memiliki kekasih. Namanya adalah Ezra. Ia tampan dan baik juga seorang calon dokter. Tidak sepertimu."

Sontak aku langsung menoleh ke arahnya. Bukan karena aku merasa tersinggung, tapi lagi-lagi aku dibuat kesal olehnya. "Aku tidak peduli."

"Jika kau menyukai Kenya, kau harus berusaha lebih keras."

"Berhenti berlagak sok tahu. Aku tidak menyukai kakakmu dan sebaiknya kau diam." Gerutuku lagi, namun ia justru menggidikkan bahu lalu mengangkat dagunya.

"Oh, ya tentu kau menyukainya"

"Tidak. Hentikan." Aku meninggikan suaraku.

"Kau tahu, suara seseorang akan meninggi ketika ia menyangkal atau berbohong."

"Kubilang hentikan!" Aku menggelengkan kepala tidak percaya.

"Lihat?"

Fuck! Fuck! Fuck! Aku tidak menyukai gadis itu dan tidak akan pernah!


Seketika itu pula kulihat Will menyeringai ke arahku seolah-olah aku telah masuk dalam jebakannya. Tapi tidak, aku tidak pernah menyukai kakaknya yang tidak kalah menyedihkan itu. Kontan aku langsung memberikan tatapan sinis dan tajam terhadapnya. Kuharap dengan begini ia akan diam.

-Kenya's POV-

Begitu aku selesai membayar tagihan obat di apotik, aku bergegas kembali ke kamar Will secepat mungkin. Entah mengapa aku memiliki firasat buruk sekarang! Tidak semestinya aku meningggalkan Will dengan Harry berdua di kamarnya.

Dan benar saja! Disaat aku kembali ke kamar Will, kulihat dua orang di hadapanku ini saling bertatapan dengan tajam. Harry berdiri menyender di dinding dekat jendela sambil melipat kedua tangannya sementara Will duduk menyender di punggung ranjang sambil memegang ponselku. Kurasakan ada perang dingin sedang berlangsung disini saat ini.

"What the hell?" tuturku seraya berjalan cepat ke arah Harry. "Apa yang sedang kalian lakukan?"

"Tidak ada." Jawabnya tanpa melirikku sama sekali.

"Oh, ya, tentu saja. Kalian tidak melakukan apa-apa selain memberikan tatapan seakan ingin saling membunuh satu sama lain. Harry, pergi dari sini sekarang juga."

Harry langsung menoleh dan mengalihkan tatapan tajamnya padaku sekarang. "Kita harus bicara."

"Baik, ayo." Aku mendengus pelan dan memutar bola mataku darinya. Sedetik kemudian aku kembali berjalan keluar ruangan mengikuti Harry. "Ada apa?" tanyaku sambil melipat kedua tanganku di dada.

"Kau harus ikut denganku malam ini."

Keningku berkerut dengan cepat, "Apa? Kemana?"

"Ke rumah Christian. Ia menyuruhku untuk datang ke rumahnya dan aku tidak mau datang seorang diri."

"Tidak, tunggu dulu. Ayahmu—"

"Dia bukan ayahku." Selanya.

Aku memutar bola mataku secara otomatis, "Terserah. Dengar, kau mengajakku ke rumah dokter Schmidt? Mengapa harus aku?"

"Karena hanya kau yang ia kenal. Ia mengira kau adalah temanku satu-satunya."

Sontak aku mengayunkan sebelah tanganku dan tergelak miris mendengarnya, "Teman? Tapi kita bukan teman."

"Aku tahu." Jawabnya. Setelah itu Harry terdiam seolah sedang memikirkan sesuatu. "Dengar, kau harus mau pergi denganku."

"Mengapa aku harus mau?"

"Karena aku tahu rahasiamu."

"Oh, bagus. Alasan itu lagi. Mengapa kau selalu memaksaku dengan cara itu? Biar kuberitahu padamu, Harry, aku benar-benar sudah tidak peduli jika seluruh orang tahu pekerjaanku. Kau mau menjerit agar seluruh dunia tahu siapa aku pun aku benar-benar tidak peduli."

"Benarkah?" suara Harry berubah pelan dan mengecam.

Tentu saja tidak. Gila saja! Tapi jika Harry benar-benar ingin aku pergi dengannya malam ini, ia pasti akan memohon padaku. Dan itu lah yang kuinginkan. "Ya."

Hening.

Ucapanku barusan kontan membuat Harry bungkam dan tidak mampu berkata-kata lagi. Kami berdua saling bertatapan sebelum akhirnya aku memutuskan untuk berbalik, namun sudah kuduga sebelumnya. Jika Harry memang benar-benar membutuhkanku, ia pasti akan menarik lenganku seperti sekarang ini.

"Tunggu."

"Apa lagi?"

"Kau tidak serius dengan ucapanmu barusan."

"Tentu aku serius. Tapi jika kau memang benar-benar ingin aku pergi denganmu malam ini, maka kau harus mengucapkan kata kuncinya."

"Apa?" Harry mengernyit, bingung.

"Kata kunci. Kau tahu, disaat seseorang meminta pertolongan, maka seseorang itu harus mengatakan kata kuncinya." Aku menyengir lebar, memberi kode agar Harry mau memohon padaku.

Lalu disaat itu pula lah kulihat rahang Harry yang menegang. Aku pun tersenyum menyeringai. Entah lah kutemukan hal ini menarik setiap kali rahangnya menegang seperti sekarang. Meski awalnya aku sedikit ditakutkan oleh mimik wajahnya yang mengerikan, sekarang aku justru sudah terbiasa dan merasa terhibur bisa melihatnya.

"Kumohon." Ujar Harry lebih mirip seperti bergumam.

"Apa? Aku tidak bisa mendengarmu." Aku memutar kepalaku ke samping dan mencondongkan telingaku ke arahnya. Aku tahu ia sangat terganggu dengan ulahku sekarang. Tapi ini menyenangkan untuk menggodanya.

"Brengsek, Ken!"

"Apa??"

Kudengar Harry mendengus dan menggerutu, "Kumohon, ayolah."

"Akhirnya." Aku tersenyum diikuti oleh gelak tawaku yang membuat Harry kembali mendengus kesal karenanya. "Baiklah, aku akan pergi denganmu malam ini."

"Bagus." Harry enggan menatapku sekarang. Jelas ia masih kesal karena aku telah membuatnya memohon.

"Apa kau diminta ke rumahnya karena kau ingin meminjam uang?"

"Apa?!"

"Kau mau mengunjungi ibumu karena kau ingin meminjam uang pada ayahmu, bukan begitu?"

"Tidak." ujarnya, berbohong. Dari mana aku bisa tahu itu? Karena satu, dia meninggikan suaranya. Dua, dia membuang muka dariku. Dan tiga, barusan dokter Schmidt mengatakan sendiri jika Harry 'menginginkannya' maka ia harus datang menemui ibunya terlebih dahulu. Dan aku tahu apa yang Harry inginkan setiap kali ia datang pada ayahnya. Uang.

Mengapa aku bisa begitu yakin? Karena pertama, Harry dan ayah tirinya tidak memiliki hubungan baik. Kedua, dokter Schmidt pernah berkata padaku bahwa Harry selalu datang padanya untuk meminjam uang atau untuk sekedar mengembalikannya. Bukan kah teoriku masuk akal?

"Oke, terserah. Jadi jam berapa kau akan menjemputku?"

"Jam 7 malam." Tuturnya sebelum ia berbalik memunggungiku, namun sedetik kemudian ia berbalik lagi dan mendelikkan matanya ke sekujur tubuhku. "Dan pastikan kau memakai pakaian yang pantas."

"Tentu." Setelahnya, Harry langsung pergi dari hadapanku. Lalu disaat yang bersamaan aku mendengar Will memanggilku berkata bahwa ponselku berdering.

"Ini Ezra!" serunya.

Mendengar nama itu, sontak membuatku bergegas untuk mengangkat teleponnya.

TO BE CONTINUED!

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

Continue Reading

You'll Also Like

3.4K 282 10
"Bukan ini yang aku minta!" Kisah pilu dari seorang laki laki bernama Juna, karena kekhilafan yang dibuatnya, ia harus kehilangan anak, istri dan ked...
13.1M 169K 13
Ardiaz Bagaskara dan Elora Wildani bermain peran sebagai pasangan di depan keluarga besar Bagaskara demi keamanan posisi Ardiaz sebagai CEO MegaTari...
7M 56.7K 6
Satu kesalahpahaman, dan Emma tidak tahu bahwa kesalahan 'mengajak-orang-asing-bergulat-hebat-untuk-kesan-pertama' bukan hal baik untuk kelangsungan...