CHANGED (sudah DITERBITKAN)

By sfdlovato

13.3M 356K 57.3K

Berawal dari sebuah dompet dan berujung menjadi perjalanan cinta yang rumit. Kenya Sharp adalah seorang maha... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
PRE-ORDER!!!
ATTENTION!! CHANGED hadir di Gramedia & Gunung Agung!!
CHANGED Side B di Gramedia!
Sequel CHANGED, "REBELS: A New Beginning" sudah terbit
Hari Ini PRE ORDER Rebels: The Last
Koleksi Semua Bukunya (1-4 Tamat)
CHANGED Full WATTPAD Version

Chapter 9

218K 6.7K 281
By sfdlovato

The songs for this chapter:

One Direction – Through The Dark

Demi Lovato – Gonna Get Caught

Kelly Clarkson – Mr.Know It All

***

"Tunggu dulu!" aku memekik ketika Harry sudah membawaku sampai ke halaman luar. Kurasa sudah menjadi kebiasaan sehari-hariku untuk selalu menepis tangannya dari lenganku sekarang. "Kau mengusirku?"

"Ya, aku mengusirmu. Sekarang kau cepat pergi dari sini."

Aku tergelak. Tentu aku ingin pergi dari sini tapi bukan begini caranya!

"Kau yang membawaku kemari dan sekarang kau yang mengusirku?! Kurasa kau memang memiliki gangguan mental, Harry Styles!"

"Hey, dengarkan aku." Harry melangkah satu kali hingga tidak menyisakan ruang kosong di antara kami.

"Tidak, aku tidak mau mendengarkanmu. Lebih baik kau segera kembali ke dalam sehingga kau bisa bebas melanjutkan kegiatanmu dengan gadis itu. Persetan denganmu, brengsek!"

"Kau menggelikan."

"Apa?" aku mengernyit, bingung.

"Kau yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, tapi justru kau yang berkata seperti itu. Seharusnya aku yang marah terhadapmu."

"A-aku...—"

"Sekarang ikut denganku." Sergah Harry secepat mungkin tanpa memberiku kesempatan untuk menanggapi ucapannya. Meski sejujurnya aku sendiri tidak tahu harus berkata apa.

Dengan mudahnya Harry menggusurku masuk ke dalam mobilnya. Ia merogoh saku celananya sebelum duduk di kursi kemudi dan menyalakan mobil. Dengan terburu-buru ia melesatkan Mercedes Benz-nya meninggalkan frat hingga menimbulkan bunyi decitan ban mobil di atas aspal. Ia mau membawaku kemana?

"Kau mau membawaku kemana?"

"Pulang ke apartemenmu."

Apa? Tidak. Tidak boleh. Tuhan tahu apa yang akan terjadi jika Harry membawaku pulang ke apartemenku yang kosong.

"Tidak, kau tidak akan membawaku pulang. Kau harus membawaku ke SUNY."

Harry terdiam selama beberapa saat. Ia terlihat bingung sebelum akhirnya ia menjawab, "Why?"

"Aku harus menemani adikku."

Detik itu pula Harry menolehkan wajahnya ke arahku. Rahangnya yang asalnya mengeras tiba-tiba saja mulai melunak. Seketika itu pun ia membanting setirnya memutar arah menuju jalan raya yang akan menghantarkan kami ke SUNY.

Aku mendengus pelan, "Jadi mengapa kau mengusirku pergi dari tempatmu?" ujarku memecah keheningan di antara kami.

"Bukan urusanmu. Itu rumahku dan aku berhak membawa keluar-masuk seseorang."

Serius? Aku bahkan tergelak tidak percaya. "Tapi bukan seperti itu caranya. Kau menggusurku pergi dan mempermalukanku di hadapan banyak orang! Apa sebenarnya maumu? Berhentilah bersikap membingungkan seperti ini!"

"Aku ingin membawamu pergi darinya! Puas?!" sentaknya seraya memalingkan wajahnya padaku. Kedua tangan Harry yang memegang kemudi juga langsung menegang saat itu pula. Urat-urat lengannya terlihat jelas di bawah remang-remang lampu jalan.

"Ia? Ia siapa?"

"Kau tidak perlu tahu."

Jk, demi Tuhan, jika membunuh seseorang adalah hal yang legal, mungkin aku sudah membunuhnya sekarang! Kontan aku berdehem dua kali sebelum kembali berbicara. "Liam?" tanyaku. "Apa dia orang yang kau maksud?"

Tiba-tiba saja Harry langsung meminggirkan mobilnya dengan kasar, membuat tubuhku nyaris terlempar ke depan. Untung saja aku sudah memakai sabuk pengaman.

"Mengapa kau berpikir demikian?"

"Well, karena kulihat kau takut padanya." ujarku sumbang.

"Aku-tidak-takut-padanya." tuturnya dengan gigi yang mengatup rapat.

"Lalu?"

"Dia bajingan besar."

"Lalu? Kau juga sama-sama bajingan, bukan?"

Harry mengernyit padaku, "Kau tidak mengerti. Dia lebih buruk dariku."

"Well, paling tidak kau sudah mengakui bahwa kau seorang bajingan." Aku terkekeh, membuat Harry mendengus kesal dan kembali membawa mobilnya ke jalanan. Menggelikan. "Baiklah, aku masih tidak mengerti dengan maksudmu tadi. Kau tidak ingin aku berada di dekatnya? Mengapa?"

"Sudah kubilang itu bukan urusanmu."

"Kau pasti sangat membencinya, ya?"

"Aku benci semua orang." Ujarnya sarkastik.

"Hmm... mendekati. Setidaknya itu sudah menjawab pertanyaanku."

Lagi, Harry mengencangkan genggamannya di setir mobil. Sungguh pria yang tempramental. Sedikit-sedikit ia marah. Sedikit-sedikit ia mendengus kesal. Sedikit-sedikit ia memperlakukanku dengan kasar. Aku heran mengapa ada gadis yang mau dengannya.

"Jadi, apa Tawni adalah kekasihmu?" tanyaku, lagi-lagi hanya untuk sekedar memecahkan keheningan.

"Bukan."

"Lalu?"

"Ia hanya orang yang ada di kelompok kami."

"Oh. Jadi, kau selalu tidur dengan para gadis yang ada di kelompokmu, begitu?" ujarku menarik kesimpulan, namun Harry tidak menjawabnya. Ia masih terfokus ke jalanan sementara aku terus memperhatikan perubahan ekspresi di wajahnya yang cukup signifikan. "Apa kau pernah tidur dengan Jules?"

"Ya."

Oh. Entah untuk beberapa alasan aku langsung memalingkan wajahku ke arah luar jendela. Mulutku sedikit terbuka tidak percaya meski sebenarnya aku tidak perlu sebegini kagetnya. Maksudku, tidak heran jika Harry senang tidur dengan berbagai macam gadis, tapi membayangkan Jules tidur dengan Harry rasanya...

Ah, entahlah! Aku tidak bisa membayangkannya. Ini berarti bukan hanya aku saja yang sudah berhubungan badan dengan si brengsek ini, tapi juga sahabatku yang sudah kukenal bertahun-tahun sudah melakukannya terlebih dahulu. Aku juga tidak tahu apa jadinya jika Jules tahu.

"Hanya sebuah kecelakaan, tidak perlu dipikirkan." Sanggah Harry tiba-tiba.

Lantas aku langsung kembali berpaling ke arahnya, "Eh?"

"Kami mabuk. Tahu-tahu di pagi hari kami sudah bertelanjang bulat di atas ranjangku."

Oh.

"Berapa kali kalian pernah tidur bersama?"

Oke, aku tahu ini kedengarannya pasti bodoh. Aku mengorek pengalaman seks sahabatku sendiri dari si brengsek yang jelas-jelas sudah meniduri banyak wanita.

"Dua." Jawabnya, sedikit mengejutkan karena tidak kuduga bahwa Harry akan menjawab pertanyaan bodohku.

Untuk beberapa saat aku dan Harry kembali diliputi keheningan. Selama lampu merah saja tidak satu pun dari kami yang berbicara. Paling tidak—barusan—untuk yang pertama kalinya aku dan Harry memiliki pembicaraan yang cukup panjang tanpa harus ada yang menyentak.

"Boleh aku menyalakan tape-nya?"

"Tidak."

"Mengapa?"

"Aku tidak suka musik." Jawabnya tanpa melirik ke arahku sedikit pun.

"Tapi tempat tinggalmu selalu mengadakan pesta dengan musik yang berdentum kencang."

"Karena bukan musiknya yang aku nikmati."

"Lalu? Apa yang kau nikmati saat berpesta? Minuman dan para gadis?" aku tergelak mengejek dan Harry masih tetap saja memasang tampang yang sama.

"Mungkin."

"Oke, baiklah." sanggahku sambil lalu merapatkan jaket kulit yang kukenakan. Keadaan kami berubah menjadi sangat canggung karena kurasa Harry bukan tipe pria yang banyak berbicara sementara aku tipe orang yang cukup senang bersosialisasi. "Boleh aku bertanya sekali lagi?"

"Tidak."

"Apa kau sering mengunjungi ayahmu di rumah sakit?"

"Tidak."

"Mengapa? Apa kau—"

"Tidak, bukan itu maksudku! Sekarang tutup mulutmu atau aku akan menurunkanmu sekarang juga!" sentaknya hingga membuatku mengerjapkan mata dan nyaris meloncat kaget.

Mulai lagi rupanya. Demi Tuhan, jika sudah seperti ini aku juga bisa naik darah sama sepertinya. Tidak diragukan lagi bahwa Harry benar-benar harus memeriksakan dirinya ke psikologi atau sesegera mungkin pergi ke panti rehabilitasi. Belum pernah aku bertemu dengan pria semengerikan ini sebelumnya. Atau mungkin ia berkepribadian ganda? Mungkin kah Harry seorang psikopat?

Oke, hentikan imajinasimu yang berlebihan, Kenya.

"Lihat? Kau mulai lagi. Aku hanya menanyai seberapa sering kau mengunjungi ayahmu dan kau tiba-tiba saja marah dan membentak—"

"Aku tidak mau berbicara mengenai dia, oke?! Jadi tutup mulutmu!"

"Serius? Kau tidak berhak menyuruhku untuk diam, Harry! Kau yang bertingkah seenaknya dan sekarang kau menyentakku??"

Harry tergelak, "Oh, ayolah. Kau sendiri yang masuk ke dalam kamarku tanpa ijin disaat aku sedang menggauli Tawni dan kau yang marah padaku?!"

Aku bergeming. Sudah kuduga Harry pasti marah karena perilaku ku tadi. Ia pasti mengusirku dari tempatnya karena hal itu. Bukan karena Liam. Mengapa pula ia harus berbohong?

"Maaf." Tuturku hampir bergumam.

"Apa?"

"Maaf, aku tidak bermaksud untuk mengganggu aktivitasmu dengannya." Entahlah, menyebut nama 'Tawni' terasa berat di kerongkonganku. Terdengar seperti nama penyakit dan aku tidak menyukainya. Mengingat suara tawanya ketika Harry menggusurku pergi saja membuatku kesal bukan main.

"Bagus. Sudah sepantasnya kau meminta maaf dan tahu diri karena ia jauh lebih hebat darimu."

"Maaf?" ujarku sedikit tersinggung.

Ia berkata kalau Tawni lebih hebat dariku? Oh, sudah berapa pria yang tidur dengannya? Apa lebih dari 10? Karena jujur mungkin pria yang sudah tidur denganku sekitaran itu. Ingat, bahwa para pelangganku kebanyakan hanya membayarku untuk melakukan blow job. Bukan seks!

"Lupakan."

"Baik. Aku juga tidak mau mendengar tentangnya lagi."

"Lihat? Aku heran mengapa justru kau yang marah."

Marah?

"Aku tidak marah! Aku hanya...."

"Hanya apa?" Harry langsung menoleh begitu aku tidak menyelesaikan ucapanku barusan.

"Ha-hanya...kesal?" jawabku kikuk. Lebih terdengar seperti pertanyaan ketimbang pernyataan. Aku seolah kehilangan kosa kata hingga tidak tahu harus menjawab apa. Karena jujur perasaanku sedikit kalut ketika Harry menyinggung soal Tawni.

"Itu sama saja."

"Tidak, itu tidak sama."

"Terserah. Sejak dulu kau selalu dalam penyangkalan, Kenya Sharp."

"Bisakah kau berhenti menjadi brengsek?!"

"Apa?!"

"Aku bilang bisakah kau berhenti menjadi seorang yang brengsek?"

Harry menggertakkan giginya. Tanpa terasa kami sudah tiba di SUNY dan Harry langsung memarkirkan mobilnya di parkiran. "Aku dilahirkan untuk menjadi brengsek. Hadapilah." Ujarnya, kemudian ia turun dari mobil dengan gelagat khasnya yang angkuh lalu membukakan pintuku.

Tumben.

"Ayo, tunggu apa lagi? Kau mau berdiam diri di mobilku?" tuturnya lagi.

Kontan, aku langsung turun dari dalam mobilnya sambil mengumpat kesal. Harry membanting pintunya kembali kemudian berjalan mendahuluiku.

"Kau tidak kembali ke frat?"

"Tidak. Aku ada urusan disini."

"Dengan ayahmu?" ujarku seraya menyusul langkah kakinya.

"Dia bukan ayahku."

"Oh, ya, tentu saja." ujarku sarkastik.

Seketika itu pula Harry menghentikan langkah kakinya dan berbalik ke arahku. Rahangnya menegang seperti biasa tapi aku sudah mulai terbiasa olehnya. Jadi, ini bukan masalah besar lagi bagiku. Aku hanya menyilangkan kedua tanganku di dada dan mengerucutkan bibirku.

"Berhenti berbicara padaku seolah kau mengetahui segalanya mengenai hidupku." Paparnya. Baru saja aku hendak membuka mulutku, ia kembali memulai, "Hentikan."

"..."

Hening. Aku menuruti ucapannya dan terus menutup mulutku rapat-rapat. Bukan salahku jika aku banyak bertanya padanya, bukan? Ia menyimpan sejuta hal yang begitu membingungkan mulai dari soal Liam, Tawni, sikapnya yang pemarah, juga ayahnya. Hingga kami sampai ke dalam rumah sakit pun aku masih tetap diam. Aku menjaga semua pertanyaan di pikiranku. Mungkin aku harus menunggu hingga Harry berada dalam suasana hati yang lebih baik.

Oke, sebutlah aku tidak berpendirian kuat. Siang tadi aku berniat untuk menjauh darinya dan sekarang aku justru seolah-olah penasaran dengan si brengsek ini. Apa dia seorang pengontrol pikiran atau sejenisnya?

"Ah, nona Sharp? Kau datang menjenguk Will? Ia ada di ruangannya bersama dokter Schmidt untuk menjalani kemo." Ujar seorang perawat yang tiba-tiba saja berjalan mendekat ke arahku. Jika tidak salah namanya adalah Susan. Ia wanita paruh baya yang sering menjaga Will jika aku tidak ada. Ia biasa berganti shift dengan Kim—perawat lain yang lebih sering aku temui di siang dan sore hari.

Lantas aku pun berterimakasih padanya dan langsung beranjak hendak menuju ruangan Will. Namun, mengetahui bahwa Harry tidak ikut bersamaku kontan membuatku berhenti dan berbalik. "Kau tidak ikut?"

"Untuk apa?"

"Kupikir kau ingin bertemu dengan ayah—dokter Schmidt?" koreksiku sebelum Harry kembali meluapkan emosinya.

"Aku akan menunggunya di ruangannya."

"Kau yakin?"

"Ya."

"Well, baiklah." Sanggahku kemudian Harry berbalik dan berjalan ke arah tikungan. Aku pun melakukan hal yang sama dan menunggui Will di luar ruangannya.

Aku duduk di sebuah kursi dan meraih ponsel di dalam saku jaketku. Lalu kulihat tiga pesan dari Jules yang menanyakan keberadaanku dan apakah aku sedang bersama Harry atau tidak. Dengan segera aku membalas pesannya dan memintanya untuk tidak khawatir. Aku tidak menggubris pertanyaannya mengenai Harry.

Setelahnya, aku kembali merogoh saku jaket dan mengambil earphone yang kubawa sebelum mencolokkannya ke ponselku. Aku menyalakan musik dan mengatur playlist-nya secara acak. Tidak banyak yang bisa aku lakukan selain mendengarkan musik sambil menonton orang yang berjalan di lorong rumah sakit atau menggunakan kursi roda mereka. Beberapa perawat ada yang terlihat sedang terburu-buru, dan beberapa orang lainnya terlihat begitu santai.

Tapi ketahuilah seberapa santainya mereka saat ini, pasti rasa khawatir itu ada.

Bicara soal kekhawatiran, pikiranku kembali melayang pada biaya kemo yang belum kubayar—sialan—Bagaimana pun juga aku harus segera mengumpulkan uang dan membayarnya. Tentu aku tidak mungkin terus menerus bergantung pada pertolongan dari dokter Schmidt. Belum lagi pihak rumah sakit juga pasti akan menagihku cepat atau lambat.

"Masih belum selesai?"

Aku menoleh ke kiri dan kulihat Harry yang berjalan mendekat ke arahku. Kontan aku langsung melepas earphone yang kugunakan dan menggeleng. "Belum. Mereka masih di dalam." ujarku seraya mengecek jam di ponsel. Ini sudah lebih dari 20 menit.

Kemudian kulihat Harry mendengus sebelum duduk di sebelahku.

"Mengapa kau tidak menunggu di ruangan ayah—dokter Schmidt?"

"Tidak. Aku tidak bisa tinggal lebih lama di ruang sialan itu." Jawabnya. Sedangkan aku hanya bisa mengangkat kedua alisku. Sudah kuduga ia akan berkata seperti itu. Memang seberapa buruk sih hubungan yang Harry miliki dengan ayah tirinya?

"Jadi kau sering kemari karena menemani seseorang?" tanyanya, sedikit mengejutkanku. Karena kupikir ia tidak akan peduli.

Butuh beberapa detik bagiku sebelum menjawabnya. Aku menghela napas dan menghembuskannya dengan cepat. "Adikku lebih tepatnya. Ia masih berusia 10 tahun."

"Dan dia memiliki kanker?"

"Ya." Ujarku parau. Aku menggigit bibir bawahku dan menegapkan tubuhku yang asalnya bersandar di punggung kursi. "Tapi ia orang paling kuat yang pernah aku temui. Ia hanya seorang bocah tapi ia mampu menghadapinya. Ia tidak pernah menyerah dan selalu bersemangat. Berbeda sekali denganku. Terkadang jika aku sudah tidak tahu harus berbuat apa, ia justru yang meyakinkanku bahwa selalu akan ada jalan meski itu berliku-liku." Aku menoleh ke arah Harry yang memandangiku dari ekor matanya. "Dia yang menolongku, Harry. Bisa kau bayangkan itu?" aku tergelak miris. Berusaha menutupi kesedihanku tapi sepertinya aku gagal.

Kerongkonganku tercekat dan aku hanya bisa memalingkan wajah darinya.

"Jadi itu alasannya?"

Hah?

Sontak aku kembali menoleh, "Maksudmu?"

"Kau... kau memilih profesi sebagai pelacur karena dia?"

Aku menggeleng pelan. Bukannya bermaksud untuk menyangkal, tapi aku memang ingin menghindari pertanyaan semacam itu. "Aku akan melakukan apa saja demi Will."

"Termasuk menjual diri?"

"Jika aku harus." Jawabku parau dan kembali membuang muka darinya dengan menundukkan wajah.

"Menurutku itu hal yang bodoh." Sanggahnya. Lagi-lagi membuatku terkejut dengan omongannya yang sembarangan.

"Maaf?" aku memandangnya keheranan.

"Menjual diri hanya untuk mendapatkan uang adalah hal yang sangat bodoh."

Aku tergelak tidak percaya. "Aku mencari uang untuk Will. Oleh karena itu aku juga melakukannya demi Will. Ia yang menjadi alasanku, bukan hanya semata-mata hanya karena uang."

"Lalu apa gunanya saat ia berkata padamu bahwa akan selalu ada jalan meski itu berliku-liku dan semua omongannya itu? Apa kau tidak mencari alternatif lain selain menjadi pemuas birahi para pria?"

"Aku..." lagi, untuk yang kedua kalinya aku tidak tahu harus menjawab apa. Harry kembali mengintimidasiku dengan ucapannya.

"Mengapa kau tidak berhenti saja?"

Ha! Ia bercanda? Satu detik yang lalu ia baru saja menghinaku lalu sedetik kemudian ia berkata seperti itu seakan-akan ia peduli padaku? Hah?

"Hanya ini satu-satunya cara untuk mendapatkan banyak uang dengan cara cepat." Tuturku. Harry memandangku getir setelahnya. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Mungkin ia sedang mencari kata-kata untuk kembali menghina dan menjatuhkanku.

Tepat disaat mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, suara kenop pintu yang terbuka langsung mengalihkan perhatian kami. Dokter Schmidt muncul sambil membuka masker di wajahnya disusul oleh beberapa perawat di belakangnya.

Pun aku berdiri dan menghampirinya. Dokter memberitahuku bahwa Will masih menjalani kemonya di dalam sambil menonton tv. Sejurus kemudian dokter Schmidt melayangkan pandangannya ke arah Harry yang kini berdiri di belakangku.

"Well, senang melihatmu disini, Harry." ujarnya seraya mendecakkan lidah. "Kutunggu kau di ruanganku." Dokter Schmidt menyempatkan dirinya untuk tersenyum padaku sebelum pergi meninggalkan kami berdua di tempat.

"Kau tadi ingin bicara apa?" tanyaku pada Harry begitu ayahnya sudah berbelok di tikungan lorong.

"Bukan apa-apa." ia menjawab dengan getir seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tipikal Harry. Selalu membuatku seolah mati penasaran. Detik selanjutnya, ia pergi begitu saja meninggalkanku seorang diri tanpa pamit terlebih dahulu. Aku hanya bisa memandangi punggungnya hingga ia berbelok.

Disaat itu pula lah aku menyadari sesuatu. Bahwa Harry bukan hanya seorang yang brengsek. Ia orang aneh.


Ya, dia aneh.


TO BE CONTINUED!

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

Continue Reading

You'll Also Like

15.9M 121K 14
_Ketika dua orang dengan hati beku dipertemukan takdir_ Mengandung tema AGE GAP. HUGE AGE GAP. Don't like it? Don't read it! Highest rank achieve...
137K 7.6K 32
Justin tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk meng-kontrol emosinya. Dia melampiaskan emosinya dengan mencium gadis yang sebelumnya nerdy tampak...
1.3M 142K 91
[COMPLETE, CHAPTERED] . . . SUMMARY : Kim Eunha, 22 tahun. Seorang gadis terbelenggu di dalam kegelapan yang merengut memorinya. Dia kehilangan ingat...
1M 28.9K 18
🔞Warning, mature content! Ethan Jackson dan Barbara Winsley adalah pasangan kekasih. Mereka sering bertengkar, memaki, dan melempar barang tapi mere...