My Beautiful Girl

By putytiya

565K 18.1K 198

WARNING ALERT!! Cerita tidak konsisten, banyak revisi, kata tidak jelas, rating 17+ ~ Alessa dan Leo adalah m... More

My Beautiful Girl : 01
My Beautiful Girl : 02
My Beautiful Girl : 03
My Beautiful Girl : 04
My Beautiful Girl : 05
My Beautiful Girl : 06
My Beautiful Girl : 07
My Beautiful Girl : 08
My Beautiful Girl : 10
My Beautiful Girl : 11
My Beautiful Girl : 12
My Beautiful Girl : 13
My Beautiful Girl : 14
My Beautiful Girl : 15
My Beautiful Girl : 16
My Beautiful Girl : 17
My Beautiful Girl : 18
My Beautiful Girl : 19
My Beautiful Girl : 20
My Beautiful Girl : 21
My Beautiful Girl : 22
My Beautiful Girl : 23
My Beautiful Girl : 24
My Beautiful Girl : 25
My Beautiful Girl : 26
My Beautiful Girl : 27
My Beautiful Girl : 28
My Beautiful Girl : 29
My Beautiful Girl : 30
My Beautiful Girl : 31
My Beautiful Girl: 32
My Beautiful Girl : 33
My Beautiful Girl : 34
My Beautiful Girl : 35
My Beautiful Girl : 36

My Beautiful Girl : 09

20.5K 714 3
By putytiya

Vote, please...


.



Alessa membanting totebag putih kusamnya keatas meja, dengan kasar dia memasukkan laptop dan beberapa buku ke dalamnya.

Sekarang di apartement ini ada dua Leo, dan dia mulai muak dengan tingkah keduanya yang sama persis.

Menarik napas untuk yang terakhir kalinya, tangannya terangkat membuka pintu kamar.

Diluar Alessa melihat sudah ada dua orang wanita yang tengah membantu Radit, anak kecil yang masih saja menangis dengan dramatis. Itu lah kenapa Alessa membenci anak kecil. Alessa hanya menariknya turun dan tangan kecilnya sendiri yang menyenggol piring makanan tersebut hingga membuat bajunya kotor.

Saat melewati kerumunan tersebut, Alessa semakin mempercepat langkah kakinya menuju rak sepatu. Tak sekalipun dia membiarkan matanya bertemu dengan tatapan tajam Leo yang mengarah padanya.

Pria itu sibuk menelepon seseorang sedangkan matanya mengawasinya, membuat punggungnya terasa dilubangi.

***

Dipagi hari yang seharusnya diawali dengan keberuntungan, ternyata dugannya salah.

Pagi hari ini. Leo harus mendengar suara kencang tangisan dari arah luar kamarnya. Setelah dia mengeceknya, Leo melihat Radit, keponakannya tengah menangis dengan baju sekolahnya yang kotor, di sampingnya Alessa berdiri dengan wajah memerah.

Sejak keponakannya lahir, Leo tak pernah melihat Radit menangis. Biasanya, dia akan melihat asisten Radit yang menangis karena ulah usilnya.

Leo berjongkok untuk memastikan tak ada luka di wajah Radit.

Setelah berdebat kecil dengan Alessa, perempuan itu memilih pergi ke kamar tanpa rasa bersalah.

Tak lama bel terdengar, Leo buru-buru membukakan pintu. Sesuai dugaanya dua asisten Radit berdiri diluar dengan tatapan khawatir sekaligus takut. Dengan kesal Leo menyuruh keduanya masuk.

"Kenapa kalian teledor, sih?" Tanya Leo kesal.

Salah satu asisten menoleh ke arah Leo, matanya berkedip gemetar. "Tapi... tadi Radit dia keluar begitu saja dari mobil..." Suaranya menghilang karena sebuah senggolan di rusuknya. Kepalanya kembali tertunduk saat menyadari sesuatu. " Maaf, kita memang teledor." Cicitnya.

Suara ponsel Leo berdering nyaring, membuatnya mengurungkan niat untuk mencerca kedua asisten tersebut. "Hallo." panggilnya dengan nada kesal yang tak ia tutupi, dia bergumam mendengar begitu banyak ucapan dari si penelpon tanpa membiarkannya membuka mulut.

Pintu kamar yang beberapa menit yang lalu tertutup kini terbuka kembali. Alessa keluar dengan langkah panjang dan dagu yang diangkat tinggi-tinggi.

Melihat hal itu Leo ingin sekali membenturkan tubuhnya ke dinding, dan melumat habis ekspresi angkuh di wajahnya hingga hanya ada ekspresi memohon yang selalu dia impikan.

***

Sore harinya setelah pulang dari kampus, Alessa tetap melihat meja bar dapur seperti terakhir kali ia lihat. Makanan yang tak sengaja di senggol oleh keponakan bossnya masih berserakan di bawah kursi.

Alessa memijit pangkal hidungnya melihat kekacaun tersebut. Totebag yang tadi ia jingjing di simpan diatas meja, lalu menyobek beberapa lembar tisu dapur dan mulai membersihkannya.

Saat fokus membersihkan sisa makanan tersebut, sudut matanya melihat seseorang berjalan mendekat dengan langkah kecil hati-hati. Alessa mengangkat wajahnya untuk melihat Radit berdiri tak jauh darinya, mencoba tak membuat keributan lagi. Alessa mengacuhkannya.

Radit kecil berdiri menunggu, ingin di tanya. Tetapi pembantu baru bernama Alessa, perempuan yang di kata galak dan mudah marah oleh Leo tetap tak mengucapkan apapun. Radit merengut sebal, ia tak suka di acuhkan.

Selama mengerjakan pekerjaan rumah, Alessa tetap di awasi oleh Radit, anak kecil itu selalu mengikuti langkahnya membuatnya sedikit kesal.

Setelah merasa pekerjaanya selesai. Alessa bergegas meninggalkan ruangan dan Radit, anak itu terlihat sedih saat Alessa menutup pintu kamar di depan wajahnya.

Alessa menghembuskan napas lega, saat tatapan sedih Radit terhalangi pintu. Dia bergegas mandi dan harus mulai berkutat dengan laptopnya untuk mempersiapkan bab skripsi yang tengah di kerjakan, walau dosen pembimbingnya masih sulit di hubungi tapi setidaknya dia sudah berada di depan dalam mengerjakan awalan skripsi.

Sambil berjalan keluar dengan kedua tangan yang sibuk mengerikan rambut, Alessa menyadari bahwa totebag berisi laptopnya tidak terlihat di kamar. Dengan, enggan ia kembali ke dapur untuk mengambil laptopnya—sekaligus berharap anak kecil itu tidak menyentuh totebagnya.

Langkahnya memelan saat melihat pemandangan di depannya. "Lagi apa?" Tanyanya heran melihat Radit tengah memakan roti.

Di bawah kaki kecilnya Alessa melihat remah pinggiran roti yang tidak di makan berserakan.

Radit beringsut menjauh.

"Kemana asistenmu?" Kembali Alessa bertanya, nada suaranya dia kontrol agar terdengar bersahabat.

"Pergi."

Alessa mengedikkan bahu, dia tidak memiliki tanggung jawab untuk memasakan makanan untuknya. Tetapi melihat anak kecil itu terlihat kelaparan membuat hatinya terenyuh.

Radit mengangkat wajahnya saat mendengar suara gemerisik, mata kecilnya menatap Alessa yang tengah menggunakan apron dan berjalan memasuki dapur.

"Nasi goreng, suka?"

Radit ragu-ragu mengangguk.

Alessa tersenyum kecil, melihat ekspresi lucu ragu yang anak kecil itu tunjukkan.

"Aku ingin kue."

Alessa menjatuhkan bahan masakan ke atas meja, alisnya terangkat memandang wajah memelas Radit di sampingnya.

"Aku ingin kue, di dalam kulkas ada kue." Katanya mengangkat jari telunjuknya ke arah kulkas besar.

Alessa mengangguk mengerti. Ia kembali berjalan ke arah kulkas dan membukanya. Lalu menyadari bahwa kue yang di maksud oleh Radit, adalah lemon meringue cake.

Saat tangannya terangkat untuk mengambil, Alessa tersadar sesuatu. Dia berbalik meninggalkan lemon meringue cake, dan menatap Radit yang menunggu dengan mata bulatnya yang penuh harap.

"Begini..." Alessa menutup pintu kulkas di belakangnya lalu menatap Radit dengan serius yang kini melihatnya heran. "Katakan tolong, kalau menginginkan sesuatu. Katakan maaf, kalau membuat salah, dan katakan terima kasih, kalau menerima sesuatu." Terang Alessa menyeringai lebar dengan melipat kedua tangannya di dada.

Radit mendengus, tangan kecilnya terlipat di dada menirukan gaya perempuan di depannya. "Tidak." Tolaknya.

Bahu Alessa merosot mendengar jawaban dari anak kecil di depannya. "Kenapa?"

"Itu menyebalkan."

"Siapa yang mengatakan begitu? Kamu bersekolah di sekolah yang mahal, tidak mungkin mereka mengajarkan yang salah..." Alessa menelan suaranya, keningnya berkerut saat otaknya berpikir keras.

"Mhmm." Radit bergumam, Alessa kembali memfokuskan pandanganya untuk memandangi anak kecil di depannya. "Om Leo yang mengatakan itu, hal itu menyebalkan dan membosankan."

Mata Alessa terpejam, seperti dugaanya. Telapak tangannya terkepal sempurna hingga membuat buku-buku kukunya memutih. Dia menarik napas panjang dan membuka matanya untuk melihat Radit yang mengangkat alisnya heran.

"Begini..." Alessa melangkah mendekat tetapi Radit melangkah mundur, kening Alessa berkerut menyadari hal tersebut. "Kenapa?"

"Kamu marah. Aku tidak ingin berdekatan denganmu." Jawab Radit polos.

"Tidak... Tidak..." Buru-buru Alessa menyugihkan senyum terbaiknya. "Aku tidak marah, tapi... Kamu tahu, tiga hal yang ku sebutkan tadi tidak membosankan sama sekali ataupun menyebalkan."

Alis Radit terangkat. "Jadi, apa yang di katakan Om Leo salah."

"Tentu saja!" Jawab Alessa menggebu. "Kalau kamu meminta dengan baik kue di dalam kulkas, aku akan dengan senang hati mengambilkannya untukmu."

Kepala kecil Radit miring memandangi Alessa di depannya. "Tolong, ambilkan aku kue di dalam kulkas." Kata Radit dengan lugas.

Alessa mendesah lega, karena berhasil menyelamatkan masa depannya sebelum terlambat dan membuat anak tersebut berat untuk mengatakan hal sakral tersebut di masa depan. "Baik." Dengan, sangat sadar senyum Alessa terasa tulus dan menyenangkan untuk ditunjukkan.

Mata kecil Radit berbinar, saat Alessa menyodorkan sepotong lemon meringue cake ke tangannya.

Alessa terkikik melihat hal tersebut, dan bertambah terkikik saat melihat Radit berjalan menjauh membawa cake tersebut. "Kamu melupakan sesuatu?!"

Langkah kecilnya terhenti, Radit dengan wajah bersalahnya berputar menatap Alessa. "Maaf dan terimakasih... " ucapnya terbata. "Apa kamu masih akan membuatkan nasi goreng untukku?" Tanya Radit dengan malu-malu.

"Tentu saja." Jawab Alessa tersenyum lebar.

Radit melompat kecil dengan girang. Ia berbalik untuk kembali berjalan namun kembali berbalik menatap Alessa yang mengangkat alisnya heran. "Terimakasih."

***

"Om badanku gatal, aku ingin mandi tapi Alessa tidak mau memandikanku." Teriak Radit di sebrang telepon.

Leo menjauhkan sedikit ponselnya. Beberapa menit yang lalu Alessa meneleponnya, mengatakan Radit ingin mandi, tapi perempuan itu takut melakukannya karena tidak mendapat izin.

"Om aku ingin mandi!" Rengek Radit kembali terdengar.

"Ya, kamu akan mandi, jadi berikan kembali ponselnya kepada Alessa."

Terdengar gumaman lucu di sebrang, Leo tidak tahu kenapa mereka menjadi begitu terdengar akrab. Itu bagus dan mendebarkan, entah kenapa ia membayangkan bahwa mereka adalah keluarga dan Leo tengah bekerja. Anak pertama mereka merengek karena tidak dibelikan sesuatu oleh ibunya-istrinya juga tentu saja...

"Ya."

"Apa yang lo takuti, Alessa. Jangan bilang lo gak pernah liat..."

"Oh shut up, Leo. Gue gak mau di anggap melecehkan anak di bawah umur karena gak punya izin untuk membantunya mandi." Alessa menggeram rendah sedangkan disebrang Radit bergumam tentang bahasa awal Alessa yang kasar.

"Lo boleh bantu dia mandi." Leo menjawab dengan terkekeh geli. "Baju Radit ada di tasnya."

Alessa bergumam sebelum mematikan telepon secara sepihak, dia lalu berbalik menatap Radit yang setelah diberi satu piring nasi goreng, anak kecil itu berubah menjadi super hiperaktif.

"Ayo." Ajak Alessa menggandeng masuk ke dalam kamar mandi di luar, disebelah dapur.

Radit menggandeng tangan Alessa, dia melompat-lompat mengikuti langkahnya.

***

Malam harinya, Leo menemukan Alessa dan Radit tengah tertidur di sofa dengan layar tv tengah memutar film, Lion King. Sejenak dia melihat ke arah Alessa dan Radit yang tertidur pulas, mereka berdua berpelukan di sofa kecil tersebut. Seperti khayalan sebelumnya, Leo menemukan keluarga kecilnya tertidur pulas di sofa karena lelah menunggunya.

Kalau dirinya menerima perjodohan yang di rencanakan Ayahnya, apa akan seindah ini? Apa dengan perempuan yang di jodohkan ayahnya akan semenyenangkan ini, seperti saat melihat Alessa dan Radit?

Kepala Leo menggeleng tegas, merasa semua terasa melantur. Bagaimanapun dia tak akan menerima perjodohan itu.

Setelah mematikan televisi, Leo berbalik menuju dapur mencoba menenangkan pikirannya yang mengembara.

Di sofa mata Alessa mengerjap menyadari suara tv tidak terdengar lagi. Saat matanya terbuka sempurna, tv sudah berubah hitam.

Alessa beringsut hati-hati, saat menyadari bahwa Radit telah tertidur pulas dalam pelukannya, kepalanya menolah dan melihat Leo bersandar pada meja dapur, tengah mengamatinya dari jauh.

"Radit mau dipindah kemana?" tanya Alessa dengan suara seraknya, dia menghabiskan waktu untuk berbicara dengan Radit di kamar mandi.

Leo menunjuk kamarnya dengan anggukan dagu.

Alessa lalu mengendong Radit menuju kamar yang dituju, di belakang Leo membuntuti mereka ke kamarnya.

Saat Alessa berhenti karena tangannya yang melingkar sempurna pada tubuh Radit, Leo yang menyadari langsung melangkah maju dan membantunya membukakan pintu.

Hal pertama yang Alessa lihat adalah ruangan kamar yang luas, dengan ranjang besar di tengah ruangan dan tv yang sama besarnya dengan tv yang ada diluar tadi.

Alessa berjalan dengan hati-hati menuju kasur, dia tidak membiarkan matanya berkeliaran kemana-mana. Dengan, lembut ia membaringkan Radit di atas ranjang tersebut. Anak kecil tersebut terlihat pulas.

Sebelum meninggalkannya Alessa menyempatkan terlebih dahulu untuk membenarkan anak rambut Radit yang terjatuh di pelipisnya. Saat menyadari bahwa Leo tengah mengawasinya, Alessa buru-buru menegakkan tubuhnya dan berjalan keluar dari kamar, di daun pintu tubuh pria itu bersandar dengan seringai khas miliknya.

"Lo juga bisa tidur disana." dengan tawa kecil menatap Alessa yang melewatinya.

Alessa mendelik, dia lalu berjalan ke arah kamarnya dan menguncinya.

Setelah bersandar cukup lama di daun pintu, untuk menormalkan detak jantungnya. Ia melompat ke atas ranjang menyembunyikan wajahnya yang entah kenapa terasa panas dan memerah.

Namun, saat menyadari sesuatu Alessa mengerang kesal. Leo mencoba menggodanya, seharusnya—seharusnya dia memberi peringatan bukannya merasa berdebar alay seperti tadi.

***

Leo mengusap wajahnya kasar, pikiran aneh menyeruak di dalam benaknya.

Anehnya itu terasa nyata, saat Alessa memindahkan anak pertama mereka di ranjang, dan berjalan keluar meninggalkannya karena suatu hal. Lalu Leo menyadari kesalahannya, ia kembali terlambat pulang dan bergegas berlari mengejar langkah istrinya menuju kamar, untuk meminta maaf sekaligus merayunya...

***

Continue Reading

You'll Also Like

12.7K 2.6K 12
[eleven's : 06] [completed] Jaevian itu full of happiness, makanya dia membagikan kebahagiaannya kepada Jiesya si tetangga cantik yang sayangnya sela...
1.2M 45.2K 62
Menikahi duda beranak satu? Hal itu sungguh tak pernah terlintas di benak Shayra, tapi itu yang menjadi takdirnya. Dia tak bisa menolak saat takdir...
80.1K 3.7K 27
"Maaf kak, aku nggak bisa nikah sama kakak," lirih Irsa. Jelas Arsya tidak menerima keputusan sepihak itu. "Nggak ada penolakan! Pokoknya kamu harus...
87.9K 4.6K 51
▪︎▪︎ POSSESSIVE SERIES [1] ▪︎▪︎ ================================== Rara tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Raka. Laki-laki yang sangat i...