CHANGED (sudah DITERBITKAN)

By sfdlovato

13.3M 356K 57.3K

Berawal dari sebuah dompet dan berujung menjadi perjalanan cinta yang rumit. Kenya Sharp adalah seorang maha... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50
Chapter 51
Chapter 52
Chapter 53
Chapter 54
Chapter 55
Chapter 56
Chapter 57
Chapter 58
Chapter 59
Chapter 60
Chapter 61
Chapter 62
Chapter 63
Chapter 64
Chapter 65
Chapter 66
Chapter 67
Chapter 68
Chapter 69
Chapter 70
Chapter 71
Chapter 72
Chapter 73
Chapter 74
Chapter 75
Chapter 76
Chapter 77
Chapter 78
Chapter 79
Chapter 80
PRE-ORDER!!!
ATTENTION!! CHANGED hadir di Gramedia & Gunung Agung!!
CHANGED Side B di Gramedia!
Sequel CHANGED, "REBELS: A New Beginning" sudah terbit
Hari Ini PRE ORDER Rebels: The Last
Koleksi Semua Bukunya (1-4 Tamat)
CHANGED Full WATTPAD Version

Chapter 6

252K 7.1K 312
By sfdlovato

The songs for this chapter:

Tata Young – Sexy, Naughty, Bitchy

Justin Timberlake – Sexy Back

One Direction – Little Black Dress

***

Aku terduduk tegap di hadapan dr.Schmidt yang baru saja kembali setelah menutup pintu ruangannya. Terlihat ia menaruh sebuah amplop yang cukup tebal ke dalam lacinya terlebih dahulu sebelum membalas tatapanku dan menyunggingkan senyumannya yang ramah juga bersahabat. Well, itu lah salah satu alasan yang membuatku terkadang merasa nyaman untuk mengajaknya berbicara dan meminta saran mengenai Will.

"Jadi, sejak kapan kau mengenal putra tiriku, nona Sharp?"

Eh? Putra tiri??

"Ha-Harry adalah putramu?" ujarku sedikit terbata-bata. Tentu saja aku cukup shock mengetahui bahwa Harry adalah putra dari dokter yang mengurus Will! Sungguh merupakan sebuah kebetulan bahwa lingkaran hidupku harus terus berputar di sekitarannya. Jk. "Umm, kami satu kampus di NYU. Temanku berkata bahwa Harry pindah dari jurusan Filsafat ke Sastra dan Literatur, yaitu bersamaku."

Dr.Schmidt tergelak sembari memperbaiki posisi kacamatanya, "Ya, aku tahu soal itu. Harry sering mengeluh bahwa ia membenci jurusan yang ia ambil. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk pindah. Padahal aku sudah menyarankan untuk bertahan paling tidak satu tahun lagi. Tapi ia bersikeras untuk pindah. Anak itu memang agak keras kepala."

Agak? Well, aku meragukan itu.


"Bahkan barusan ia datang kemari untuk mengembalikan uang yang ia pinjam. Padahal aku sudah berkata bahwa aku memberikannya secara cuma-cuma, tapi Harry termasuk anak yang independent. Ia tidak suka jika dirinya bergantung pada orang lain." Paparnya sambil tertawa kecil. Kemudian ia kembali melanjutkan, "Kami tidak tinggal satu atap, oleh karena itu ibunya sering berkata padaku bahwa ia khawatir jika Harry akan kekurangan. Beberapa waktu yang lalu ia meminjam $2500 padaku dan dalam hitungan hari ia sudah berhasil mengembalikannya. Aku tidak tahu apa saja yang anak itu lakukan sehingga ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Tapi aku yakin ada hubungannya dengan motor. Itu adalah hobinya sejak dulu."

Oh, aku mengerti sekarang. Pantas saja Harry sangat marah ketika aku mengambil satu lembar uang seratus dollar dari dalam dompetnya. Ternyata ia pergunakan untuk membayar hutang pada ayahnya. Ralat, ayah tirinya.

"Ah, maaf. Aku jadi banyak bercerita mengenai putraku." Ujar dr.Schmidt menyadari reaksiku yang sedari tadi banyak diam ketika membicarakan Harry. Bukannya aku tidak suka, tapi aku jadi sedikit terkaget setelah (lebih) tahu mengenai dirinya.

"Tidak masalah."

"Well, jadi, apa ada yang bisa aku bantu, nona Sharp?"

"Uhm, aku ingin berkonsultasi mengenai kemo yang akan dijalani Will."

"Tentu."

Aku pun memperbaiki posisi dudukku agar lebih tegap dan siap, "Begini, aku ingin bertanya... apakah ada alternatif lain selain kemoterapi? Maksudku, yang berefek sama bagi kesembuhan Will namun lebih murah harganya. Atau mungkin kah jika kita menundanya selama dua sampai tiga hari? Aku berpikir mungkin aku bisa...—"

"Nona Sharp, aku mengerti." Selanya, menyadari kecemasan dalam cara bicaraku yang terlalu cepat. "Tapi sayangnya untuk saat ini aku hanya menganjurkan pengobatan kemo untuk adikmu. Operasi transplantasi sumsum tulang jelas jauh lebih memakan banyak biaya dan lagi adikmu belum mencapai ke tahap stadium akhir, hanya kemo satu-satunya alternatif terbaik yang ia punya saat ini."

Seketika aku bergidik ngeri tatkala mendengar penjelasan yang dokter berikan. Apa maksudnya dengan 'belum mencapai ke tahap stadium akhir'? Apa itu berarti kondisi Will akan menjadi jauh lebih buruk lagi kedepannya?

"Lalu apa sekiranya yang harus aku lakukan?" ujarku parau sambil memutus kontak mata dari dokter Schmidt. Sedikit merasa tidak nyaman karena masalah yang kuhadapi saat ini adalah masalah ekonomi. Mana mungkin dokter Schmidt mau membantuku?

"Kau tenang saja. Aku akan mengupayakan hal itu."

Mengupayakan?

Sontak aku mengangkat wajahku dan kembali memandang dokter Schmidt keheranan, "Ma-maksudmu?"

"Kau serahkan saja padaku, nona Sharp. Besok Will akan menjalani kemonya. Kau tidak perlu khawatir."

"Kau serius??" ucapku antusias. Entah apa maksudnya dengan menyuruhku untuk tidak khawatir, tapi yang jelas aku yakin bahwa niatannya adalah baik. Tidak mungkin tidak!

Detik itu pula dokter Schmidt mengulas senyum lebarnya padaku dan mengangguk. Aku bisa melihat ketulusan dalam tatapannya itu. Sungguh, aku merasa bersyukur dan berterimakasih padanya!

"Ya Tuhan, dokter, terimakasih banyak! Aku berjanji setelah aku mendapatkan cukup uang aku akan segera membayarnya, percaya padaku!"

Dokter Schmidt terkekeh. Ia layaknya seorang ayah yang terhibur setelah mendengar anaknya yang berjingkrak kegirangan mengetahui bahwa ia baru saja dibelikan sepeda roda tiga yang baru! Aku sampai heran mengapa Harry bersikap ketus pada ayah tiri sebaik dirinya? Atau mungkin sudah pada dasarnya ia memiliki sikap seperti itu pada setiap orang tanpa terkecuali?

Selang beberapa detik kemudian, sebuah suara ketukan di pintu pun terdengar dan memecahkan pikiranku. Setelahnya seorang perawat datang dengan membawa beberapa berkas di tangannya dan meminta dokter Schmidt untuk memeriksa. Disaat itu pula aku pun berangsur permisi pada dokter Schmidt setelah kembali berterimakasih. Tidak kuduga bahwa aku akan meninggalkan ruangannya dengan sebuah senyuman yang mengembang. Sontak setelah aku menginjakkan kaki keluar dari ruangannya, aroma rumah sakit yang begitu khas kembali terasa di penciuman. Namun, yang membuat diriku tiba-tiba kesal bukan lah karena baunya, melainkan sesosok pria berambut ikal yang berdiri tidak jauh dariku tengah memperhatikanku dari sudut matanya.

Mengapa ia masih disini? Kukira tadi ia sudah pamit untuk pulang?

Jk, masa bodoh. Ketimbang mengurusinya lebih baik aku pergi ke bangsal tempat Will biasa bermain dan menghabiskan waktu.

Aku pun berjalan melewati Harry dengan sikap acuh tak acuh seolah aku tidak menyadari keberadaannya. Tapi seperti biasa Harry selalu bersikap kurang ajar terhadapku! Ia menyergap lenganku dan memaksaku untuk memutar tubuh ke arahnya.

"Apa yang kau lakukan disini?"

"Bukan urusanmu." Jawabku dingin.

"Berhenti berkata seperti itu. Kau baru saja menemuinya. Apa yang kau lakukan di dalam sana? Apa kau baru saja berusaha menggodanya?"

Apa? Ia sudah gila, ya?

"Excuse me? Kau tidak tahu apa-apa, Harry, jadi sebaiknya kau tutup mulutmu itu." tuturku seraya menepis tangannya, namun sialnya Harry selalu lebih kuat dan lebih gesit ketimbang diriku.

"Kau sakit?"

"Apa? Tidak. Kau lah yang sakit, Harry. Kau sakit jiwa jadi sebaiknya kau menjauh dariku mulai detik ini juga."

"Aku serius. Apa yang kau lakukan disana?"


Dia serius? Oh, aku bisa melihat itu.

"Memang apa pedulimu jika aku sakit atau tidak? Dengar, Harry, sebelum mencampuri urusanku, lebih baik kau urus sendiri hidupmu. Kau seharusnya bersyukur bisa hidup dengan belas kasihan orang tua, dan kau seharusnya lebih tahu diri dan menghormati ayahmu. Ia sangat baik terhadapmu, mengapa pula kau bersikap kasar padanya tadi?"

"Dia berkata seperti itu? Dia berkata bahwa aku anak tirinya?!" lagi, rahang Harry kembali menegang. Aku selalu tidak habis pikir dengannya, memang apa yang salah dengan itu? Seharusnya ia bangga memiliki ayah tiri seorang dokter hebat dan berhati mulia! Tidak seperti dirinya yang brengsek dan tidak tahu diri.

"Ya, dia mengatakannya. Apa kau puas? Sekarang lepaskan tanganku."

"Apa saja yang ia katakan padamu?"

"Itu bukan—"

"Jangan berkata ini bukan urusanku karena, ya, ini urusanku!"


Sontak aku menelan ludah. Aku menatap dalam-dalam matanya yang sehijau air danau. Apa sekiranya Harry akan marah atau merasa malu jika aku mengatakan yang sejujurnya?

"Ia berkata bahwa kau kemari untuk mengembalikan uangnya yang baru saja kau pinjam beberapa waktu lalu."

Harry langsung mengernyit kesal. Sudah kubilang, bukan?

"Well, kurasa sekarang aku mengerti mengapa kau begitu marah saat aku mengambil uangmu. Memang kau mendapatkan semua uang itu dari mana?"

"Bukan urusanmu." Balasnya.

Dasar brengsek.

Sejurus kemudian Harry melepaskan cengkramannya dari lenganku dan memandangku dengan tatapan yang merendahkan. Kemudian ia berkata, "Jangan lupa dengan kesepakatan kita kemarin." Setelah itu ia berbalik dan berjalan menjauh dengan gelagatnya yang angkuh seperti biasa.

Dalam sekejap aku pun kembali teringat akan kata-katanya kemarin. Apa Harry benar-benar serius menantangku dalam mendapatkan pelanggan? Bila memang ia serius, tentu aku akan menanggapinya dengan serius juga. Maksudku, aku ingin Harry benar-benar pergi dari kehidupanku.

...

Malamnya, aku sudah berada di pub dengan riasan dan penampilan yang jauh lebih menghebohkan. Aku kembali mengenakan sebuah mini dress hitam, namun jauh lebih terbuka ketimbang dengan pakaian yang kukenakan dua hari yang lalu. Aku juga mengenakan dua buah busa pengganjal yang dapat membuat payudaraku terlihat lebih besar. Oke, aku tahu ini agak memalukan, tapi mau bagaimana lagi? Jika aku tidak berpenampilan maksimal, maka hanya akan semakin menyulitkanku untuk mendapatkan pelanggan.

Sekitar satu jam aku duduk-duduk manis dengan rekan satu profesiku di booth, kulihat Harry datang seorang diri dan langsung menempati kursi kosong yang ada di bar. Kali ini tidak seperti biasanya ia memakai kaus putih polos, sehingga  tato di sekujur lengan kirinya terlihat begitu kontras di kulitnya yang berwarna cukup eksotis.

"Kau mendapatkan pakaian itu dari mana, Kenny?" tanya Spencer yang kini baru saja bergabung dengan kami di booth. Ia menaruh kaki kirinya di atas kaki kanannya sembari menyulut api di batang rokok yang ada di mulutnya.

"Memangnya mengapa? Apa terlalu mencolok?"

Seketika itu juga seluruh rekan satu profesiku tertawa. Hey, apa yang salah?

"Tidak, hanya saja kupikir pakaianmu terlalu berlebihan." Tutur Spence.

Well, apa bedanya terlalu mencolok dengan terlalu berlebihan?

"Kita pelacur kelas atas, namun kau berpakaian seperti pelacur murahan yang sering ada di pinggiran jalan, Kenny. Sebaiknya kau ganti pakaianmu dengan gaun milik Clarissa." Timpal Brenda si pelacur jalang berambut pirang yang paling sering merebut pelangganku.

"Oh? Kupikir kalian hanya takut jika aku menarik terlalu banyak perhatian para pria. Berhentilah mengurusiku dan sebaiknya kalian pikirkan penis milik siapa yang akan kalian hisap malam ini. Karena apa? Karena mereka hanya ingin tidur denganku. Bukan dengan kalian." rutukku seraya beranjak dari booth dan berpindah tempat menuju bar dengan terburu-buru. Aku bisa mendengar suara mereka yang menyorakki-ku dan tertawa heboh. Bahkan tadi aku sempat melihat mulut Brenda yang menganga lebar disaat aku hendak pergi.

Persetan dengan Brenda!

Gara-gara dirinya aku jadi nyaris kehilangan kesabaran! Sudah untung aku tidak merebut gelas champagne di tangan Vanessa dan menyiramkannya pada Brenda tadi! Aku tidak tahu mengapa setiap kali wanita murahan itu berbicara—apalagi denganku—aku seolah ingin menjambak rambutnya hingga habis!

"Jack, berikan aku whiskey." Tuturku tidak sabaran. Aku bahkan belum sempat duduk dan sudah memesan duluan. Bahkan secara tidak sadar aku berdiri di samping pria yang paling kuanggap brengsek di dunia ini.

Harry tergelak setelah matanya memandangku dari atas hingga ke bawah. Serius, memang apa yang salah dengan bajuku?! Memang sih di bagian dada hingga perut terlihat seperti kaus jaring-jaring transparan yang mencolok, tapi kupikir—saat aku bercermin tadi—penampilanku tidak seburuk dan semurahan itu.

"Berhenti menertawaiku." Ucapku kesal sambil meraih segelas whiskey yang Jack sodorkan. Kemudian aku meneguknya hingga habis hanya dalam hitungan detik. Dalam sekejap panas yang menjalar di sekujur tubuhku membuatku mengernyit dan menjulurkan lidah. Whiskey macam apa yang Jack berikan?

"Apa ini?"

"Whiskey."

"Serius, Jack." Aku menggeram padanya.

"Aku serius. Aku mentraktirmu blended whiskey yang akhir-akhir ini paling banyak digemari oleh orang-orang. Bell's yang paling nikmat. Tidakkah kau menyukai aromanya?"

Aku memutar bola mataku, tidak peduli. Urusan minuman seperti ini bukan lah sesuatu yang menjadi fokusku saat ini. Sekarang yang paling penting adalah bagaimana caranya agar si brengsek di sampingku ini berhenti mendekatiku!

"Tunggu disini. Kau akan lihat bahwa ucapanmu kemarin adalah salah." Ujarku mengecamnya. Sedetik kemudian—tanpa mempedulikan reaksi wajah Harry yang terlihat datar—aku pun berangsur mencari sasaran yang kira-kira mudah untuk didapatkan.

Hanya saja sialnya aku mulai sedikit pusing sekarang. Apalagi jika bukan karena whiskey yang diberikan oleh Jack? Sialan.

"Hai, tuan. Apa kau keberatan jika kutemani?" tuturku lembut pada seorang pria dewasa yang tengah duduk bersama dua orang pria lainnya yang terlihat kesepian. Demi Tuhan, aku berani bertaruh bahwa mereka pasti kemari untuk kabur dari istri mereka. Karena lihat saja setelan jas murahan yang mereka kenakan. Mereka terlihat seperti pengangguran yang memaksakan diri untuk datang ke club kelas atas seperti ini hanya untuk sekedar melepaskan kepenatan dari kejamnya dunia—juga istri mereka.

Dan jujur aku sendiri tidak tahu mengapa aku memilih untuk menggodai mereka. Karena aku yakin 100% di sekitaran tempat ini pasti ada yang jauh lebih mampu untuk membayarku dengan harga tinggi. Jadi, sekali lagi kutegaskan bahwa aku tidak tahu apa alasannya. Mungkin karena mereka terlihat belum pernah kemari sama sekali sehingga aku tertarik dan terdorong? Atau mungkin juga karena pengaruh alkohol yang sudah membuatku tidak waras?

Namun, yang menjadi konsentrasiku saat ini adalah Harry. Aku ingin segera menyelesaikan permainan bodoh ini dan menyingkir darinya. Tidak, tunggu dulu. Maksudku ia lah yang menyingkir dariku.

"Tentu, kemari lah, manis." Ujar si pria berambut plontos yang kuakui cukup mirip dengan Brad Pitt. Ha, ha.

Astaga, Kenya. Kau ini berpikir apa? Kurasa kau sudah mabuk berat!

"Kau mau minum?" tawar salah seorang pria yang duduk di sebrang kami.

Aku menggeleng pelan dan menolaknya secara halus. Aku benar-benar ingin segera membawa salah satu dari mereka ke hotel. Siapa pun! Yang mana saja terserah asal aku dibayar tentunya.

"Apa yang kalian lakukan disini? Tidakkah istri-istri kalian mencari? Bagaimana jika mereka tahu kalian tengah duduk bersamaku dan mengamuk?" ucapku tidak karuan. Aku bersumpah bahwa penglihatanku kini sudah mulai buyar dan kurasa pria di sampingku saat ini memiliki seorang kembaran. Oh, Tuhan. Brad Pitt berlipat ganda.

"Tidak, nona manis. Kami datang dari Texas, tidak mungkin istri-istri kami datang kemari dan mengamuk secara tiba-tiba." Jawabnya seraya tertawa lebar hingga membuat telingaku berdengung. Tapi ajaibnya aku juga ikut tertawa bersama mereka.

Lalu entah bagaimana ceritanya sehingga secara spontan aku meraih gelas champagne yang digenggam oleh Brad Pitt. (Persetan dengan nama aslinya!) Aku meneguk champage itu hingga habis dan menaruh gelasnya di atas meja dengan sedikit kasar lalu kembali menatapnya.

"Bagaimana kalau kita bersenang-senang sedikit?"

"Bersenang-senang?"

"Ya, akan kutunjukkan padamu bagaimana caranya bersenang-senang di hotel New York." Tuturku dengan sedikit menyamarkan kata 'hotel'.

Di detik itu pula ketiga pria dewasa yang menyedihkan ini bersorak sorai. Kedua orang yang duduk di sebrang kami bahkan menyemangatinya untuk menuruti ucapanku barusan. Pun selama si Brad Pitt ini memikirkan ucapanku, aku melirik ke arah bar dan melihat Harry yang menatapku dari kejauhan. Mata kami saling terpaku pada satu sama lain hingga akhirnya Brad memanggilku.

"Baiklah, manis. Berapa bayaranmu untuk satu jam?"

"Lima ratus dollar."

"Lima ratus dollar?!" ia terperanjat kaget.

"Ya, tapi kujamin aku bisa memuaskanmu hanya dalam waktu lima belas menit. Sisa waktunya terserah padamu. Kau ingin aku menari untukmu, boleh saja. Kau ingin aku memasakkan barbeque untukmu, boleh juga. Semua terserah padamu, tuan. Selama Angelina Jolie tidak mengetahuinya tentu saja." Terangku dengan sedikit nada candaan dibagian akhir dan tergelak.

Mereka pun tertawa terbahak-bahak sementara aku kembali melirik ke arah Harry yang tengah meneguk bir dari botol keduanya.

"Baik. Lima ratus dollar untuk gadis secantik dirimu." Kurasakan tangannya yang kini bergerak di pahaku. Kontan aku kembali memandangnya. Kudapati kedua matanya yang memandang dadaku mulai terlihat berbinar-binar. Meski wajahnya disiram oleh lampu diskotik yang remang-remang, aku bisa melihat kilatan di matanya yang penuh dengan gairah.

Aku pun tersenyum miring, "Ayo, tuan Brad Pitt." Ujarku asal seraya menarik dasi polkadotnya dan beranjak dari booth.

Tepat ketika kami berjalan melewati booth Brenda dan yang lainnya, aku bisa merasakan tatapan mereka yang seolah tidak percaya karena aku bisa mendapatkan seorang pelanggan sepagi ini. Lihat, bukan? Kubilang juga apa! Mereka hanya sirik karena penampilanku jauh lebih menarik perhatian ketimbang dengan mereka.

Terlebih lagi ketika aku berjalan mendekati pintu keluar, aku sempat menoleh ke belakang dan melihat Harry yang memandangku kesal serta menegang di tempatnya. Damn. Ini semakin menarik.

Mati lah kau, Harry Styles. Kau sudah salah menilaiku.

"Kau mau kita ke hotel mana?" tanya si pria begitu kami masuk ke dalam sebuah taksi.

"Eh? Terserah padamu." Aku tersenyum seraya menoleh ke arah luar jendela. Kemudian kudengar ia menyebutkan sebuah nama tempat yang agak semu di telingaku. Maksudku, aku terlalu sibuk memperhatikan Harry yang tiba-tiba saja keluar dari pub dan menoleh kesana-kemari seolah sedang mencari sesuatu—atau lebih tepatnya seseorang.

Apa yang sedang ia lakukan? Atau jangan-jangan dia mencariku?

"Hey, kau mendengarku?" tuan Brad Pitt memecahkan lamunanku tepat disaat taksi kami melaju pergi.

"Ah? Ya, aku mendengarmu." Ujarku membual.

"Lalu mengapa tidak kau jawab pertanyaanku?"

Aku tergelak singkat, "Ma-maaf, memang kau bertanya apa?"

"Aku bertanya apa kau suka dengan SoHo Hotel? Hey, kau baik-baik saja, kan?"

Aku mengangguk cepat, "Oh, ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit mabuk. Dan ya, aku suka tempat itu."

"Well, kita sedang dijalan, sayang." Ia menyengir lebar sambil melingkarkan tangan kirinya di bahuku sementara tangan kanannya meremas pahaku dengan lembut. Pun aku membalas cengirannya. Tapi aku kembali bertanya-tanya, apa yang sedang Harry lakukan tadi?

Sekitar dua puluh menit perjalanan melewati padatnya kendaraan di jantung kota New York, akhirnya kami pun sampai di tempat.

Pria yang hingga detik ini tidak kuketahui namanya pun turun dari dalam taksi dan membuka kan pintu untukku. Wow. Betapa gentleman dia. Aku pun turun dari dalam taksi dan langsung merasakan hembusan angin malam yang membuat tubuhku bergidik dalam sekejap. Tak lama setelah menunggunya membayar sang sopir, ia pun merangkul pundakku dan menggiringku menuju ke dalam hotel.

"Apa kau merasa kedinginan?" tanyanya sambil menatapku dengan cengiran tipisnya yang murahan. Aku pun hanya bisa tersenyum menanggapinya hingga ia kembali berkata, "Kau tenang saja, manis. Aku akan menghangatkan tubuhmu se—"

Bruk!

Aku terperanjat kaget ketika seseorang memukul wajahnya dengan keras hingga terjatuh ke aspal secara tiba-tiba! Gila! Orang sinting macam apa yang tega melakukan hal seperti ini?! Mulutku pun menganga lebar ketika memperhatikan darah yang muncul dari ujung bibirnya dan ia meringis kesakitan. Astaga...!

"Ya, Tuhan. Sir, kau tidak apa-apa...—"

Tepat disaat aku hendak membantunya berdiri, kurasakan seseorang justru menarik lenganku untuk pergi! Saking kagetnya, aku sendiri bahkan tidak menyadari siapa orang yang memukul pelangganku itu dan justru lebih terfokus untuk menolongnya. Hingga pada akhirnya aku pun memalingkan wajah dan mendapati pria yang menarik lenganku itu adalah Harry—orang yang sama dengan si pelaku yang memukul wajah pelangganku.

Oh, ya Tuhan! Apa lagi maunya sekarang?! Mengapa ia selalu mencari gara-gara denganku?!

"Apa yang kau lakukan?!" pekikku meminta penjelasan darinya.

Tapi yang ada ia justru menyodorkanku sebuah helm. "Pakai ini. Cepat!!" serunya.

Sontak, aku pun terperanjat dan menerima helm pemberiannya dengan sedikit kalang kabut. Ia sudah gila, ya?! Tiba-tiba saja datang memukul orang lalu membawaku pergi secara paksa!

"Cepat naik!" Perintahnya, namun mataku justru bergerak memperhatikan pelangganku yang kini sedang ribut meminta pertolongan pada seorang petugas keamanan. Ia menunjuk-nunjuk ke arah kami dan secara otomatis aku mengenakan helm pemberian Harry. Merasa panik, aku pun bergegas menaiki motornya dan melingkarkan kedua tanganku di tubuh Harry.

Ia melepas kopling di stangnya dan membawaku pergi entah kemana. Namun, yang jelas mulai detik ini aku memiliki perasaan kuat bahwa pria brengsek yang bernama Harry Styles ini akan terus mengusik kehidupanku.

TO BE CONTINUED!

Buku ini telah diterbitkan, untuk yang ingin tahu cerita lengkapnya dapatkan bukunya segera di Gramedia. Buku dibagi menjadi dua bagian: CHANGED dan CHANGED Side B (sequel)

Continue Reading

You'll Also Like

Océanor By Dy

Fanfiction

1.3M 189K 40
Bagaimana jika kau menikah dengan pria yang sulit disentuh meski dia adalah milikmu? • Aku mengalaminya. Aku sedang menjalaninya. Aku menikahi pria y...
3.4K 282 10
"Bukan ini yang aku minta!" Kisah pilu dari seorang laki laki bernama Juna, karena kekhilafan yang dibuatnya, ia harus kehilangan anak, istri dan ked...
5.2M 59.8K 15
(Dave & Clara) watty winner 2016 Part 86-End sudah di hapus karena telah di terbitkan. Terima kasih :) Jatuh cinta itu membuat pikiran dan logika k...
15.9M 121K 14
_Ketika dua orang dengan hati beku dipertemukan takdir_ Mengandung tema AGE GAP. HUGE AGE GAP. Don't like it? Don't read it! Highest rank achieve...