Best Part

By mariaulfa17

1.3M 86.4K 5K

You're the one that I desire. Copyright©2016 #2 in relationship (13/09/16) #6 in relationship (19/06/18) #2... More

Prolog
Part 1 : Introduce
Part 2 : Chat
Part 3 : Canteen
Part 4 : The Same Thing
Part 5 : Cousin
Part 6 : Party
Part 7 : Liar
Part 8 : Mood Booster
Part 9 : Satnight
Part 10 : Accidentally
Part 11 : Little Things
Part 12 : Naufal's Girlfriend?
Part 13 : Another Girl
Part 14 : Break Up
Part 15 : Trying
Part 16 : Give Up
Part 17 : Voice Call
Part 18 : Jealous?
Part 19 : Dinner
Part 20 : Hurt
Part 21 : Drunk
Part 22 : Over Again?
Part 23 : Tell Everything
Part 24 : Just A Friend
Part 25 : Fighting
Part 26 : Something Happen
Part 27 : Problem
Part 28 : With You
Part 29 : The Reason
Part 31 : Give Some Help
Part 32 : Take Care of Her
Part 33 : The Feeling
Part 34 : Back to School
Part 35 : Feel Worried
Part 36 : Realized
Part 37 : Somebody Else
Part 38 : Unexpected
Part 39 : Never Felt Like This
Part 40 : Regret
Part 41 : Changed
Part 42 : Let It Be
Part 43 : Should I?
Epilog

Part 30 : The Other Side

25.8K 1.7K 18
By mariaulfa17

Alhasil, Adella sempat terdiam di tempat dengan sedikit kerutan yang muncul di dahinya. Namun, Adella tak mau ambil pusing atau pun memikirkan perkataan Maudy barusan terlalu larut karena menurutnya itu tidak lah penting. Maka, Adella pun memutuskan untuk kembali berjalan dan menghampiri Naufal yang sudah menunggunya di pos satpam.

Saat gadis itu telah sampai di pos satpam, Naufal segera mematikan rokoknya dan beranjak dari kursi yang berbahan dasar kayu itu. Sebelum menghampiri Adella, ia pamit terlebih dahulu pada Pak Budi. Tak lupa ia juga mengucapkan terima kasih karena Pak Budi telah menemaninya mengobrol.

Naufal menoleh ke arah satpam yang sedang menyeruput kopinya itu. "Pak, Naufal pulang dulu, ya? Soalnya orang yang di tunggu-tunggunya juga udah dateng."

Pak Budi menganggukkan kepalanya. Lalu, ia menatap gadis yang berdiri di sebalah Naufal. "Oh, jadi ini perempuan yang dari tadi diomongin sama kamu?"

"Jangan dibilangin ke orangnya, Pak. Nanti dia geer," balas Naufal diiringi dengan suara tawanya. Ia menyenggol lengan gadis itu pelan. "Cal, kenalan dulu sama Pak Budi."

"Siapa yang geer coba?" Gadis itu memutar bola matanya pada Naufal. Namun, raut wajahnya berubah seketika---menjadi lebih ramah saat berhadapan dengan Pak Budi. Tangan kanannya terulur ke depan bermaksud untuk bersalaman dengan satpam yang sudah sangat akrab dengan Naufal itu. "Adel, Pak."

Pak Budi tersenyum balik ke arah gadis yang baru saja memperkenalkan dirinya itu. Kemudian, ia membalas uluran tangan Adella. "Saya Budi, nak Adel."

Setelah tangan Pak Budi dan Adella terlepas, Naufal kembali berbicara pada satpam yang menurutnya sangat baik hati itu. "Dia cantik kan, Pak?"

"Iya, cantik pisan," jawab Pak Budi dengan logat bahasa sundanya yang cukup kental.
(Pisan itu kalo bahasa indonesia artinya sangat/banget--dalam bahasa gaul)

Naufal mengeluarkan dompet dari saku celananya dan mengambil beberapa lembar uang berwarna merah muda yang kemudian diberikan kepada Pak Budi.

Pak Budi mengernyitkan dahinya karena tak mengerti dengan maksud dari uang yang diberikan oleh laki-laki berumur 17 tahun itu. "Kenapa kamu ngasih ini ke bapak?"

"Itu buat beli obat batuk kan tadi katanya anak bapak lagi sakit," jawab Naufal.

"Gak usah Naufal, mending uangnya kamu tabung daripada dikasihin ke bapak," kata Pak Budi sembari berusaha mengembalikan uang tersebut pada Naufal. Namun, laki-laki itu bersikeras untuk tidak menerima uang yang sudah diberikan pada Pak Budi.

"Udah gak apa-apa, Naufal lagi ada uang. Jadi, gak salah kan kalo pengen bantu Pak Budi?"

Pak Budi menyungginggkan senyumnya dengan tulus seraya berkata, "Makasih Naufal, semoga nanti keganti sama yang lebih besar. Kamu udah terlalu sering bantu bapak."

"Pak Budi gak usah berlebihan gitu, Naufal ikhlas kok bantunya."

"Sekali lagi makasih ya, Nak."

"Iya, Pak. Samasama," jawab Naufal. "Yaudah kalo gitu, kita pulang dulu ya, Pak?"

"Pulang dulu ya, Pak?" Adella melakukan hal yang sama dengan Naufal pada Pak Budi.

Pak Budi mengangguk singkat. "Iya, hati-hati."

Kemudian, keduanya berjalan berdampingan menuju tempat parkir untuk menghampiri kendaraan beroda empat milik laki-laki itu yang sengaja disimpan di sana. Ada sebuah keinginan besar dalam diri Naufal untuk menggenggam lengan kecil milik gadis itu. Namun, ia berusaha untuk mengendalikan keinginannya tersebut karena Adella tidak seperti gadis lain yang akan dengan senang hati jika Naufal melakukan itu.

Saat keduanya telah berada di dalam mobil, laki-laki itu sengaja menyalakan radionya agar suasana tidak terlalu hening. Sebelum melajukan mobilnya, Naufal sempat bertanya pada gadis yang duduk di jok penumpang itu.

"Kalo kita makan dulu, mau nggak?"

Yang ditanya langsung menoleh ke arah Naufal. "Boleh, emang mau makan apa?"

"Lo lagi mau makan apa?"

"Kok gue?"

"Kalo gue kan pemakan segala, jadi apa aja juga gak masalah," ucap laki-laki sambil terkekeh pelan.

Gadis itu ikut tertawa mendengar penuturan Naufal barusan. Lalu, ia terdiam sesaat memikirkan makanan apa yang sedang diinginkannya. "Bakso gimana, Fal? Soalnya gue lagi pengen yang pedes gitu, sih."

"Tipikal cewe selalu pengen makanan yang pedes, apa enaknya coba?" Naufal berdecak pelan, lalu ia berkata lagi, "Gue punya rekomendasi tempat makan baso...eh lebih kaya cuanki gitu sih. Lo mau, gak? Tapi tempatnya bukan kaya restoran gitu."

"Makanan pedes itu enak, Fal. Gue sih gak masalah kalo makanannya enak."

"Tapi, kayaknya jangan kesitu deh."

"Kenapa?"

"Tempatnya kecil, jualannya aja masih pake gerobak. Gue takut lo gak mau atau gimana, jadi mending kita pilih tempat lain aja."

"Apaan sih, Fal. Udah gue bilang kan gak apa-apa," sergah gadis itu.

"Serius?" tanya Naufal sekali lagi berusaha untuk meyakinkan jika gadia itu benar-benar ingin ke sana.

Adella mengangguk cepat. "Udah gak usah banyak tanya, cepetan jalanin mobilnya sebelum gue turun nih."

"Eh, jangan dong. Iya-iya, ini udah mau dijalanin kok mobilnya."

Naufal pun segera menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya menuju tempat makan bakso yang terletak di Jalan Serayu atau lebih tepatnya daerah Riau.

**

Kebetulan tempat yang direkomendasikan oleh Naufal itu sedang tidak terlalu ramai. Biasanya jika sedang ramai, antreannya bisa sangat panjang terutama di jam-jam makan siang. Bahkan, bukan karyawan saja yang meramaikan tempat ini di jam makan siang, mahasiswa pun sepertinya tak mau kalah---mungkin karena harganya terjangkau dengan sajian yang tidak mengecewakan.

"Biar gue aja yang pesen, lo cari tempat duduk aja," perintah Naufal yang dibalas anggukan oleh gadis itu.

Begitu Naufal pergi dari hadapannya untuk memesan 2 porsi bakso cuanki, Adella mengikuti perintah dari laki-laki itu yang menyuruhnya untuk mencari tempat duduk. Pandangannya menyapu seluruh sudut untuk mencari posisi yang paling nyaman dan pilihannya terjatuh pada salah satu tempat duduk yang berada di luar ruangan.

Sambil menunggu Naufal datang, gadis itu memainkan ponselnya sekedar untuk membuka social media. Tak lama, Naufal datang dengan membawa nampan yang berisikan 2 mangkuk bakso cuanki untuk dirinya dan gadis itu. Adella pun secara reflek menggeser barang-barang yang ada di meja seakan memberi ruang pada 2 mangkuk berisi bakso cuanki tersebut.

Gadis itu langsung saja memasukkan beberapa sendok sambal pada bakso cuankinya. Saat akan memasukkan sesendok sambal untuk yang kelima kalinya, tiba-tiba Naufal menahan lengan Adella. Hal itu membuat Adella menoleh ke arahnya seakan meminta penjelasan dengan hanya menggunakan gerak tubuh.

"Jangan terlalu banyak makan pedes, Cal," ucap Naufal.

"Gue udah biasa kok, jadi gak apa-apa."

"Tetep aja kalo berlebihan itu gak baik buat lambung lo, Cal," ucap Naufal lagi berusaha mengingatkan gadis yang duduk di sampingnya itu. "Udah ya, jangan ditambahin lagi. Kalo lo sakit, kan gue yang sedih."

Gadis itu menautkan sebelah alisnya saat mendengar kalimat terakhir yang terucap dari mulut Naufal. "Kenapa harus lo yang sedih?"

"Karena gue gak mau liat orang yang gue sayang itu sakit."

Adella hanya mengangguk pasrah dan tidak menambahkan sambalnya lagi karena ia sedang malas berdebat dengan Naufal. Lalu, keduanya tak lagi mengeluarkan suara apa pun karena sedang menyantap bakso cuanki masing-masing yang tadi dipesankan oleh Naufal.

Namun beberapa menit dari itu, tiba-tiba saja Adella teringat akan ucapan Maudy saat dirinya berpapasan dengan gadis itu di koridor sekolah. Selagi Adella sedang bersama orang yang bersangkutan, maka ia pun bermaksud untuk menanyakannya.

"Naufal, gue mau nanya deh," ujar Adella yang membuat laki-laki itu berpaling dari makanan yang sedang dilahapnya untuk menatap ke arah Adella.

"Tanya aja."

"Maudy itu siapa lo?"

"Kenapa nanya gitu?"

"Ya aneh aja, soalnya tadi di koridor, gue ketemu sama Maudy. Terus dia tiba-tiba ngomong ke gue gini 'lo beruntung banget karena cuma lo yang berhasil naklukkin hati Naufal'. Maksud dia ngomong gitu apa coba?"

Naufal mengedikkan bahunya seakan ia pun tak mengerti dengan maksud dari ucapan mantan kekasihnya itu. "Dia mantan gue, mungkin dia sirik sama lo."

"Tapi, dia tau dari mana coba masalah ini? Kan lo baru ngomong sama gue doang."

"Gue yang ngomong sama dia."

"Kenapa?"

"Karena dia pengen balikan sama gue dan gue bilang aja 'kalo gue lagi sukanya sama lo'." Naufal melahap dulu bakso cuankinya sebelum kembali berbicara. "Dia bilang 'gak apa-apa jadi pacar kedua juga'. Terus gue jawab aja 'kalo sekarang gue udah gak mau nyakitin perasaan cewe lagi'."

"Kasian tau Maudy, Fal," kata Adella. Lalu, ia menyeruput minuman teh di dalam kemasan botol yang memang sengaja diletakkan di meja tersebut agar tidak perlu repot-repot memesan minuman.

"Ya, abis gimana emang kenyataannya perasaan gue udah jadi milik orang lain. Gue cuma berusaha jujur aja."

"Iya juga, sih," balas gadis itu seakan berubah pikiran dan mendadak setuju dengan Naufal. "Berarti bener kata orang, jujur itu menyakitkan."

"Ya, emang. Kaya lo waktu bilang cuma nganggap gue temen itu juga menyakitkan, Cal. Tapi, gue berusaha untuk baik-baik aja karena itu hak lo dan gue menghargai keputusan lo walau teramat menyakitkan," ujar Naufal sambil tertawa cekikikan.

Adella terkekeh pelan terutama saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh laki-laki itu. "Maaf, Fal. Gue pikir playboy kaya lo gak akan sakit hati diomongin gitu doang."

Naufal kembali menyantap bakso cuankinya dengan lahap karena sedari tadi perutnya memang sudah minta diisi. Setelah bakso cuanki tersebut telah berhasil dikunyah oleh mulutnya, ia berkata, "Mungkin itu semacam karma buat gue. Biasanya gue yang ngomong gitu ke cewe, tapi kali ini gue yang digituin. Dari situ, gue jadi tau apa yang mereka rasain kalo gue gituin. Makanya, pas Maudy ngajak balikan tadi, gue berusaha untuk nolaknya secara halus sampe gue bilang minta maaf. Padahal biasanya, kalo gue gak suka ya tinggal tolak aja, gak ada cara halus atau minta maaf segala."

"People changes, right?"

"Itu semua juga karena lo, karena lo...gue berubah."

Adella menggelengkan kepalanya. "Bukan, tapi karena kemauan dari diri lo sendiri. Mungkin di sini gue hanya sebagai perantara yang bikin lo jadi berubah. Karena setiap orang itu gak mungkin bisa berubah kalo belum ada kemauan dari dirinya sendiri."

Naufal tak menyangka gadis yang masih berumur sama dengannya dapat berpikir sedewasa itu membuat rasa kagum padanya semakin bertambah menjadi lebih besar lagi. Memang bukan hanya Adella yang dapat berpikir sedewasa itu di usia muda. Namun karena ia sedang jatuh cinta pada gadis itu, hingga hal apa pun yang dilakukannya akan terlihat bagus di mata Naufal.

"Iya, juga sih."

Adella mengangguk, lalu ia mengalihkan pembicaraan agar topiknya berganti dan tidak lagi membicarakan masalah yang begitu sensitif bagi dirinya saat ini---yaitu masalah perasaan. "Oh iya, lo tau tempat ini dari mana?"

"Kalo gak salah dari Ryan," jawab laki-laki itu. "Eh tapi bener deh, emang dari Ryan. Kenapa emang?"

"Nggak, gue bakal rekomendasiin tempat ini ke temen-temen gue karena bakso cuankinya enak banget!"

"Jadi, lo suka gue bawa ke sini?"

"Suka banget, gue malah pengen beli lagi buat dibungkus ke rumah," balas gadis itu disertai tawanya. Setelah tawanya reda, ia bertanya pada Naufal, "Tapi, kok lo gak gengsi makan di tempat ginian? Biasanya kan anak komunitas mainannya yang sekelas restoran."

Sebelum membalas ucapan gadis itu, Naufal mendorong mangkuknya yang sudah kosong itu ke samping kanan dan memindahkan minuman---yang berisi teh dalam kemasan botol itu untuk lebih dekat dengannya agar dapat dengan mudah saat ia akan menyeruputnya. "Kenapa harus gengsi? Gue bukan orang yang kaya gitu. Gue sih orangnya fleksibel, mau diajak makan ke restoran atau pinggir jalan sekali pun gak masalah," jelas Naufal.

"Kalo masalah temenan lo fleksibel juga, gak? Biasanya, anak komunitas kan suka sedikit pilih-pilih. Tapi biasanya ya Fal, itu berarti gak semua atau gak selalu kaya gitu. Dan maaf banget, kalo pendapat gue ini salah."

"Gak apa-apa, gue ngerti kalo setiap orang pasti punya pendapatnya masing-masing. Iya lah, walaupun gue udah masuk komunitas FNE, tapi gue berusaha untuk tetep deket sama yang lainnya juga supaya siapa pun itu gak akan segan kalo mau temenan sama gue."

Adella terus menerus menatap laki-laki yang berada di hadapannya itu seakan tak mau mengalihkan pandangannya sedikitpun. Ia merasa tertarik dengan arah pembicaraan Naufal karena bisa dijadikan sebagai bahan penilaian untuk mengetahui karakteristik sifat Naufal yang asli dari caranya berbicara.

"Tapi, ada gak anak komunitas FNE yang suka ngebeda-bedain gitu? Maksud gue, ya tiap orang kan pasti beda, jadi kalo lo gak suka beda-bedain, pasti ada orang yang justru berbanding terbalik sama lo."

"Ada lah, cuma gue gak akan kasih tau siapa namanya karena gue gak mau kesannya ngejelek-jelekkin. Gimana pun juga, orang itu masih temen gue. Dan gue gak berhak buat ngejudge karena gue gak bisa maksa orang lain jadi kaya apa yang gue mau." Laki-laki itu kemudian menyeruput minumannya yang sudah setengah hingga tak tersisa lagi. "Gue cuma dituntut untuk bisa menghargai atau paling nggak sebatas ngasih tau aja. Selebihnya, dia mau berubah atau nggak, itu udah bukan lagi urusan gue."

"Gue gak nyangka kalo yang tadi ngomong itu Naufal Baskara." Raut wajah gadis itu sangat kentara menunjukkan keterkejutannya setelah mendengar semua penuturan Naufal.

"Gue cuma menyimpulkan dari pengalaman gue aja sih." Naufal tak bisa menahan tawanya saat melihat raut wajah Adella yang sepertinya sangat terkejut dengan perkataannya barusan. "Dan gue ngomong gini gak ada maksud biar bikin diri gue terkesan baik di mata lo kok, Cal. Karena kenyataannya gue masih jauh dari kata baik, apalagi buat bisa disebut baik."

Gadis itu tersenyum, lalu ia mengangguk pelan. Dan ia baru menyadari satu hal bahwa hari ini Naufal banyak memperlihatkan sisi lain---sisi yang belum tentu semua orang dapat mengetahuinya pada Adella. Ternyata benar kata-kata dari sebuah kutipan yang pernah dibacanya waktu itu, jika seburuk-buruknya orang pasti akan memiliki sisi baik dan begitupun sebaliknya.

**

Continue Reading

You'll Also Like

ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

1.8M 96.8K 55
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
1.5K 107 5
Hidup dengan dua pria tampan membuat Ana membenci takdir hidupnya... tidak, bukan berarti Ana membenci Papa dan adik kembarnya yang memiliki paras ta...
414 77 36
(vote dari kalian buat aku semangat menulis) Kenyataannya, dia berbohong. Tapi aku tahu itu bukan salahnya. Karena nyatanya, aku hanyalah salah satu...
2.1M 117K 53
Part Masih Lengkap. "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan deng...