Haloo gais, maaf ya aku tinggal kelamaan hehehe selamat membaca!
Sesuai ekspektasi, Sejeong dan Sean yang kini sudah berada di satu kamar hotel yang sama tampak begitu canggung. Sean yang terlihat menyibukkan diri dengan ponselnya duduk di sebuah meja kerja yang berada tak jauh dari kasur. Entah apa yang sedari tadi begitu menarik matanya sehingga ia tak jua melepaskan tatap dari layar ponselnya meski kini mereka sudah nyaris lima menit masuk ke ruangan tersebut.
Hal tak jauh berbeda juga dilakukan Seje. Gadis itu malah lebih parah. Ia terlihat begitu gugup karena sedari tadi beberapa kali terlihat duduk di atas kasur lalu berdiri menghadap dinding kaca yang mempertontonkan pemandangan city light, berulang kali, duduk berdiri lalu duduk lagi dan kembali berdiri lagi. Persis orang linglung.
Sampai akhirnya gadis yang terlihat tak tenang itu pun berinisiatif untuk buka suara terlebih dahulu. Agaknya ia justru semakin gerah jika Sean hanya diam di belakangnya.
"Pemandangannya bagus," katanya sangat amat basa-basi.
Sean yang mendengarnya lantas mendongakkan kepala dari ponselnya. Mengikuti apa yang diucapkan isterinya itu, Sean pun melempar pandang sejenak ke dinding full kaca di balik tubuh Seje yang membalikkan tubuh menghadapnya itu, lalu kembali menatap pada Seje.
"Hm..." Sean mengangguk sepakat.
"Cantik kan?" Seje kembali bertanya, memastikan sekaligus basa-basi lagi.
"Apanya?" Tapi Sean justru berbalik tanya.
"Ya pemandangannya lah."
"Oh kirain elo."
"..."
"Ya tapi mau pemandangannya, mau elonya, dua-duanya sama-sama cantik,"
Oke, Seje dapat merasakan kedua puncak pipinya kini mendadak memanas.
"Dih, apaan sih."
Mendengar respon Seje yang sangat sarat salting tersebut, terang saja Sean tersenyum puas.
"Salting kan lo," goda laki-laki itu seraya bangkit dari posisinya lalu berjalan pelan mendekati posisi Seje. Sementara gadis yang didekati itu cuma bisa berupaya menyembunyikan kedua pipinya yang ia yakini sudah semerah tomat. Jelas saja, ia enggan Sean menangkap basah tampang tersipunya itu.
"Coba mana sini gue lihat mukanya dulu," kata Sean tiba-tiba. Spontan membuat Seje memutar kepalanya ke arah dinding kaca. Menjauhi wajah Sean yang kini semakin mendekat padanya.
"Lo ngapain sih?" ketus Seje pelan.
"Loh loh, kenapa? Gue mau lihat muka isteri gue sendiri masa gak boleh?"
"Sean sumpah ini gak lucu."
"Ya memang gue lagi gak ngelucu Seje sayang. Gue cuma mau lihat, lo beneran salting apa enggak?"
"Gue gak salting ya!"
"Nah kalo gitu coba mana, sini tunjukin mukanya kalau memang gak salting."
"Gamau."
"Nah, salting kan lo."
"Ihhh enggak ya!"
"Mana buktinya?" Sean masih terus berupaya mengejar wajah Seje yang sedari tadi mengelak darinya itu. Seje berupaya sebisa mungkin untuk menutupi wajahnya dengan helai-helai rambutnya sembari terus berputar-putar menjauhi kejaran wajah Sean yang tak henti-hnti mendekatinya.
Jika dilihat, dua orang itu persis bocah yang sedang main kejar-kejaran. Bedanya, nuansa kamar hotel maha mewah yang diterangi lampu temaram bernuansa warm dengan latar view gemerlap ibu kota di malam hari itu membuat ambiance yang terbangun di antara keduanya mendadak jadi syahdu plus romantis. Ah entahlah, mungkin hanya penonton yang menganggap demikian. Dua anak manusia yang merupakan sepasang suami isteri itu justru terus asyik berkejar-kejaran sampai akhirnya bunyi bel dari depan kamar mereka membuat keduanya serempak berhenti.
Teng nong!
"Iya, sebentar!" Seje buru-buru melewati tubuh Sean yang sudah nyaris mengkungkungnya itu tanpa basa-basi, lalu berjalan ke pintu depan. Tak butuh waktu lama bagi perempuan itu untuk membuka pintu dan menemukan seorang pelayan laki-laki bertubuh tinggi tegap sudah berdiri di hadapannya dengan senyum ramah sarat kapitalistik.
Sebelah tangan laki-laki itu memegang sebuah nampan berisi satu botol wine dan sepotong amplop surat berwarna merah maroon yang tampak begitu mewah.
"Eh mas, kayanya kita gak pesen wine deh." Sean yang tahu-tahu sudah nongol dari balik tubuh Seje itu main langsung menyapa sang pelayan dengan satu statement tegas perihal bawaan sang pelayan. Well, mereka memang tak memesan apapun setibanya mereka di kamar hotel tersebut.
"Ah tidak pak. Ini memang bukan pesanan bapak maupun ibu, tetapi saya membawakan ini sebagai hadiah dari Mr. Jo." Begitu jawaban sang pelayan yang sontak membuat Seje maupun Sean saling bertukar pandang.
"Oh begitu," Sean melangkah satu langkah mendekat pada si pelayan lalu menerima pemberian itu dengan senang hati.
"Pesan Mr. Jo untuk bapak dan juga ibu, jika ada hal apapun yang dibutuhkan bisa langsung menghubungi kami."
"Baik, terima kasih."
"Sama-sama, Pak. Baik, apa masih ada hal lain yang mungkin bisa saya bantu?"
Sean tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya ia menggeleng pelan.
"Ah baik kalau begi—"
Belum selesai si pelayan bicara, mendadak Sean sudah berujar lagi.
"Ah iya! boleh minta satu hal gak?" tanya laki-laki itu tiba-tiba.
"Silahkan pak."
"Boleh gak kalau setelah ini kamu manggil kita dengan sebutan Mas dan Mbak aja alih-alih bapak dan ibu? Saya rasa kami masih cukup muda untuk dipanggil Mas dan Mbak hehe," ucap Sean seraya terkekeh pelan di ujung kalimatnya.
"Ah baik pak, maaf. Saya tadinya diminta khusus oleh Mr. Jo untuk memanggil bapak—ng, maksud saya mas dan mbaknya dengan sebutan itu." Si lelaki berkulit sawo matang itu tampak sedikit merasa bersalah. Melihatnya, Sean cuma bisa menghela napas.
"Oh gapapa gapapa, bos kamu itu memang masih bocah, harap maklum ya."
Sean cuma tersenyum diplomatis sebelum akhirnya ia melambaikan tangannya ramah pada si pelayan lalu menutup pintu kamar dengan pelan.
"Ahhh, Jo bangsat. Masih aja suka ngelakuin hal yang gak penting," Sean langsung ngomel-ngomel sambil berjalan ke arah ruang tengah kamar hotel dengan dua tangannya yang membawa nampan. Seje yang mengikutinya kini sudah mengambil posisi duduk di seberang Sean yang juga baru saja duduk di kursi meja makan.
Melihat raut sebal sekaligus senang yang tersirat dari wajah Sean, Seje ikut tersenyum simpul. Agaknya kejutan kecil yang mereka terima dari Jo ini cukup untuk membuat satu senyumnya mengembang.
"Kak Jo itu memang sweet banget ya," komentar Seje yang langsung ditanggapi Sean dengan satu sorot mata sedikit sinis.
"Kenapa lo mendadak muji dia?" tanya laki-laki itu sewot.
"Loh? emangnya gak boleh?"
"Iya, gak boleh."
"Lah? gue cuma bicara kenyataan. Kak Jo just did something sweet and—"
"Pokoknya gak boleh."
"Dih dih, cemburu ya lo!" Seje sudah tergelak puas berpadu geli, bermaksud sekedar menggoda Sean yang tanpa disangka-sangka justru mengiyakan tuduhannya tersebut dengan tampang serius.
"Iya."
Seje mendadak diam.
"Iya gue cemburu," kata Sean sekali lagi dengan intonasi rendah sembari menatap sepasang mata Seje di hadapannya lamat-lamat.
Ditatap dalam durasi yang cukup lama dan sorot mata yang begitu dalam, terang saja Seje yang tadinya sempat hanyut, buru-buru mengalihkan tatapnya ke arah lain sembari mengatur degub jantungnya yang mulai terasa tak karuan.
Sementara itu, Sean yang di sisi lain masih tampak serius dengan ucapan dan perasaannya itu lantas menarik sebelah tangan Seje yang terletak di atas meja makan tepat di hadapannya itu lalu menggenggamnya erat.
"Gue sayang sama lo..." kata laki itu tiba-tiba. Dan entah mengapa, kalimat yang sudah beberapa kali didengar oleh Seje akhir-akhir ini itu masih saja memiliki kekuatan untuk membuat bunga-bunga di perutnya bermekaran.
Akibat salah tingkah, akhirnya Seje cuma bisa membiarkan sebelah tangannya digenggam oleh sang suami sembari satu tangannya lagi bergerak gugup membuka botol wine di hadapannya. Jelas saja, usahanya tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Membuka sebotol wine dengan sebelah tangan bukan merupakan usaha yang mudah. Alhasil, dikarenakan kegugupannya juga, Seje justru nyaris menjatuhkan botol berukuran cukup besar tersebut. Untung Sean cekatan menahan botol yang oleng tersebut dan mengembalikannya ke posisi semula.
"Hampir aja!" seru Sean rada panic. Jujur saja, jika botol itu jatuh ke lantai dan pecah, bukan tak mungkin pecahan kacanya akan mengenai kaki Seje yang notabene berada di posisi yang begitu dekat dengan botol yang dipegangnya tersebut.
Seje yang sama terkejutnya itu cuma bisa menghela napas pelan.
"Sorry," katanya pelan.
"Enggak, gapapa kok."
"..."
"Cuma gue harap lo bisa lebih hati-hati. Gimana kalau nanti pecahan kacanya kena kaki lo?"
"Iya, tapi syukurnya enggak kan."
"Iya syukurnya begitu."
"..." Seje diam. Sementara itu Sean yang sempat melepas genggamannya dari tangan Seje karena buru-buru menangkap botol yang oleng tadi, kini kembali menggerakkan sebelah tangannya, menjemput jemari Seje.
"Je... boleh gue minta sesuatu sama lo?" tanya laki-laki itu tiba-tiba.
Ditanyai demikian dengan sorot mata Sean yang sekelam pualam dan sedalam palung lautan itu terang saja membuat Seje jadi deg-degan sendiri. Bukan apa, ia merasa atmosfer yang terbangun di antara mereka kini sedikit...
"Je?"
"Ng, i-iya? lo mau minta apa?"
"Boleh gak kalau gue minta mulai sekarang komunikasi kita pakai 'aku-kamu' alih-alih 'lo-gue'?"
Mendengar satu pinta yang sama sekali tak pernah Seje ekspektasikan tersebut sekelibat membuat Seje mengangkat kedua alisnya, agak terkejut.
"Kenapa? permintaan gue aneh ya?" Sean bertanya dengan tampang tak enak. Jujur saja, sudah dari lama laki-laki itu menginginkan apa yang baru saja dipintanya tersebut. Menurutnya, tak ada yang salah dengan gaya komunikasi mereka selama ini, hanya saja, ia ingin sedikit lebih merasa kedekatan yang intimate dengan memanggil Seje sebagai 'kamu', alih-alih 'lo'.
"Enggak kok... permintaan lo justru bukan sesuatu yang seharusnya lo minta dengan seserius ini."
"..."
"Maksud gue, seharusnya lo tinggal bilang aja sama gue. Gak perlu serius minta kaya gini."
Mendengarnya, satu senyum kecil di wajah Sean muncul.
"Jadi, beneran ya gue—ah maksudnya... aku... kita pakai 'aku-kamu'?"
Seje mengangguk pelan seraya tersenyum yang sedetik kemudian langsung disambut dengan satu senyum sumringah dari Sean di hadapannya. Melihat senyum itu, lagi-lagi Seje dibuat terbang melayang. Entahlah, senyum Sean senantiasa berhasil membuat Seje merasa senang.
"Oke kalau begitu, aku mau dengar dong. Coba kamu bilang 'aku sayang kamu'?" Tiba-tiba saja, entah dari mana, Sean kepikiran untuk melayangkan satu pinta lainnya. Pinta yang sebenarnya sederhana tapi bagi Seje yang maha gengsi itu, mungkin bukan suatu hal yang mudah.
"Apa sih Sean? mesti banget gue bilang gitu?"
"Lah loh? kok masih pake 'gue'?"
"Ya maksudnya, 'aku' :') "
"Terus apa lagi?"
"Apanya?"
"Ya kamu, terus mau bilang apa? 'aku' kenapa?"
"Ya gapapa."
"Ya kamu bilang 'aku sayang kamu' gitu loh, apa susahnya sih Senarai Jelita sayangku—"
"Oke-oke cukup." Seje terlihat menarik napas dalam-dalam. "Aku sayang kamu," katanya pelan.
"..."
"Puas?"
Senyum lebar Sean terkembang lagi. Dua puncak pipinya tampak memerah. Terlihat begitu lucu di pandangan Seje sekarang.
"Hehe, kalau kamu tanya puas atau enggak, ya belom sih." Sean berujar nakal.
"Apa sih Sean?!"
"Ya kan kalau aku minta yang lain lagi boleh?"
Melihat ekspresi nakal Sean, Seje seolah mengerti ke arah mana pembicaraan ini akan berlabuh.
"Sean gak usah aneh-aneh—"
"Aneh apanya sih sayaaaang?"
"Sean!"
"Aku mau minta ci—"
Belum selesai suaminya itu berujar, secara tiba-tiba Seje bangkit dari tempat duduknya dan berjalan buru-buru ke arah meja bar yang berada tidak jauh di belakang tempat duduknya tadi.
Sean yang melihatnya, cuma bisa melengos pelan.
Sementara itu, Seje yang sudah sampai di meja bar memutar otaknya dengan cepat. Mencari-cari hal apa yang bisa digunakannya sebagai alasan untuk bangkit dari posisinya dank ini berada di meja bar tersebut.
"Ah iya, kita mau coba winenya kan? Bentar ya, aku ambilin gelas—"
Tubuh Seje secara tiba-tiba tersentak kecil kala dirasakannya pinggang rampingnya telah dipeluk oleh dua lengan kekar milik Sean. Entah sejak kapan, suaminya itu sudah berada tepat di belakang punggungnya dank ini memeluki pinggangnya.
Akibat terlalu terkejut, sebelah tangan Seje yang tadinya baru saja mengambil gelas seloki kecil, tanpa sengaja menjatuhkannya dan membuat benda berbahan kaca itu langsung pecah kala menyentuh lantai.
Prang!!
Seje yang lagi-lagi terkejut itu reflex melompat ke depan dan tanpa diduga, sebelah kakinya justru menginjak pecahan kaca yang berserakan di lantai.
"Awh!"
"Je!!" Sean yang panik dan tadinya tidak sempat menahan tubuh Seje untuk tetap berada dalam rengkuhannya itu lantas buru-buru mengangkat tubuh isterinya masuk ke dalam gendongannya. Ia membawa tubuh Seje dalam satu gendongan bridal dan berjalan perlahan menuju tempat tidur.
Seje yang menahan sakit sekaligus memendam sedikit rasa bersalah itu cuma bisa menggigit bibirnya pelan. Ia tidak akan berkomentar apa-apa lagi, terlebih setelah dilihatnya kilat cemas dari sepasang mata Sean yang membuat wajah serius laki-laki itu kini terlihat sedikit menyeramkan.
"Halo, bisa saya minta tolong dikirimkan tenaga kebersihan ke kamar saya?"
Seje yang sudah didudukkan di atas tempat tidur itu cuma bisa memandang lurus pada Sean yang sudah membungkuk setengah di sebelahnya sembari memegang gagang telepon di depan telinga kanan laki-laki itu.
"Ya, ada sedikit insiden barusan. Saya memecahkan gelas seloki."
Sean masih bicara serius dengan seseorang yang Seje tebak sebagai resepsionis itu.
"Baik, saya tunggu. Terima kasih." Sean kini terlihat menutup teleponnya lalu tanpa mengatakan apapun pada Seje, laki-laki itu kini sudah mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Ia seperti sedang mencari-cari satu nomor yang benar saja, tak berapa lama kemudian, ia menghubungi nomor tersebut. Terlihat dari gesturnya yang sudah meletakkan benda pipih miliknya tersebut menempal ke depan telinganya.
"Halo dok, bisa tolong datang ke Hotel XXX sekarang? saya butuh bantuan anda."
Mendengarnya, seketika dahi Seje berkerut dalam. Spontan sebelah tangan perempuan itu menjemput lengan Sean yang ada di dekatnya. Berhasil membuat si pemilik tangan yang tengah berbincang serius di ponselnya itu melirik ke arah Seje. Melayangkan tatap penuh tanya yang langsung direspon Seje dengan satu gestur yang seolah-olah mengatakan, "buat apa telepon dokter?"
Sean yang mengerti gestur itu bukannya menjawab, tetapi justru membalas genggaman tangan Seje dan meneruskan perbincangan teleponnya.
Tiga puluh detik berikutnya, ia mengakhiri panggilan tersebut lalu tepat setelahnya, Seje langsung memberondonginya dengan beragam pertanyaan.
"Sean, kamu telepon dokter buat apa?"
"Buat kamu."
"Sean, kaki aku gapapa kok. Cuma luka dikit aja."
"Kamu gak lihat kaki kamu berdarah kaya gini?" Sean yang kini sudah duduk membungkuk di hadapan Seje yang duduk di tempat tidur itu terlihat menarik pelan sebelah kaki Seje yang terluka. Kentara sekali, rona penyesalan yang semakin dalam terpatri di wajah laki-laki tampan itu kala sepasang matanya menyisiri luka cukup dalam di telapak kaki isterinya tersebut.
"Tapi, kita bisa beli obat di dekat sini atau minta layanan kamar buat nyediain obat, Sean. Aku rasa panggil dokter buat kemari sedikit—"
"Je... aku tahu ini mungkin terkesan sedikit berlebihan buat kamu tapi... boleh ya kali ini biarin aku nanganin ini. Kita gak tahu gimana luka kamu persisnya. Ini bahkan darahnya udah banyak banget keluar. Sebentar..." Sean kini sudah bangkit dari posisinya untuk mengambil sekotak tisu di nakas lalu kembali berjongkok di hadapan Seje.
"Bilang ya kalo sakit," kata laki-laki itu lagi sembari kini menyeka darah di sekitaran kaki Seje.
Sementara itu, Seje cuma bisa membiarkannya sembari sesekali mengerang pelan.
Jujur saja, luka di kakinya tidak lagi terasa sakit kini karena entah bagaimana perlakuan Sean padanya berhasil membuat hatinya menghangat. Itu semacam obat yang berhasil menyembuhkan kesakitan apapun di tubuhnya.
****
-To be Continued-
Halooooo, maaf ya aku tinggalin kelamaan kayanya hehe semoga kalian bisa memaklumi huhuhu lumayan hectic banget kehidupan real life yang terfana iniii.
Btw terima kasih buat kalian yang sudah setia menunggui cerita ini bahkan sampai komen dan ngedm aku hehe. I really-really apreciated it!
Well, selamat menikmati momen-momen uwu pasutri ini yaa hehe semoga tidak bosan!
Sekali lagi, terima kasih!
-putri-