Seokjin mengerang terbangun dari sofanya.
Ia mengerjap dan meregangkan tubuhnya yang kaku, berjalan lunglai membawa selimut juga bantalnya kembali ke kamar.
Malam itu ia memilih untuk duduk mengenang sang pria di layar televisinya hingga tertidur.
Bergegas membereskan barang-barang peninggalan Ken kembali ke dalam box, Seokjin segera berangkat menuju tempat kerjanya.
Beberapa pesan di ponselnya pun tak sempat ia tengok.
"Ya ampun Seokjin!" Moonbyul membulatkan kedua matanya.
"Berapa puluh jam kau menangis?"
Ia tertawa menatap Seokjin dengan kedua mata sembab dan bibir mengerucut juga dahinya yang berkerut.
"Bagaimana ini Moonbyuuuulll...." Ia mengerang menepuk-nepuk pipi bulatnya.
Wanita itu terbahak lalu merangkul lengannya. "Sebentar ya...aku ambil tas makeupku"
"Seokjin....." Ia berbalik saat akan berjalan ke meja kerjanya.
"Berhentilah menyakiti dirimu sendiri...."
"Kau punya Namjoon sekarang"
DEG
"Namjoon....." Ia tertunduk.
"Namjoon yang telah bersedia menjadi pelarianku"
"Namjoon yang bersedia berubah demi aku..."
"Namjoon yang selalu ada saat aku membutuhkannya"
"Namjoon....."
Seokjin terburu-buru merogoh tasnya, mencari ponsel yang tak ia sentuh sejak terakhir mereka berbicara kemarin malam.
"Hmm?"
Ia memiringkan kepalanya bingung.
Tak satupun pesan-pesan itu berasal dari sang pria.
"Oh.....Moonbyul....." Ia kembali mengerang pelan.
"Sepertinya Namjoon marah....."
"Seokjin......" Ia meraih kedua tangan yang menutupi wajahnya.
"Please....lupakan Ken...."
"Mungkin sekarang Namjoon menyangka kau benar-benar sakit dan memberimu waktu istirahat..."
"Mungkin ia sangat merindukanmu, tapi kau malah menjauhinya"
"Kumohon, Seokjin...."
"Jangan membuatnya sakit hati seperti yang kau rasakan terhadap Ken dan Eunji..."
Kalimat terakhir itu memukul hatinya keras. Ia kembali menutup wajahnya sambil mengerang pelan.
"Ini...kompres matamu dengan ini okay..."
"Lalu hubungi dia...." Moonbyul menyerahkan sebuah kantung kompres dingin kemudian tersenyum dan pergi ke meja kerjanya.
"Dia tidak menjawab..."
"Namjoon.....angkat teleponnya"
Berkali-kali nomor itu dihubungi namun tak juga diangkat.
'Namjoon?'
'Kau dimana?'
'Maaf aku tidak mengabari jika aku sudah kembali bekerja'
Pesan itu terkirim. Seokjin meletakkan kotak bekalnya di samping dan menunggu balasan.
Siang itu Seokjin harus ditemani oleh angin dan tetes hujan di lantai teratas kantornya.
Tempat biasa mereka menghabiskan jam istirahat untuk makan siang.
Sekarang tempat itu terasa sangat luas.
Hening yang biasa ia nikmati pun tak lagi membuatnya tenang.
Sepi.
'Namjoon?'
'Apakah kau marah?'
'Namjoonie?'
Pesan berselang beberapa jam itu tetap tak terbalas.
'Namjoonie...'
'Aku tidur duluan ya...'
'Sampai bertemu besok'
'Aku kangen Namjoonie....'
'Good night'
Benda kotak itu diletakkan di sampingnya, seandainya sang kekasih yang tiba-tiba menghilang itu membalas.
Matanya melirik pelan ke atas meja. Box itu masih terbuka dengan foto mereka di tumpukan teratas.
Seokjin bangun dan menutup kotak putih itu lalu kembali ke atas tempat tidurnya.
Tak lama ia pun tertidur.
"......Jin...."
"Seokjin....."
"Ken?"
Ia mengerjapkan mata dan menoleh ke sekitar.
Sepi, tak seorang pun berada di dalam kamarnya.
"Ken....aku bermimpi...." Kedua mata itu kembali tertutup.
Namjoon meremas ponselnya sekuat tenaga.
Menopang kepala dengan kedua lengannya di sisi bawah tempat tidur sang pria yang baru saja menggumamkan nama itu.
Nama yang ia kira sudah menjadi masa lalu.
Nama yang tak lagi Seokjin sebut walaupun tak sadar.
"Kukira kau benar-benar merindukan aku Seokjin..." Hatinya perih.
Ia pun pergi meninggalkan rumah itu.