Hargai tulisan ini dengan vote dan komen
🌸Terima kasih🌸
"Ibu kenapa tiap ke Samarinda aku terus yang nemenin?"
"Masa ayah kamu? ayah kamu aja dinas lagi di luar. Tapi ibu udah maksa bulan depan ayah harus bareng ibu ke Samarinda." Rasya mengangkat kedua bahunya singkat, tidak terlalu peduli jawaban sang ibu.
"Pasti *beuteungna Kamila *geus besar ya? gak sabar banget ketemu dia." mata Indi berbinar antusias ingin bertemu menantunya, Hasan sebenarnya ingin menemani sang istri yang beberapa kali merengek minta ditemani mengunjungi menantunya yang tengah berbadan dua. Namun, Hasan belum menemukan hari yang tepat karena bentrok dengan jadwal pekerjaannya di kantor. Sekarang saja pria itu tengah berada di Malaysia dalam urusan bisnis.
*beuteungna: perutnya
*geus: sudah
"Telpon suaminya lah bu, mana aku tau perutnya udah gede apa belum."
"Kamu tuh cepat susul Aa' kamu!" Indi menepuk keras lengan Rasya, gemas pada anak bujangnya yang belum ada tanda-tanda membawa perempuan untuk diperkenalkan ke keluarga.
"Susul punya anak?" ujar Rasya asal sembari menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum iseng.
"Susul nikah! kok punya anak sih?! berani kamu gitu, ibu tendang kamu dari kartu keluarga!" Rasya mengangguk pasrah, terserah ibunya saja. Soal tipe dia tidak muluk-muluk, yang penting enak dipandang, jujur, dan rapi. Oh ya, yang pasti cewek tulen bukan manusia berbatang.
"Kita di Balikpapan nginap dua hari nih bu?" Tanya Rasya. Pria itu menggeser koper miliknya dan sang ibu ke supir yang telah membuka bagasi mobil.
"Ibu pengennya hari ini langsung ke Samarinda."
"Tapi aku udah reservasi hotel untuk dua malam bu." Dia juga sudah rental mobil Pajero hitam itu beserta supirnya pula. Tidak mungkin dibatalkan bukan?
"Lah, terus ngapain tanya ibu sih." Rasya menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Maksudnya reservasi dua harikan supaya ada waktu jalan-jalan sejenak di kota ini. Boleh jadi dia bertemu jodoh di sini? karena wanita-wanita di Jakarta agaknya sulit diloloskan menjadi menantu di keluarganya. Ya, Rasya pikir seperti itu. Ibunya sering protes saat media sosial Rasya menampilkan wajah anaknya bersama wanita zaman sekarang yang gemar pamer pusar ke mana mana!
***
Angin bertiup agak kencang usai hujan yang membuat tanah menjadi basah dan lengket saat dipijak. Seorang perempuan datang seorang diri, mungkin hanya dia yang berada di sana sore itu. Semilir angin terdengar diikuti daun-daun pisang yang melambai saling bergesekan. Udara berembus terasa dingin menyentuh kulit. Perempuan itu menoleh ke sisi kanan makam yang bersisian dengan semak-semak. Hanya pagar tua yang berkarat yang membatasi antara area makam dan semak-semak itu. Sesuai arahan dari pesan yang dia dapat, makam saudaranya tepat di pinggir pagar tua itu. Namun, dia melihat ada banyak makam yang berderet di pinggir sana. Perempuan itu mengembuskan napas ragu, dia menunduk menatap kedua kakinya yang sudah tampak kotor karena jalan setapak yang becek.
"Harusnya tadi aku minta kak Eca temanin ke sini." Kamila berdecak.
"Tapi kalau Kak Eca temanin ke sini, dia bisa tau kalau Aa' gak ikut ke sini." Gumamnya sembari menggigit ujung bibirnya. Kamila kembali melanjutkan langkah kakinya.
Dia ke sini tanpa Daffa tahu dan waktu yang tepat keluar rumah adalah ketika Daffa tak sedang ada di rumah. Tak seperti di awal kehamilannya Daffa hanya berdiam diri di rumah dan memantau dari rumah kafe miliknya. Sekarang pria itu sering keluar menjelang sore hari dan pulang ketika magrib.
Kamila menarik sedikit roknya ke atas agar tidak menyentuh tanah dan makam yang ia lewati. Sebelah tangannya membawa kantung plastik yang berisi bunga kamboja dan potongan daun-daun pandan yang dia beli di dekat pintu masuk makam tadi.
Pandangan Kamila menyipit, memandang ke bawah membaca nama yang tertulis di batu nisan yang dia lewati sampai dia menemukan sebuah nama yang dicari. Keisya Anita binti Markus.
Perut Kamila yang membesar menyulitkan perempuan itu untuk mengambil posisi jongkok. Kamila merendahkan badannya perlahan sembari menjulurkan tangan menyentuh batu nisan Keisya yang dihiasi bunga sedap malam. Bunga yang tampak segar, seseorang pasti baru saja datang ke sini. Kamila mengamati bunga itu dan teringat ucapan tante Risa tadi pagi yang menggodanya saat ikut membantunya merangkai mawar ke dalam vas bunga yang diberikan Daffa.
"Pak Daffa romantis ya mba pagi-pagi udah keluar beli bunga buat mba Kamila." Kata tante Risa. Kamila hanya tersenyum menanggapi ucapan wanita itu.
"Bunga sedap malamnya tidak mau ditaruh dalam vas bunga juga mba?"
"Bunga... bunga sedap malam?" gumam Kamila.
"Iya, tadi pagi pak Daffa bawa dua buket bunga, satu bunga mawar, satu lagi bunga sedap malam." Saat itu Kamila tidak mengambil pusing saat mendengar perkataan Risa. Mungkin Daffa meletakkan bunga sedap malam itu di sisi lain di rumah.
Rasanya ada yang tercubit di sudut hati, tetapi Kamila mencoba menepis dugaan itu. Kedua netranya memandang sayu ke arah batu nisan Keisya. Matanya tampak berkaca-kaca memandang kosong batu nisan itu. Sebuah pertanyaan berputar dalam kepala, membuat Kamila termenung sejenak.
Bagaimana jika bunga itu memang benar dari Aa'?
Aa' ke sini?
Setetes air matanya mulai jatuh. Air mata itu membuat pandangan Kamila pada batu nisan Keisya mengabur. Dia tertunduk terisak.
Kakak sangat disayang mama
Saking mama sayang, mama menjadikan kakak kebanggaan
Mama jadikan kakak sebagai contoh untuk aku dan Kania
Tapi... kakak yang seharusnya aku contoh, ternyata...
Aku tidak tau bagaimana kak Kei hidup di kota ini
Dan ya aku kaget, aku kaget kak Kei harus mengakhiri hidup kak kei
dengan cara bunuh diri.
Setelah kakak pergi, kak Kei membuat mama berubah
Dan sekarang aku tau, kenapa mama... kenapa mama membuat aku dan Kania terkekang
Nyaris selalu melarang untuk keluar rumah
Bahkan setelah aku menikah dan tinggal di kota ini
Mama seolah tidak percaya apapun yang aku perbuat saat di luar rumah
Kenapa aku yang harus menanggung hasil dari perbuatan kak Kei?
Aku tidak tau sebebas apa hidup kakak di sini semasa hidup
Tapi kenapa harus aku? harus aku yang... menanggung perbuatan kak Kei?
Kenapa harus aku yang dikekang? tidak dipercaya? diragukan?
Kepala Kamila terasa ribut menyalurkan semua hal yang pernah dipertanyakan dalam benak. Dia mengusap pipinya yang basah dan mengalihkan pandangan pada buket bunga sedap malam itu.
Kak Kei
Kenapa... kenapa aku harus ada di posisi ini?
Bukankah harusnya kakak yang ada di sini?
Bukan aku. Karena bukan aku yang dia cintai. Bukan aku, tapi kakak. Kak Kei yang dicintai Aa'.
Kamila menegakkan punggungnya, perlahan bangkit karena sudah merasakan nyeri pada pergelangan kaki. Dia mendesis sakit. Dadanya terasa naik turun oleh rasa sesak karena tak puas menangis. Dia harus segera pulang sebelum senja datang. Sebelum pergi dia menabur bunga di makam itu dan kembali berjongkok sejenak untuk mendoakan Keisya.
Kamila mengatur napasnya sebelum akhirnya kembali berdiri. Dia mengamati jalan setapak yang masih becek itu dan menangkap ada sesuatu di dekat sepatu yang ia kenakan. Sebuah cincin emas putih. Siapa yang begitu teledor menjatuhkan perhiasan di makam? Kamila mengambil cincin itu, lantas memandang serius detail cincin yang kelihatan simpel itu. Cincin itu berhias berlian yang ditanam di dalam, berlian itu tampak kentara karena dikelilingin frame berbentuk persegi.
Dahi perempuan itu semakin mengerut ketika menemukan inisial kecil di sisi dalam cincin itu. Kedua mata Kamila menyipit 'D&K'. Inisial itu juga ada pada cincin yang dia kenakan sekarang, cincin kawinnya bersama Daffa. Detail cincin ini begitu persis dengan miliknya, ditambah inisial 'D&K' makin mempertegas siapa pemilik cincin itu. Daffa Alhusayn, suaminya. Jemari Kamila gemetar. Jadi benar pria itu ke sini hari ini dan bunga sedap malam itu dia yang membawanya?
Rupanya dugaan yang melayang-layang dalam kepala Kamila adalah fakta. Cincin ini yang membuktikannya. Seketika pikiran Kamila menjadi tidak karuan. Sebenarnya memori apa yang tersisa dari kisah cinta Keisya dan Daffa hingga suaminya tidak bisa melepaskan kakaknya? Tidak cukupkah dirinya di sini untuk mengganti posisi itu?
Tidak, dia tidak boleh merasa terancam oleh seseorang yang bahkan raganya saja sudah tidak memijak bumi. Namun, apalah arti keberadaannya di sini yang seolah dianggap tak ada. Lelaki itu hanya menginginkan Keisya bukan dirinya.
Cincin itu digenggam dalam kepalan tangan Kamila yang gemetar. Ia membawa dirinya dengan susah payah keluar dari makam itu. Langkah kaki Kamila terasa berat karena banyak bisikan bak jarum yang menusuk-nusuk kupingnya.
Tidak ada yang bisa menggantikan Keisya
Bahkan dirimu
Keberadaanmu tidak ada artinya
Dibanding Keisya yang pernah mengisi hatinya
Bukan pernah, tetapi nama perempuan itu selalu di hatinya
Berhenti bertahan di sisi orang yang tak pernah melihatmu
Bertahan hanya membuatmu sakit
Kamila menganggukkan kepala berulang kali dengan dada yang naik turun karena sesak menangis. Bisikan itu benar, bertahan hanya membuat dia sakit. Pandangannya kian mengabur oleh air mata, ia tak dapat melihat jelas ke depan.
Dia sudah melewati pintu makam, dia berjalan ke warung yang ada di pinggir jalan untuk sekadar duduk dan menenangkan perasaan.
"Gak papah mba?" tanya seorang wanita yang mendapati Kamila duduk di warungnya. Wanita itu mengamati Kamila yang matanya jelas sekali terlihat sembap. Kamila mengusap wajahnya dengan hijab yang dia pakai.
"Oh, ga-gak papah bu. Bu saya beli air mineral besarnya satu ya." Kamila lekas berdiri hendak meraih botol air mineral yang dia maksud.
"Biar saya aja yang ambilkan mba, mba duduk aja." Ujar wanita yang mengenakan daster itu. Dia bergerak cepat memberikan air mineral yang diminta Kamila. Dia tak tega melihat Kamila bangkit dengan perut membuncit setelah mengamati dari jauh perempuan hamil itu berjalan keluar makam.
"Terima kasih bu." ucap Kamila sambil mengulurkan uang.
"Sama-sama mba, habis ziarah ke makam keluarga ya?" tanya wanita itu berbasa-basi sembari memandang Kamila yang meneguk air mineralnya.
"Hm? iya bu, ke makam kakak saya." Balas Kamila, lalu tersenyum tipis. Sisa air mineral itu dia gunakan untuk menyiram sisi-sisi sepatunya yang kotor karena lumpur.
Kamila mengambil ponselnya untuk memesan taksi. Setelah lima menit mobil yang dia tunggu pun datang, dia bangkit dan berjalan ke mobil itu.
"Kamila Kanika ya mba?"
"Iya pak." Sebelum membuka pintu mobil yang berhenti tak jauh dari tempat ia membeli bunga untuk ditabur di makam Keisya, ia melihat seorang wanita yang posturnya sangat dia kenali. Wanita itu sedang membeli bunga, lalu berjalan ke makam.
"Mba." Tegur supir yang menunggu Kamila masuk.
"Oh iya pak!" Kamila segera masuk.
"Sebentar pak jangan jalan dulu." Kamila membuka kaca mobil, dia melihat wanita itu berjalan ke sisi makam yang tadi dia lewati.
Itu mama, benar itu mama! Mama datang ke sini? ke kota ini? tanpa memberi kabar padanya.
***
Bersambung
Mau lihat muka Aa' Daffa frustasi banget di part 51? nih: