Hargai tulisan ini dengan vote dan komen
🌸Terima kasih🌸
Raut bingung bersama mata yang tak henti menyorot selembar foto itu menimbulkan tanda tanya besar dalam kepala.
"Kenapa sendirian ke sini La? Hujan-hujan pula. Mau ganti baju dulu? Pake baju aku." Kamila mendongak. Eca meringis khawatir melihat Kamila datang ke kontrakannya dalam keadaan nyaris basah kuyup karena hujan. Gadis itu datang terlanjur menggunakan ojek online untuk menghindari macet.
Sore itu langit yang tadinya cerah mendadak menurunkan hujan di tengah sinar matahari yang masih berpendar.
"Gak usah kak, ak-- aku sebenarnya mesti buru-buru, gak bisa lama di sini." Eca mengalihkan tatapan pada selembar foto yang ada di tangan Kamila. Seketika kedua mata Eca melebar dan lidahnya kaku.
Kamila mendapati garis wajah Eca berubah saat melihat sesuatu yang ada di tangannya.
Sebuah foto yang mengabadikan momen dua insan yang tengah duduk berimpitan dengan tatapan wanita yang fokus pada roman sang pria, sedangkan sang pria menghadap ke kamera. Keduanya melempar senyum cerah bahagia. Tampak begitu manis, seolah wanita itu memandang dunianya yang tergambar di wajah tampan pria itu.
Di sudut hati Kamila terasa tercubit melihat kedekatan dua orang itu.
"Kak Eca tau foto ini? Maksud aku hubungan mereka?" Kamila menilik sekali lagi pada foto itu sebelum kembali menatap raut Eca yang kelihatan agak terkejut.
Dua perempuan yang duduk di lantai itu terdiam cukup lama, tak ada yang membuka mulut sampai Kamila membalik foto dan memperlihatkan pada Eca ada tulisan pendek di sana.
"Aku gak bisa tanya ke mama. Aku ragu dan aku tidak yakin mama bisa menjelaskan ini." Kamila seolah bisa meraba apa yang ingin dia tahu, tetapi susunan cerita itu masih acak dalam kepalanya.
"La, aku tidak berhak cerita ini ke kam--" suara Eca nyaris tidak terdengar.
"Kak Eca, aku mohon. Tolong cerita ke aku." Bibir itu melengkung turun menahan desakan air mata.
"Aku gak akan cerita ke mama, gak akan ngadu ke mama kalau aku tau dari kak Eca." Kamila menggeser duduknya mendekati Eca. Meraih tangan Eca, meremasnya memohon.
Perempuan itu tak banyak tahu cerita kakaknya selama menempuh pendidikan di Samarinda. Dia cuma sekadar tahu kalau Eca dan Keisya satu kos bersama.
"Kamu serius mau dengar?"
"Aku cuma berharap tau cerita ini dari kak Eca, aku mesti ke mana lagi.... untuk nanya? Ke mama? Aku.... ragu." Eca menegakkan posisi duduknya.
"Kamu gak coba nanya ke... Daffa?"
"Sama aja kak, aku gak berani dan ragu nanya ke dia."
Eca tak menduga Kamila bisa menemukan foto kenangan pasangan yang sudah lama dipisahkan oleh alam yang kini tak sama. Rupanya Daffa tak serta-merta melenyapkan memori manis itu sejak Keisya telah tiada.
Langit biru perlahan pudar menjadi jingga. Kamila masih di sana, duduk dengan pipinya yang telah basah. Dia setia mendengarkan, meski hatinya memberontak tak suka. Apa ini yang dinamakan cemburu?
"Kamu benar La, mereka dulu pacaran. Daffa yang sering antar jemput Keisya ke kampus, Daffa juga sering main ke sini....."
Apa Aa' nikah sama aku cuma untuk jadikan aku pelampiasan semata? Dan kenapa mama gak cerita kalau kak Kei dulu pacar Aa'? Kenapa banyak hal yang disembunyikan dari aku?
Kedua mata itu memerah, tak kuasa lagi menahan bendungan air mata yang akhirnya merembes di pipi. Dada Kamila terasa tertekan, sesak mendengar kedekatan yang pernah terjalin antara saudara perempuannya bersama sang suami. Meski lidah Eca terasa keluh, tetapi dia tetap bercerita dengan hati-hati. Tak ingin apa pun yang tersampaikan lewat lisannya melukai Kamila.
Penjelasan demi penjelasan menyentuh rungu, memantik api cemburu di hati kecil Kamila. Untuk pertama kali dia merasa memiliki, dia memiliki Daffa. Dia tak rela membagi prianya dengan wanita mana pun, sekali pun Keisya. Namun, haruskah dia cemburu pada bagian masa lalu Daffa yang telah lama tiada? Cemburu pada perempuan yang raganya tak lagi kasatmata.
Eca mengulurkan selembar tisu pada Kamila. Usai mengusap pipinya, Kamila kembali mendorong foto itu. Dia menunjukkan tulisan di balik foto itu.
Langit Timur, Tenggarong.
Kei, kamu tidak ingat janjimu?
Kamu bilang kita akan kembali ke Langit Timur
Melihat senja di sana sambil duduk berdua
Aku cuma punya foto ini
Foto yang kita abadikan di sana
Kei. Kamu pergi, sebelum aku membalas tatapanmu
Aku juga mau menatapmu seperti matamu memandang ke wajahku.
Tapi, kenapa cepat sekali?
Kamu pergi bersama bayi itu
Bayi yang aku tidak tau keberadaannya
Kita bisa membesarkan bayi itu sama-sama
Kamu menjadi ibu
Dan aku menjadi ayah
Tapi, itu semua hanyalah harapan yang tak sampai.
"Waktu itu aku dan Daffa, engh... tapi keluarga kita semua shok banget pas tau Keisya keguguran, aku yang tinggal bareng Kei aja gak tau kalau dia hamil. Sepintar itu dia nutupin kehamilannya. Dia keguguran karena sengaja minum obat yang berbahaya untuk janinnya sampai akhirnya dia ikut tak tertolong--"
"Bayi siapa ya-yang dia kandung kak?" Kamila meremas ujung bajunya. Gelisah dan rasa takut menjadi satu membuat tubuhnya bergetar.
Eca tersenyum getir, dia paham Kamila pasti langsung mengira bahwa bayi itu adalah jabang bayi Keisya dan Daffa.
"Sampai sekarang, tidak ada yang tau itu anak siapa. Jika kamu pikir itu anak Daffa, kamu salah. Keisya waktu itu meninggalkan surat tentang.... apa yang selama ini sudah dia perbuat."
"Mama kamu sembunyikan cerita ini, karena dia merasa kamu belum pantas tau cerita dibalik kematian kakakmu. Mamamu merasa malu, mamamu tidak mau kamu mengenal Keisya sebagai kakak yang tidak baik untuk dicontoh." Air mata Kamila semakin deras, cerita yang dilontarkan Eca berhasil meremas hatinya.
Kamila tak menyangka Daffa berani mengorbankan diri untuk bertanggung jawab pada bayi yang bukan darah dagingnya. Sebegitu pekatkah nama Keisya tergores di dada Daffa?
Ragu. Itu yang dirasakan Kamila, ragu pada hati Daffa. Entah sekarang nama Keisya masih atau tidak menguasai setiap sudut hati dan pikiran sang suami. Cara Daffa memandangnya apa seperti itu pula kedua mata Daffa memandang Keisya? Atau kedua mata yang tajam itu selama ini tak pernah memandangnya nyata sebab Keisya tak bisa tergantikan?
"Diantar aja gak papah La, ini udah masuk salat magrib." Eca menawarkan Kamila agar suaminya yang mengantar pulang.
"Gak kak, aku pake ojek online. Gak papah karena mau singgah."
"Singgah ke mana?"
"Minimarket. Aku ke depan ya kak nunggu ojolnya."
"Yuk aku temanin ke depan. Kamu lain kali kalau ke sini mesti ditemanin ya, apalagi perutmu tambah gede loh. Banyak-banyak istirahat, jangan suka ngangkat yang berat-berat." Kamila tersenyum, lalu mengangguk.
Apa yang sudah tersampaikan dari mulut Eca, Eca harap tak mengusik pasangan suami istri itu. Lagi pula sosok Keisya tak ada lagi. Kamila tak mungkin merasa tersaingi karena wanita itu telah rata dengan tanah.
***
"Lima belas ribu mba." Kamila mengulurkan uang kertas berwarna hijau pada wanita yang tengah memasukkan wadah makanan yang berisi seblak ke dalam plastik. Dia turun lumayan jauh dari rumah dan singgah ke seberang minimarket menuju sebuah kedai yang menjual seblak ceker.
"Terima kasih." Kamila memandang notifikasi di ponselnya penuh dengan panggilan tak terjawab dari Daffa. Sembari berjalan dan sesekali melihat ke depan, dia mendapati puluhan pesan masuk dari tante Elena dan Daffa.
Sebal menggerogoti hati Kamila sebab foto mesra Daffa dan Keisya terekam jelas di kepalanya. Rasanya ingin lari pergi jauh dari rumah, ia tak ingin bertemu Daffa dulu. Namun, berjalan santai seperti ini sudah membuat tubuhnya merasa letih. Ingat dia kini berbadan dua. Sulit bergerak gesit, itu hanya akan membuat ia terengah-engah.
Kelihatannya orang-orang baru kembali seusia salat magrib dan perempuan itu sebentar lagi akan sampai. Lampu jalan menerangi langkah-langkah Kamila yang melambat dan kaku ketika melihat Daffa duduk di jok motor dengan tante Elena yang berdiri dekat pria itu. Ada pak Anwar juga yang tengah menutup pagar.
"Saya temani aja pak car-- eh! Itu mba Kamila!" Seru pak Anwar yang menoleh kepada Kamila yang kini begitu berat melangkah karena melihat raut Daffa yang berubah. Kentara sekali tadi wajahnya panik dan sekarang raut wajah Daffa menegang.
"Hey dari mana aja? ini suami kamu nyariin dari tadi Kamila." Ujar tante Elena dengan suara keras karena jarak Kamila masih beberapa langkah lagi untuk tepat berdiri di dekat Daffa.
"Udah masuk masuk kalian sana! Ini hawanya dingin sekali baru aja selesai hujan." Kamila tak sempat menjawab.
"Iya tante." Elena menangkap garis wajah Daffa tampak kaku, pria itu pasti menahan kesal pada istrinya. Dari pada mereka debat di depan pagar, lebih baik ia menyuruh Daffa dan Kamila segera masuk rumah.
Pak Anwar membuka pagar agar Daffa kembali memasukkan kendaraannya. Kamila sudah berjalan duluan masuk.
"Ke mana aja kamu?" Tanya Daffa saat mereka tiba di kamar. Sebenarnya Daffa tiba di rumah tepat ketika azan magrib berkumandang dan dia terkejut tak menemukan Kamila di setiap sudut rumah. Dia gelisah bukan main, takut yang beberapa bulan lalu terulang.
"Tadi pergi beli seblak depan minimarket." Jawab Kamila malas yang sebenarnya suaranya hampir tak terdengar karena dia takut menghadapi Daffa yang kelihatannya sedang emosi ini.
Kamila membuka jilbabnya, lalu keluar menuju dapur. Dia sampai lupa kalau seblak itu dari tadi ikut sampai masuk kamar. Seblak ini adalah tameng, ia jadikan sebagai alasan. Berhasil atau tidak, Kamila juga ragu karena tak tahu Daffa sampai rumah sore atau ketika masuk waktu magrib.
Kamila menoleh lewat punggungnya, Daffa tak mengikutinya ke dapur. Ketika kembali masuk kamar, lelaki itu tengah posisi rukuk melaksanakan salat. Teringat dirinya juga belum salat magrib, Kamila segera berwudu.
***
"Kamu tadi pergi beli seblak hujan-hujanan ya?? Itu bajumu basah. Gak bisa tunggu aku? Sendirian pula. Bahaya La. Aku udah pernah bilang ke kamu kan, kamu dengar gak? Kalau aku negur kamu, kamu dengar atau enggak? Bisa gak kamu itu nurut La!" Daffa berdecak kesal dan alisnya masih dalam posisi menukik.
Apaan sih, semuanya dibilang bahaya terus.
Harusnya saat Daffa salat tadi dia segera ganti baju, tetapi karena buru-buru takut tertinggal waktu salat terpaksa pakaian setengah basah ini dia kenakan.
"Kan tadi hujan, ya basahlah Aa'."
"Tadi kenapa juga kamu gak angkat telponku?? kamu tau gak aku khawatir, tiba tiba kamu gak ada di rumah, udah dicariin di dapur, di lantai atas, di rumah tante Elena, di rumah pak Anwar juga gak ada." Omel pria itu sambil berkacak pinggang.
Ah.. Aa' gak sampai keluar rumah keliling nyari aku, berarti dia juga baru sampai kan?
"Warungnya tadi ramai, lagi pula hpku silent tadi. Aku gak tau ada telpon dan pesan dari Aa'."
Daffa berdecak gemas melihat Kamila masih mengenakan pakaian yang basah. Dia bisa masuk angin kalau begini.
"Ayok ganti bajunya dulu, sekalian mandi juga." Daffa meraih tangan Kamila, menarik pelan wanita itu masuk ke kamar kecil.
"Aku mandi sendiri aja!" Tolak Kamila gusar.
"Gak usah banyak protes, sini aku bantu." Tekan Daffa yang masih betah dengan wajahnya yang tampak kesal.
"Gak mau astaga! Malulah Aa'!!" Kamila mencoba meremas lengan Daffa yang mengencang karena kuat menahan tangannya.
"Udah, ayok sini. Kalau gak mau, gendong aja nih." Ancam Daffa. Kamila berdecak dengan wajah cemberut, dia langsung rela berjalan masuk ke kamar kecil diikuti Daffa yang menghela napas lega.
Tak ingin Kamila kedinginan dia menyiapkan air hangat dan membasuh tubuh Kamila yang terasa dingin. Sesekali Daffa menyentuh perut telanjang Kamila yang membuncit sembari tersenyum getir. Masuk di usia kehamilan 17 minggu seharusnya dia sudah bisa meminta haknya, dia ingin sekali menyentuh Kamila. Benar kata orang-orang, cuma pria beristri yang tahu betapa menggodanya sang istri ketika berbadan dua.
"Tadi seblaknya pake berapa cabe La?" Tanya Daffa selesai mengancingkan piayama Kamila. Perempuan itu menggeser tubuhnya bersiap berbaring.
"Cuma tujuh." Daffa berdecak tak suka.
"Untung kamu gak jadi makan."
Siapa juga yang mau makan seblak, itu cuma buat jadi alasan doang tadi.
Daffa membuka tutup minyak kayu putih dan dia mengambil beberapa tetes untuk diusap ke perut Kamila. Kebiasaan sebelum tidur perempuan itu sejak hamil, suka sekali aroma hangat minyak kayu putih yang diusap diperutnya.
Daffa menarik ke atas ujung piayama Kamila.
"Aku sendiri aja." Dahi Daffa mengerut bingung, tumben sekali. Daffa selalu yang mengusap perut Kamila dengan minyak itu. Untuk pertama kali Kamila enggan.
Kamila memunggungi Daffa, dia mengoles permukaan perutnya sendiri dengan minyak kayu putih.
"Kamu kenapa La? Ngambek karena tadi aku marah ke kamu?" Tanya Daffa. Kamila tak menjawab, foto itu masih berputar-putar dalam kepala Kamila. Dia tak menghiraukan Daffa yang tengah bicara padanya sekarang. Justru muak mendengar suara sang suami.
Daffa menghela napas dan bergerak mendekat ke tubuh Kamila seusai mematikan lampu. Daffa mengulurkan lengannya untuk memeluk perut buncit Kamila. Dia merasakan tubuh Kamila sontak menegang dan Daffa tak melihat kedua netra perempuan itu telah berkaca-kaca.
Kamila berusaha bernapas normal, dia menahan gejolak panas di mata di saat dadanya terasa terhimpit. Sesak ingin menangis.
Pelukan Daffa tak lagi dirasa hangat. Justru yang ada adalah rasa takut yang kian membuncah. Daffa mendekap dirinya dalam bayangan perempuan lain. Kamila tak suka itu!
"La, kenapa? Kok kayak kaget gitu." Kamila tak menjawab. Dia memaksakan matanya untuk terpejam sedang hatinya menjerit seolah tertusuk belati. Daffa mengusap-usap lengan Kamila, tak menuntut jawaban dari sang istri.
Muak sekali rasanya. Dia sedang tak ingin disentuh oleh Daffa, tetapi pria itu selalu mudah merapatkan diri padanya.
***
Note:
Spam komen untuk part selanjutnya ya, bebas di baris kalimat yang mana
Semakin banyak komentar, semakin cepat cerita ini TAMAT wkwkw
Anyway, Keisya seliar itu ya?