Halooooww kuapdet lagiiiii hihihi
Ayo vote dulu dong!!!
Sepanjang hidup Seje, baru kali tadi ia melihat pemandangan yang begitu haru sekaligus indah di antara dua orang yang merupakan ibu dan anak.
Pertemuan Juwanda dan mamanya, adalah sebuah pengalaman yang bukan hanya akan begitu membekas di benak teman laki-lakinya itu, tetapi juga akan menjadi suatu kenangan yang tak akan bisa Seje lupakan.
Terutama kala dilihatnya dua orang itu tampak saling berpeluk erat dalam kurun waktu yang lama. Juwanda yang sebelumnya sempat hanya bisa menangis, memandangi ibunya yang tak bisa bicara karena sakit yang dideritanya. Akhirnya bersimpuh, memeluki wanita paruh baya itu dengan isak halus yang dapat Seje dengar dengan begitu jelas.
Juwanda tak jua melepaskan peluk itu sampai di menit ke lima, ketika ia merasa cukup menumpahkan segala emosinya dan beralih menatap rindu pada sang ibu.
Saat itu Seje tahu, tangis yang dikeluarkan Juwanda adalah kebahagiaan tak terdefenisi.
Bahkan ketika dua orang itu tak mengucapkan apa-apa selama bermenit-menit. Hanya saling memandang. Dengan sebelah tangan si perempuan berumur itu yang tampak gemetar, menjengkali inci demi inci paras putranya.
Saat itu Seje dapat melihat, betapa sesal berpadu rindu teramat sangat terpatri jelas di sepasang mata kelabu itu.
Seje tidak tahu hal pelik apa yang membuat seorang ibu yang tampak begitu menyayangi anaknya itu memutuskan untuk memilih jalan yang menyakiti keduanya. Baik bagi dirinya sendiri, maupun anaknya yang kini telah beranjak dewasa.
Anak yang tak sempat ia lihat pertumbuhannya.
Anak yang kini tampak begitu sehat dan merindukannya.
Anak yang tanpa dibilang pun, ia langsung tahu, bahwa sosok terkesan asing yang sedang menangis di hadapannya itu adalah putra kecilnya yang dulu sekali pernah ia timang dengan penuh kasih sayang.
Dan Seje yang mengetahui segala emosi tersebut, cuma bisa berdiri memandangi dari jarak yang tak begitu jauh, seraya mengusapi air matanya yang ikut tumpah.
Bahkan kini pun, ketika mobil yang ia tumpangi telah melesat jauh dari tempat tadi, Seje masih tak bisa melenyapkan rona kelabu di sepasang irisnya ketika ingatan tentang pertemuan tadi kembali muncul di kepalanya.
Seje pun menyeka ekor matanya yang mulai basah. Berhasil menarik atensi Juwanda yang sedari tadi menyetir di sebelahnya.
"Lo... kenapa?" tanya laki-laki itu akhirnya,
"Ha, gue? Gapapa," dusta Seje seraya tertawa pelan.
Mendengarnya, Juwanda yang sempat menoleh sekilas tadi dan langsung mengerti apa yang sebenarnya sedang disembunyikan Seje tersebut pun lantas tersenyum tipis.
"Lo masih sedih? Gapapa kali kalau mau nangis..."
Seje diam saja. Emosinya masih campur aduk. Ia bahkan belum sepenuhnya tega kala tadi mereka harus kembali dan meninggalkan rumah ibu Juwanda yang nyatanya hidup sebatang kara itu.
"Gue tahu, berat banget rasanya ninggalin dalam kondisi kaya tadi tapi... gue bakal balik secepatnya buat jemput mama." Sepasang iris Juwanda tampak menatap menerawang pada jalan yang terhampar di hadapannya.
"Ada banyak hal yang perlu gue siapin di sini. Gue gak mungkin masih stay di kediaman om gue. Gue juga perlu kasih kabar ke mereka soal mama. Gue perlu cari rumah baru ya paling enggak kontrakan buat kita berdua. Gue juga berencana buat mastiin rumah sakit mana yang bisa ngerawat mama nanti. Baru setelah itu... gue jemput mama. Gue pastiin semua itu bakal selesai paling telat dalam seminggu ini."
Mendengar penjelasan panjang lebar dari Juwanda mengenai rencana laki-laki itu ke depannya, perasaan Seje mendadak dibuat tenang. Ia lantas menarik napasnya dalam-dalam. Berdamai dengan segala rasa campur aduknya, sebelum akhirnya mengarahkan tatapnya pada Juwanda dan mulai berbicara.
"Rasanya lucu ketika gue yang lebih banyak nangis dibanding lo yang seharusnya pasti lebih ngerasa campur aduk sekarang ini. Tapi... gue tahu... lo nahan itu semua. Gapapa kok kalau lo mau nangis, Wan. Gue gak bakal ikutan, serius..."
Alih-alih dibuat tersentuh oleh kata-kata jujur Seje tersebut, Juwanda justru terkekeh geli. Ia tak mengira bahwa Seje akan mengatakan hal yang membuatnya gagal menjadi sedih semacam itu.
"Lah, kok lo malah ketawa?" Seje heran.
"Gimana gue gak ketawa kalau cara lo ngomong kaya gitu?"
"Emang kaya gimana?"
"Ya kaya gitu. Aneh banget. Pake segala sumpah gak bakalan ikutan nangis."
Juwanda tertawa geli.
"Ya tapi gue serius kok..."
"Iya... iya... gue juga kalau mau nangis udah nangis kali. Cuma emang air mata gue udah abis karena nangis pas di sana tadi."
"Oh, iya ya..." Seje baru sadar. "Lo nangis kaya bayi sih tadi," katanya lagi seraya tertawa pelan dan berhasil memicu gelak Juwanda lebih heboh dari sebelumnya.
****
Rumah yang dimasuki Seje kini tampak begitu sepi dan gelap padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh malam lebih. Ia yang sudah berada di ruang tamu dan tak menemukan eksistensi suaminya di sana, lantas terus berjalan ke arah kamar dan membuka pintunya.
Setibanya di dalam, ia pun tak menemukan Sean di dalam ruangan berukuran 5x8 Meter tersebut. Yang dilihatnya hanya kasur mereka yang masih tampak rapi tak tersentuh dengan kondisi ruangan yang temaram karena lampu belum dihidupkan.
Lantas, Seje pun menderap ke arah kamar mandi. Mengira bahwa mungkin saja Sean sedang ada di dalamnya. Tapi begitu sampai di depan pintunya, tak dilihatnya ada tanda-tanda seseorang di dalam sana. Seje lantas meletakkan tasnya ke atas meja seraya melirik ke arah jam dinding yang memperlihatkan waktu saat ini.
"Udah jam segini, gak mungkin belum pulang kantor kan ya? Atau... malam ini dia gak balik?"
Seje bermonolog ketika sesaat setelahnya ia dikejutkan oleh suara pintu kamar yang tiba-tiba saja dibuka.
Sean sudah melongokkan kepalanya di ambang pintu.
"Lo udah pulang?"
Pertanyaan retorik yang keluar dari bibir laki-laki itu lantas tak dijawab oleh Seje. Si perempuan hanya menghembuskan napas. Masih berdamai dengan rasa terkejutnya atas eksistensi Sean yang serba tiba-tiba.
"Lo kenapa sih kaya setan?" semprot perempuan itu galak.
"Yaelah, baru juga balik. Jangan marah-marah dong."
Seje memutar bola matanya malas.
"Gue udah seharian loh gak ngelihat elo, masa baru lihat, langsung disemprot?"
"Please, lo cringe banget."
Sean nyengir kuda. Tumben-tumbenan anak itu tidak membalas Seje secara sewot? Ah, Seje lupa, Sean memang sedang aneh sejak kemarin.
"Ikut gue ayo," kata Sean seraya masuk ke dalam kamar dan mendekat pada Seje.
"Ke mana?" tanya Seje curiga.
"Ke dapur," jawab Sean apa adanya.
"Lo dari tadi di dapur?"
Sean mengangguk.
"Ngapain?" tanya Seje lagi.
"Udah ayo, ikut aja."
Tanpa ba-bi-bu, Sean langsung menarik sebelah tangan Seje untuk ikut dengannya. Sukses membuat tubuh kecil itu seperti terseret dan mau tak mau, akhirnya sampai juga di dapur seperti yang Sean ingini.
Begitu sampai, Sean langsung melepas pegangannya pada pergelangan lengan Seje lalu menuntun gadis itu untuk duduk di salah satu kursi yang menghadap meja makan.
Berselang, Sean menghadap pada meja bar di belakangnya dan menyajikan Seje segelas kopi yang belum juga dilihat oleh gadis itu, langsung dikomentari begitu saja oleh Seje.
"Gue gak gitu suka kopi," tukasnya.
"Gue tahu, makanya gue bikinin ini."
Sean lantas meletakkan segelas minuman buatannya itu ke hadapan Seje. Berhasil membuat dua alis sang gadis terangkat naik.
"Hazelnut latte kesukaan lo. Gue tahu lo gak suka yang kopi banget tapi lo suka ini kan? Makanya gue bikinin ini."
"Kok lo—"
"Dan tentu saja, less sugar and less ice."
Spontan, Seje yang mendengar segala ucapan Sean yang tepat sasaran itu dibuat tak bisa berkata-kata. Ia yang speechless itu lantas menolehkan kepala pada Sean yang kini telah membawa segelas Americano miliknya sendiri untuk duduk di sebuah bangku yang berada tepat di seberang posisi duduk Seje. Gadis itu tak menyangka bahwa Sean tahu hal sedetil itu tentangnya.
"Dari mana lo tahu..." Seje bertanya pelan.
"Lo selalu pesen hazelnut latte setiap kali lo ke kafe atau warung kopi. Bahkan di sekolah dulu, lo juga selalu pesen ini."
Mendengarnya, Seje pun terdiam sebentar. Ia tak tahu bahwa Sean akan mengingat hal-hal remeh semacam itu.
"Kenapa? Lo gak percaya kalau gue tahu?" tanya Sean seraya membaca arti dibalik ekspresi Seje yang tampak tercenung itu.
"Eum, gue... cuma heran aja."
Sean tersenyum.
"Ada banyak hal yang gue tahu tentang lo dan mungkin, lo gak bakal nyangka kalau gue tahu."
"Lo stalkingin gue?!" tanya sekaligus tuduh Seje to the point.
Mendengarnya, tentu saja Sean tak terima. Laki-laki itu menanggapi tuduhan tersebut dengan sebuah gelak yang berhasil membuat dahi Seje berkerut dalam.
"Udah-udah, gue gak mau bahas soal itu sekarang."
Tapi agaknya, ada hal penting lain yang ingin Sean katakan alih-alih membahas hal yang menurutnya tak begitu penting tersebut. Maka dari itu, bergeraklah tangannya menyodorkan secarik kertas ke hadapan sang gadis.
Membuat Seje seketika membaca judul yang tertulis di dalamnya dan langsung mengerti dengan berkas apa yang sedang dipandanginya tersebut.
"Ini..."
"Perjanjian pernikahan kita," kata Sean. Sukses memancing sepasang mata Seje menatap penuh tanya padanya.
"Gue rasa... kita harus bicarain soal ini secara serius sekarang," sambung sang lelaki dengan sorot mata serius.
"Maksud lo?"
"Gue mau kontrak ini selesai."
Dahi Seje spontan terlipat dalam.
"Gue mau jalanin pernikahan ini... tanpa perjanjian itu lagi," tukas Sean lugas sembari menatap lamat pada sepasang mata Seje yang telah melebar sempurna.
****
Uwewwww, gercep banget bang?!!
wkwkwk, iya dong tancap gas mo bikin adonan sean seje mini abis ini yaa HAHAHA~