Yeyeyeye ku apdet lagiii. Vomentnya dong, jangan pelit :')
Sean akhirnya kembali ke kantor setelah libur panjangnya yang tak berkesudahan. Mulai dari cuti sakitnya yang nyaris seminggu, lalu tak berapa lama disambung dengan cuti liburan honeymoon yang entah bagaimana bisa diperoleh oleh sang kakek. Well, Sean bisa menduganya kalau Opung pasti menggunakan relasinya dengan Pak Jullian selaku petinggi di perusahan di mana Sean kini bekerja.
Sudah begitu pun, Sean kini tak bisa fokus dengan kerjaannya.
Pikirannya masih melayang pada perbincangan antara dirinya, Seje dan Opung beserta kedua mertuanya yang cukup menguras energi di siang kemarin. Bukan hanya soal satu permintaan Opungnya yang sempat membuat Sean tak terima, yakni bercerai, tetapi juga statement bernada ancaman yang agaknya masih menghantui benak Sean hingga detik ini.
"Opung tidak mau tahu, kamu dan Senarai harus cari jalan keluar atas semua ini. Entah kalian bercerai dengan cara yang tidak membuat mamamu syok, atau kalian... bisa memulai semuanya dari awal lagi. Lanjutkan pernikahan ini dengan tidak ada kepura-puraan lagi."
Beberapa potong kalimat tegas itu belumlah puncak dari segala komedi yang menurut Sean lucu namun juga tragis. Tapi apa yang diucapkan oleh Opungnya berikutnya adalah inti dari segala sakit kepalanya saat ini.
"Kalian bisa membuktikan keseriusan kalian lewat cicit. Segera bangun hubungan baik dan lahirkanlah seorang anak. Opung akan percaya kalian tidak lagi membohongi kami setelah kalian melahirkan seorang anak."
Oke baik, itu terdengar tidak masuk akal memang. Tapi itulah kenyataannya. Opung bertindak sejauh itu, hanya karena ia terlanjur dibuat kecewa oleh kebohongan yang diciptakan Sean.
Ya, kakek mana yang tak kecewa ketika segala kepercayaan dan harapannya telah dipatahkan.
"Dan kalau kalian masih belum bisa memberikan perkembangan apa-apa sampai dengan setahun ke depan. Maka Sean... kamu akan Opung keluarkan dari daftar penerima warisan. Kamu juga tidak berhak untuk mengelola restoran yang di Bandung dan Surabaya."
Jeder!
Dan bagai geledek di siang bolong. Ultimatum dari sang kakek tersebut agaknya berhasil membuat bulu kuduk Sean merinding. Ancaman yang disampaikan tersebut setidaknya Sean tahu, bahwa itu adalah bentuk dari keseriusan Opung. Jika sudah begitu, maka tak ada jalan lain yang bisa Sean lakukan selain menurut.
Karena kalau tidak, ia benar-benar dimiskinkan oleh kakeknya dan sungguh demi apapun, Sean belum siap untuk hidup sepenuhnya dari gaji pekerjaan utamanya yang menurutnya cukup pas-pasan.
Tok tok!
"Permisi, Pak."
Sean yang tengah melamun di dalam ruangannya itu lantas menoleh kala didengarnya suara ketukan dan suara seorang perempuan dari arah pintu.
Ternyata, itu adalah Maudy, sekretarisnya. Perempuan cantik itu langsung menderap masuk begitu Sean memberinya sebuah isyarat untuk masuk. Lantas begitu saja, beberapa map berkas penting yang perlu diperiksa dan ditanda tangani oleh Sean langsung laki-laki itu rampungkan.
Di tengah-tengah sesi Sean menyelesaikan tanggung jawabnya tersebut, Maudy yang tadinya menyimak, mendadak bersuara.
"Maaf Pak, saya dititipkan sebuah pesan dari seseorang bernama Amanda. Nona itu datang ke sini kemarin pagi, dan saya bilang kalau anda masih di luar negeri."
Mendengar satu nama yang begitu familiar baginya itu disebut, Sean pun menghentikan aktivitas mencoret-coretnya di atas kertas, lalu mendongakkan kepala pada Maudy.
"Amanda?" tanyanya memastikan.
"Iya. Setahu saya, nona itu juga salah satu client kita. Jadi, saya pikir saya harus menerima dan menyampaikan pesannya kepada anda."
Sean menganggukkan kepalanya seraya mengangkat alis. "Ya kamu benar, dan sepertinya..." ia kemudian tampak sedikit terburu-buru membuka ponselnya yang tadinya tergeletak begitu saja di atas meja. Lalu ia masuk ke bagian pesan whatsapp dan mulai scrolling untuk mencari kontak bernama "Amanda" yang benar saja, ada beberapa pesan dari wanita itu yang tak sempat terbaca olehnya.
"Benar dugaan saya, dia ngechat saya tapi chatnya ketimbun."
Maudy yang mendengarnya cuma menganggukkan kepala seraya ber-oh ria.
"Baiklah kalau begitu, saya akan menghubunginya setelah ini. Terima kasih."
Sean pun melanjutkan sedikit lagi tugasnya lalu setelah selesai, ia memberikan kembali semua berkas-berkas tersebut pad Maudy dan si perempuan berambut sebahu itu pun pamit undur diri.
Sepeninggalan Maudy, sesuai perkataannya tadi, Sean pun mulai mengetikkan sesuatu di room chat bernama 'Amanda'. Ia berniat untuk membalas pesan perempuan itu yang baru saja sempat dibuka dan dibaca olehnya.
To: Amanda
Sorry, aku baru balas pesan kamu. Chat kamu ketimbun.
Yes, I'm okay. Aku kemarin ada liburan ke Jepang dan ya, semua kerjaan aku tinggal sementara di Jakarta. Kalau ada yang mau kamu bicarain soal project kita, tinggal kabarin aja. Kita bisa ketemu setelah jam kantor hari ini atau kalau kamu mau, kamu bisa datang ke kantor besok.
Pesan panjang kali lebar itu tak memerlukan waktu banyak untuk langsung dibaca dan dibalas oleh Amanda.
From: Amanda
Boleh aku telepon kamu sekarang?
Sean memandangi sebait pesan itu dengan alis yang sedikit terangkat. Tapi setelah beberapa saat ia menimbang-nimbang seraya melirik ke arah jam tangannya sebentar, ia pun memutuskan untuk mengiyakan kemauan gadis itu.
Lantas, tak butuh waktu lama, telepon masuk dari perempuan itu pun muncul. Tanpa pikir panjang Sean langsung mengangkatnya. Ia pikir, memang ada hal urgent yang ingin disampaikan Amanda sampai-sampai ia perlu menelepon Sean di tengah jam kerja seperti sekarang.
"Halo, Sean how are you?!"
Suara di seberang terdengar antusias namun sedikit serak.
"Yes, I'm okay. Kamu?"
Amanda terdengar menghembuskan napasnya pelan.
"I'm okay," katanya pelan. "Aku ingin banget ketemu kamu sekarang tapi kayanya... aku gak bisa."
"Kenapa? Kamu lagi di luar kota?"
"Bukan."
"..."
"Aku... di rumah sakit."
"Rumah sakit?"
"Hm, mendadak kemarin kondisi aku drop."
"Kamu opname? Di RS mana?"
"Gak apa-apa kok, I'm fine. cuma emang masih agak pusing aja."
Sean diam. Tak tahu harus berkomentar apa.
"Aku pengen banget ketemu kamu buat bahas soal project kita. Tapi aku belum bisa ke sana dulu."
"It's fine... Kamu gak usah maksa buat ke sini dulu."
"Ya... tapi aku ngerasa kita gak punya waktu lagi. Project itu harus segera finalisasi buat diputusin bakal gimana. Aku dikasih waktu cuma kurang dari satu minggu buat mulai lanjut realisasi."
Sean berpikir sejenak. Menimbang-nimbang tentang keputusan yang akan diambilnya setelah mendengar statement dari Amanda tersebut.
Lantas, tak berapa lama kemudian, Sean pun bersuara lagi.
"Yaudah, kamu shareloc aja rumah sakit di mana kamu dirawat sekarang. Jam makan siang ini, aku ke sana."
"Sean, kamu serius?" Suara di seberang terdengar antusias.
"Kamu bilang kita gak punya banyak waktu jadi... aku yang datang ke sana. Sekalian jenguk kamu."
"Okay, kamu benar. Kalau gitu, aku tunggu. Hati-hati di jalan."
Sean membalas dengan sebuah deheman pelan sebelum akhirnya ia bergegas menutup teleponnya dan kembali fokus pada pekerjaanya di laptop yang sempat tertunda.
****
kirain "hati-hati di jalannya" dari Seje, eh tahu-tahu...
:')
-putri-