Halowwww
cuma mau ngingetin buat siapin kipas, takutnya kepanasan wkwk
Ciuman pertama yang sebatas kecupan itu, kini berlanjut menjadi ciuman yang jauh lebih intens. Sean yang seolah mendapatkan lampu hijau dari Seje yang pasrah dan memejamkan kedua matanya itu, tak membiarkan waktu terbuang sia-sia.
Ia merapatkan kembali tubuhnya pada Seje. Menyatukan bibirnya dengan bibir ranum milik gadis itu lalu mengecupnya perlahan. Sebuah balasan yang dapat ia rasakan lantas membuat Sean semakin percaya diri. Laki-laki itu pun mulai menggerakkan sebelah tangannya, menjemput rahang Seje yang telah mendongak, seolah memberi akses bagi Sean untuk terus menciuminya.
Sementara itu, Seje yang telah sepenuhnya terbuai, masih tampak gugup dengan kedua tangan yang mengepal di depan dada. Dua mata gadis itu tak sekalipun berani ia buka. Hanya ditutup rapat dengan bibir yang sesekali membuka dan membalas ciuman Sean yang kian dalam.
Dua orang yang telah mabuk oleh keadaan itu tak lagi bisa berpikir secara jernih. Kenyataannya, mereka memang sama-sama mengingini ciuman itu. Terlihat dari bagaimana memburunya napas dua orang yang mulutnya saling memagut kian liar.
Berselang, di pertengahan ciuman mereka, Sean yang terlalu buru-buru akhirnya kehabisan napas. Laki-laki yang matanya telah sayu itu pun memberi jeda. Melepaskan pagutannya sebentar seraya membuka matanya sedikit. Melihat ke arah wajah Seje yang dua pipinya itu telah memerah sempurna.
Lalu, sebersit perasaan yang telah begitu lama ia benam mendadak menguar. Membuatnya seketika itu pula menggerakkan tangan kanannya, menyibak anak rambut Seje yang sedikit menutupi wajah gadis itu dengan lembut.
Sean yang mendadak teringat sesuatu lantas melirik ke arah kancing bajunya yang mana masih dililit oleh sebagian sedikit helai rambut Seje. Tanpa pikir panjang dan tanpa sepengetahuan Seje yang dua matanya itu masih betah berpejam, Sean pun melepaskan kancing bajunya tersebut, membuat separuh tubuh depannya telah terekspos sempurna. Namun syukurnya, upayanya tersebut berhasil melepaskan rambut Seje tanpa membuat gadis itu kesakitan.
"Rambut lo udah lepas."
Sean sebenarnya tak berniat untuk mengatakan kata-kata itu. Ia masih ingin melanjutkan keheningan di antara mereka dan kembali memagut bibir Seje yang seolah belum selesai dan juga masih mengingini ciuman darinya tersebut.
Tapi entah mengapa, perasaannya yang terlampau antusias sekarang berhasil membuatnya begitu ekspresif. Alhasil, ucapannya itu pun membangunkan Seje dari keterbuaiannya. Gadis yang agaknya sudah dijemput kembali oleh akal sehatnya itu pun melebarkan kedua mata bundarnya secara tiba-tiba. Membuat Sean yang memandang langsung padanya dari jarak yang terbilang sempit itu dapat menangkap ada rona syok berpadu bingung di sepasang mata Seje yang melotot itu.
"AP-APAA?!!
Seje memekik dengan gelagapan.
Lalu tanpa bisa Sean halau, gadis yang tampaknya sudah sepenuhnya sadar dan tak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi di antara mereka itu pun langsung mendorong dada Sean dengan sekuat tenaga. Berhasil menggeser tubuh bongsor Sean dari atasnya dan tanpa berpikir panjang, Seje langsung buru-buru bangkit dari baringannya.
"Hei—" Sean berteriak panik ke arah Seje yang nyaris limbung.
Gadis yang sedang panik dan kalang-kabut itu tak lagi bisa bergerak secara santai. Ia begitu bar-bar, melangkahi tubuh Sean, melompat dari atas kasur dan untung saja ia tak benar-benar nyungsep karena dua tangannya yang cekatan berhasil menahan tubuhnya dengan berpegang pada tembok.
Sean yang melihatnya pun cuma bisa bernapas lega. Ia pikir, Seje akan jatuh tersungkur. Tapi di satu sisi, Sean tak bisa menutupi rasa kecewanya. Ia pikir, ciuman tadi adalah sesuatu yang juga Seje ingini. Namun setelah melihat reaksi gadis itu yang telah berlari ke kamar mandi tanpa mengatakan apa-apa, Sean merasa bahwa dirinya adalah sosok yang begitu berdosa karena melakukan sesuatu yang tak diharapkan gadis itu.
Apakah seharusnya ciuman itu tak pernah terjadi?
Tapi tadi, Sean menyadari betul bahwa Seje juga membiarkannya. Gadis itu memejamkan kedua matanya bahkan membalas pagutannya.
Lalu kenapa sekarang, gadis itu pergi dengan ekspresi seperti itu?
Berapa kali pun Sean memikirkannya, ia tak tahu jawaban apa yang tepat.
Namun yang jelas, sosok lelaki jangkung yang kini telah berbaring telentang di atas kasur seraya memandang ke langit-langit kamar itu dapat merasakan bahwa ada desiran aneh di dadanya. Sebuah desiran yang membuat perasaan campur aduk kini muncul di benaknya. Perasaan yang pada akhirnya membuat sebelah tangannya bergerak, memegangi dadanya yang tiba-tiba saja serasa akan meledak.
"Am I... still like her?"
Gumamnya pelan.
****
Berbeda dengan Sean yang masih terlihat tenang di luar sana, pasca masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci diri, Seje adalah satu-satunya sosok yang memekik tanpa suara sembari mencak-mencak tak jelas.
Ia tak mengira, bahwa dirinya bisa terbuai seperti tadi.
Ia tak pernah membayangkan bahwa pertahanannya akan selemah itu. Ia kalah oleh napsunya dan terbuai dengan semua yang dilakukan Sean sampai-sampai ia...
Oh tidak, bayangan tentang dirinya dan Sean yang berciuman tadi kini muncul lagi. Bahkan perasaan dan rasa pada bibirnya kala mengecap bibir Sean, kini ikut kembali hadir.
Seje tidak tahu apa yang ia makan atau minum sampai-sampai ia kehilangan akal sehatnya dan menjadi sebinal itu. Iya, ia menyebutnya binal karena memang ia tak pernah melakukan hal-hal melewati batas seperti tadi. Bisa dibilang, Seje bukan tipikal gadis yang mudah dan murahan. Ia tak pernah ciuman sebelumnya. Bahkan dengan mantan-mantannya, ia hanya menjalani hubungan dengan skin touch minimalis di mana berpelukan adalah level paling tinggi. Bahkan cium pipi pun, ia belum pernah memperbolehkan siapapun untuk melakukannya. Termasuk Kuncoro brengsek itu yang sedari dulu sangat begitu ingin mengecup pipinya.
"Aisshhhh!"
Menyadari pikirannya yang mulai melanglang entah ke mana, Seje yang berdiri di hadapan cermin wastafel menyala itu pun memukuli kepalanya sendiri. Mengutuki kebodohannya sendiri yang telah begitu lemah di hadapan seseorang yang menurutnya tak seharusnya menerima ciuman pertamanya.
Tapi, dia Sean.
Pikiran itu sekelebat muncul begitu saja di benak Seje.
Lalu pembenaran-pembenaran berikutnya pun mengikuti, seperti tentang fakta bahwa Sean adalah suaminya. Kenyataan bahwa mereka terikat dalam satu ikatan suci yang membuat segala yang mereka lakukan tadi adalah sesuatu yang halal. Bukan hal yang perlu untuk ia sesali sebegitu parahnya. Bahkan mungkin, ia tak pantas untuk menyesal.
Namun, di sela-sela perasaannya yang mulai tenang dan menerima. Akal sehatnya yang bias akan egonya tersebut kembali muncul. Membawa serta penolakan-penolakan atas kejadian di beberapa menit yang lalu itu dan serta-merta membuat ia kembali menggelengkan kepalanya kukuh.
"Sean sialan..." desisnya seraya memandang pada sepasang matanya sendiri dari pantulan kaca di hadapannya.
Lalu, kedua tangannya ia angkat ke bawah keran wastafel yang seketika itu pula mengeluarkan air karena sensornya berhasil membaca kehadiran tangannya. Tanpa pikir panjang, Seje pun menampung air di kedua tangannya yang ia tengadahkan. Air itu selanjutnya ia basuhkan ke wajahnya secara kasar. Bibirnya yang tampak merah dan sedikit berantakan karena lipstiknya yang meleber akibat ciuman tadi kini ia gosok dengan cara tak kalah bar-barnya.
Seje tahu ia marah sekarang, dan ia meyakini bahwa dirinya berhak untuk merasa semarah itu. Ia bahkan sudah bersiap-siap untuk keluar dari kamar mandi dengan emosi yang ia kumpulkan terlebih dahulu untuk menyemprot Sean yang telah menciumnya itu.
Namun kemudian, semua itu runtuh dalam sekejap kala ingatannya kembali pada momen di mana bibirnya turut menikmati semua sentuhan yang diberikan Sean. Sialnya, ia bahkan kini menyadari bagaimana tadi ia sempat membalas kecupan itu dan terangsang olehnya.
Sebuah kenyataan yang membuat Seje mengepal dua tangannya kuat-kuat seraya menatap tajam pada sepasang matanya sendiri dari pantulan kaca.
Kemudian, Seje tak mengerti dengan debaran yang tak jua mau hilang dari dadanya.
Bahkan setelah kini ia berupaya untuk menghadirkan segala marahnya yang biasa selalu ada ketika ia berhadapan dengan Sean.
Tapi sekali lagi, semua itu tak tahu, hilang ke mana.
Hanya debaran berpadu perasaan campur aduk yang mengaduk-aduk benaknya itu yang tersisa.
Bersama sisa-sisa kecupan Sean yang seolah masih terasa hangat di bibirnya.
Sial...
Batinnya bingung.
****
Seje kayanya palanya perlu dibenturin ke dinding deh biar sadar kalau dia sama sean suami isteri :')
Well, thankyou sudah baca ini sampai sini dan sampai bertemu di part berikutnyaaaa
-putri-