DIDEKAP KALA ITU (TAMAT)

By Nisaka18

268K 13.3K 729

Kamila tak pernah menyangka harus membagi waktunya sebagai seorang istri dari Daffa Alhusayn. Dirinya masih a... More

PART 1: TIGA BULAN LALU
PART 2: SENTUHAN PERTAMA
PART 3: LEBIH DEKAT
PART 4: TENTANG DAFFA
PART 5: BONTANG-SAMARINDA
PART 6: TIDAK BETAH
PART 7: UNTUK PENGANTIN BARU
PART 8: PENASARAN
PART 9: PAGI BERSAMA KAMU
PART 10: KAMAR KITA
PART 11: KAMILA MUAL
PART 12: SAKIT
PART 13: BERBOHONG
PART 14: BUKU DAN PAKAIAN TAK SENONOH
PART 15: KEGUSARAN DAFFA
SS: BELAJAR MELAYANI SUAMI
PART 16: MIMPI ITU, RENGKUHANMU DAN KECUPANKU
PART 17: KEMBALI BERTENGKAR
PART 18: KONTRAKAN ITU
PART 19: TERKEKANG
PART 20: KABUR
PART 21: TELEPON DARI SEORANG PEREMPUAN
PART 22: RAGA YANG TAK BEBAS
PART 23: TELEPON DARI MAMA MERTUA
PART 24: BERHENTI MEMANGGIL 'KAKAK'
PART 25: BUNTUT KEBOHONGAN KAMILA
PART 26: LEPAS KENDALI
PART 27: ENGGAN BERSAMAMU
PART 28: CACIAN TAJAM
PART 29: KILASAN PERISTIWA MALAM ITU
PART 30: BERHENTI MENGHINDAR
PART 31: TAK DIINGINKAN
PART 32: YANG DISEMBUNYIKAN
PART 33: DOKTER KARTIKA
PART 34: SUASANA YANG BEKU
PART 35: OMONGAN TETANGGA
PART 36: ADA KABAR BAHAGIA
PART 37: GARA-GARA MANGGA!
PART 38: NIAT BURUK
PART 40: DALAM BAHAYA (2)
PART 41: RASA KALUT
PART 42: BELUM INGIN
PART 43: SELEMBAR FOTO
PART 44: BAYANGAN DIA
PART 45: CEMBURU
PART 46: SULIT MENJAUH
PART 47: MAKAM
PART 48: CINCIN
PART 49: MEMILIH PERGI
PART 50: MENGALIHKAN PIKIRAN
PART 51: MEMINTA BERPISAH
PART 52: PETUAH AYAH
PART 53: MERINDU
PART 54: MUAK
PART 55: BERTEMU?
PART 56: CARA BERKOMUNIKASI
PART 57: BERSUA MENEBUS RINDU (SELESAI)
EKSTRA PART 1: 'SEBUAH NASIHAT'
EKSTRA PART 2: 'MOMEN MANIS'
EKSTRA PART 3: 'PILLOW TALK'
SPECIAL PART: 'BUAH CINTA'

PART 39: DALAM BAHAYA

2K 111 14
By Nisaka18

Hargai tulisan ini dengan vote dan komen

🌸Terima kasih🌸

"Ini baru aja jam sembilan Daffa, dia tentu tau kapan pulang. Kan kamu udah ngasih tau dia? Toh, dia juga masih muda nak. Usia segitu apalagi mahasiswa sukanya ngumpul bareng teman-teman." Ujar Indi yang meletakkan kitab suci yang sedari tadi dibaca ke atas meja. Dia dan Daffa tengah duduk berdua di sofa di ruang tengah.

Indi tak tahu saja, jika pergaulan istrinya bagi Daffa tak dapat dipercaya sejak Daffa tahu Kamila pergi ke hotel. Berkumpul dengan teman-temannya. Mungkin bukan itu saja, ada beberapa tabir yang tak terbuka yang menyembunyikan sisi pergaulan anak muda yang tak bisa diterima Daffa. Tidak bermaksud mengekang Kamila, tetapi rasa takut dan khawatir istrinya terbawa pergaulan yang bebas membuat Daffa dirundung cemas.

Perasaan cemas inilah resiko setelah dia membawa Kamila pindah dari kota kecil yang bernama Bontang. Kamila beradaptasi dengan beragam watak manusia yang lebih keras di kota Samarinda.

"Kamu jangan terlalu keras sama istrimu, dia masih muda nak. Jangan terlalu dikekang, ini memang waktunya dia menikmati masa-masa mudanya. Jangan buat dia menyesal menikah dengan kamu. Tuntun dia pelan-pelan. Jangan jadikan perbedaan usia sebagai faktor perselisihan kalian. Meski jarak usia kalian tergolong jauh, kamu yang dewasa di sini nak. Kamu harus usaha untuk banyak-banyak pengertian." Daffa menoleh, tiba-tiba Indi berbicara panjang lebar tentang dirinya dan Kamila.

"Ibu lihat, Kamila tidak seperti kebanyakan perempuan. Ibu bersyukur kamu tidak jauh-jauh memilih perempuan sebagai istri. Kamila tidak banyak gaya. Bahkan ibu rasa istrimu tidak pandai merias wajah?" Sambung Indi sembari terkekeh pelan mengingat Kamila yang tergolong polos. Anak itu punya kecantikan alami meski tidak dipoles riasan wajah.

Daffa membalas dengan senyum tipis. 

Ya, istrinya memang tidak pandai bersolek. Namun, itu yang patut dia syukuri karena pria di luar sana pasti tak akan mudah melirik istrinya.

"Ibu perhatikan meja rias kalian tidak terlalu banyak alat make up, bahkan milik ibu lebih banyak dari Kamila." Indi kembali terkekeh lembut.

"Ngomong-ngomong.... kamu belum cerita ke Kamila?" Indi bertanya hati-hati. Daffa melirik Indi dengan ekor matanya.

Daffa yang tak juga membuka mulut membuat Indi tahu jika anak sulungnya belum menceritakan penyakit itu pada sang menantu.

"Bagaimana ibu mau cepat pulang kalau kamu begini nak. Ayah udah nelpon waktu itu, kaget tau-tau ibu kok di Samarinda. Ibu gak mau pulang sebelum kamu mulai melanjutkan pengobatan. Ibu takut itu semakin parah nak."

Kehadiran Indi menjadi tameng untuk Kamila, terlebih setelah ibunya percaya jika Kamila tengah hamil muda. Perempuan muda itu semakin dimanja dan disayang oleh sang ibu. Soal 'pengobatan' yang dimaksud Indi, Daffa masih enggan berbicara tentang itu. Apalagi memberitahu Kamila.

"Ibu gak usah cemas, Daffa akan lanjut pengobatan itu. Ibu bisa lihatkan Daffa juga sehat-sehat aja. Daffa akan cerita ke Kamila. Pasti Daffa akan cerita." Daffa menegakkan duduknya, berusaha membuat sang ibu percaya lisan dan tatapan seriusnya. Sayangnya tampak serius bukan jaminan. Daffa hanya mencoba merayu sang ibu agar lekas pulang. Supaya Kamila tak lagi bergantung dan bersembunyi di balik ibunya.

Benar kata Daffa, fisiknya tampak baik-baik saja. Tergolong sehat dan bugar. Indi lega melihat fisik dewasa Daffa yang tumbuh dengan baik. Namun, tetap saja ada rasa khawatir. Setelah tahu penyakit mental itu ada dalam diri Daffa yang ditutupi oleh fisiknya yang kuat.

"Ayah kasian, ibu tinggal lama, ibu sudah seminggu lebih di sini." Tak ada nada menyindir atau menyinggung ibunya untuk segera pulang. Daffa mengucapkan itu dengan lembut. Tanpa merasa tersinggung, Indi menangkap makna dari ujaran tersirat itu. Dia harus segera pulang karena ada suami yang perlu dia layani.

"Iya, Insha Allah ibu pulang. Mungkin lusa. Kamu harus lanjutkan terapi ya nak?" Ujar Indi dengan nada menuntut. Daffa langsung menganggukkan kepala mantap.

Pukul 09.15 ponsel Daffa bergetar di samping paha pria itu. Daffa meraih ponselnya dan mendapati panggilan masuk dari pak Anwar.

"Halo, assalamualaikum."

"Walaikumsalam pak Daffa. Pak ini saya lihat mbak Kamila ngikut masuk ke mobil orang. Saya gak tau itu mobil siapa pak. Mbak Kamila juga tidak menghubungi saya pak kalau ikut mobil itu. Saya telpon berkali-kali juga tadi tidak diangkat mbak Kamila."

"Loh? bapak di mana sekarang?" Tanya Daffa panik.

"Ini udah mau keluar parkiran, ikutin mobil itu pak."

"Bapak tolong ikutin terus mobil itu, saya nyusul. Ini bapak sudah di jalan mana?"

Daffa segera berdiri dan menuju kamar. Mengganti sarung yang tadi dia pakai dengan celana jeans panjang, lalu menyambar kunci mobil.

"Mau kemana Daffa buru-buru?" Indi mengernyit melihat Daffa bergerak cepat keluar rumah.

"Mau jemput Kamila bu."

"Kamilakan bareng pak Anwar nak."

"Iya, ini Daffa mau nyusul juga bu. Ibu di rumah aja. Kunci pagar. Daffa pergi dulu. Assalamualaikum." Setelah mengucapkan salam. Pria itu langsung masuk ke mobil meninggalkan sang ibu yang masih bingung.

***

Dina dan Kamila menjauh dari keramaian acara dan masuk ke toilet. Dina memutar kran wastafel, lalu Kamila mengambil sedikit air dan menyipratkan pada bagian roknya yang kotor. Kemudian, mengusap dengan tisu kering.

"Udah gak papah, entar kalau dicuci hilang kok." Ujar Kamila yang mendongak dan mendapati wajah Dina pucat.

"Maaf banget ya La, aku gak sengaja. Aduh mana gak kering lagi." Ucap Dina dengan perasaan bersalah. Kamila tidak menanggapi ungkapan maaf itu. Fokusnya dialihkan pada wajah pucat Dina dan remasan perempuan itu pada pinggiran wastafel toilet umum.

"Kamu gak papah Din?" Kamila memegang lengan Dina. Tubuh perempuan di hadapannya terasa lemah.

"Aku... aku cuma ngerasa capek aja La. Gak papah kok." Dina tersenyum lemah.

Kamila akhirnya mengangguk dan membenahi posisi hijabnya di samping Dina yang ikut memperbaiki riasan wajah.

Bruk

Mata Kamila membulat ketika badan Dina tiba-tiba saja ambruk di sampingnya. Perempuan itu tergeletak lemah di lantai toilet yang untungnya tidak kotor. Kamila yang panik segera berjongkok menepuk pipi Dina. Dia mengangkat kepala perempuan itu pelan agar disanggah oleh pahanya. Kamila menarik lepas masker Dina, supaya tidak menghalangi tarikan napas perempuan itu.

Kamila kembali terkejut mendapati lebam di rahang Dina yang tampak kebiru-biruan. Dia mengernyit memandang lebam itu yang awalnya ditutupi oleh masker. Dina rupanya jauh dari kata baik-baik saja.

Keadaan toilet yang sepi membuat Kamila berteriak mencari pertolongan hingga akhirnya ada langkah kaki yang terdengar buru-buru mendekat.

Seorang pria yang dikenal Kamila sebagai ayah dari temannya ini lantas mendekat dengan paras panik.

"Ini kenapa? Kok bisa pingsan gini?" Ujar lelaki dewasa yang mengenakan kaus polo bergaris itu. Dia mengambil alih badan Dina untuk digendong.

"Saya gak tau om, dia cuma bilang ngerasa capek aja tadi. Gak lama berdiri di samping saya, dia jatuh." Jawab Kamila yang tak sadar mengikuti langkah pria itu keluar.

"Kamu tolong bantu saya bukain pintu mobil ya, dan jagain Dina di belakang." Kamila lalu mengangguk dan ikut berjalan ke parkiran. Kamila bergerak cepat membuka lebar pintu mobil dan masuk.

"Ini kita mau ke rumah sakit om?" Tanya Kamila yang kini merapat pada sisi mobil, dia memberi ruang Dina agar dapat berbaring nyaman meskipun kedua tungkai Dina tetap ditekuk. Kepala perempuan itu Kamila angkat ke atas paha untuk menjadikan pahanya sebagai bantalan.

"Tidak, kita mau pulang aja. Acaranya tetap lanjut, nanti biar saya yang hubungi pihak kafe." Kata pria itu.

"Kayaknya dia memang kecapekan siapin acaranya sendiri dari pagi, saya dan ibunya gak bisa dampingi." Kamila hanya mengangguk.

Mobil itu pun keluar dari area kafe.

Di sisi lain, seorang perempuan memegang ponsel Kamila yang tadi ditemukan di toilet umum. Dia mendapati notifikasi panggilan tak terjawab sebanyak lima kali pada layar ponsel itu. Sherlia, berjalan cepat mencari keberadaan Kamila. Namun, di tengah acara yang ramai, di meja yang tadinya diduduki perempuan itu kosong. Hanya ada Intan dan Veni yang duduk usai bernyanyi di panggung.

Sherlia mengedarkan pandangan, mencari Kamila. Sampai netra itu merasa bingung tak mendapati eksistensi Kamila sama sekali. Ke mana Kamila? Dia akhirnya berjalan ke sudut, berdiri di dekat roof railing.

Kedua netra Sherlia menjatuhkan pandangan ke bawah, matanya menangkap sosok yang dikenali tengah berjalan cepat di parkiran. Mata Sherlia menyipit, menajamkan penglihatan. Dari atas, dia melihat Kamila berjalan mengikuti langkah seorang pria. Pria yang Sherlia kenali adalah om Aryo, suami siri Dina.

Sebenarnya apa yang terjadi? Aryo mengangkat tubuh Dina yang tak sadarkan diri dan Kamila ikut masuk ke dalam mobil itu. Apa yang terjadi pada Dina?

Mata Sherlia mengerjap melihat pajero itu keluar dari area parkiran diikuti mobil hitam di belakangnya.

Ponsel Kamila yang dia genggam bergetar, perlu beberapa saat sampai Sherlia memutuskan untuk mengangkat telepon itu.

"Halo, Kamila. Kamu di mana?" Suara yang terdengar tak sabar itu masuk ke rungu Sherlia.

"Ha-halo. Maaf ini Sherlia teman Kamila."

"...."

"E.. saya dapat hp Kamila di toilet. Tapi Kamilanya udah gak ada. Dia pergi-" ucapan Sherlia terpotong.

"Kamu tau dia ke mana?"

Jujur saja Sherlia tidak tahu ke mana tujuan mobil itu pergi. Dia hanya dapat mengarahkan ke alamat yang memungkinkan pria itu bisa menjemput Kamila.

Daffa dengan cepat membaca situasi. Dia mendapati info dari pak Anwar searah dengan apa yang diucapkan perempuan yang memegang ponsel istrinya di seberang sana.

"Kalau tidak keberatan, bisakah kamu mengantarkan HP istri saya ke sana?"

Sherlia menyanggupi.

***

Bersambung


Continue Reading

You'll Also Like

168K 13.1K 49
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
67.6K 425 7
Berisi kisah karangan penulis, dan hanya ilusi. Apabila ada kesamaan nama dan cerita mohon maklumi. Buat para pecinta Bxb. Cerita gay. Homopobic Mi...
118K 8.3K 72
⚠️⚠️⚠️Warning, adult content! Terdapat adegan kasar dan seksual implisit, mohon bijak untuk memilih bacaan sesuai umur!⚠️⚠️⚠️ ⚠️⚠️⚠️Cerita di private...
19.8K 755 62
Dareen Bravenand S. Pria berumur 24 tahun yang memilih karir menjadi seorang Fotografer Freelance. Terkenal, karena merupakan cucu ke 6 dalam daftar...