RIVALOVA: Should I Marry My F...

By ohputrianandass

18.1K 4.2K 1K

Sese Couple feat NCT Genre: Romance Comedy Released: April, 12th 2021 Rate: 16+ Blurb: "Kagak usah sok keren... More

INTRO
PROLOGUE
1. Tamu Dadakan
2. Warteg Mas Tarno
3. Nasib Buruk
4. Mabok
5. Insiden Semalam
6. Akad
Rivalova is Back!
7. Sebuah Kesalahan
8. Jadi, Apa yang Perlu Kita Bicarakan?
9. Kesepakatan
10. Echan dan Pertanyaan Brutalnya
11. Pagi yang Canggung
12. Pos Satpam
13. Perasaan Tulus
14. Urusan Gue Bukan Lo
15. Gadis yang Tertawa
16. Kelewatan
17. Merah Menyala
18. Terciduk
19. Pagi yang Berisik
20. Something Wrong With Him
21. Sebuah Permintaan
22. Jangan Takut
24. Bahagia atau Kecewa?
25. Garis Akhir yang Bagaimana?
26. Album Foto
27. Video Masa Kecil
28. Gerah
29. Bersin-bersin
30. Kemenangan Telak
31. Perasaan Aneh
32. Drama Depan Pintu
33. Siklus yang Sama
34. Tante Usil Menyebalkan
35. Tidak Suka
36. Akan Indah Pada Waktunya
37. Mengakulah!
38. Lo Yang Bisa Bikin Dia Berhenti
39. Lakon
40. Tuntutan Opung
41. Satu Kosong
42. Satu Sama
43. Sama-sama Keras Kepala
44. Ledakan Amarah
45. Kado Anniversary
46. Ayo Pergi!
47. Full Booked
48. Tumben Nurut?
49. 'Bukan'
50. Ketar-ketir
51. Panas
52. Bingung
53. "Kesalahan"
54. You Are Safe Now
55. Makan Malam dan Hal yang Mengejutkan
56. Menembus Hujan
57. Kenapa Dia Melakukan Semua Ini?
58. Lepas Kendali
59. Ketahuan
60. Kalian Harus Melakukannya
61. Satu Pelukan Saja
62. Hati-hati Di Jalan
63. Biar Gue Jemput
64. Renovasi
65. Ceroboh
66. Sungguhan atau Kepura-puraan?
67. Sean Lagi
68. Kenyataan Pahit
69. Pulang Sendiri
70. Panas dan Impulsif
71. Urusan Masing-Masing
72. Gossip
73. Tumpah Ruah
74. Disappointed
75. Hal-hal yang Berakhir Melukai
76. Berhari-hari
77. Mimpi atau Kenyataan?
78. Permohonan Maaf
79. Pengakuan
80. Keraguan dan Pertemuan
81. Perjanjian Pernikahan
82. Confess
83. Pertanyaan yang Bikin Emosi
84. Ya, Gue Juga Mau
85. Jangan Bilang Sean Setan Lagi
86. Lo Jangan Aneh-aneh, Nanti Gue Laporin Polisi
87: You Hate Her But You Like Her More
Chapter 88. A Wedding Gift
Chapter 89: Obat dari Segala Kesakitan
Chapter 90: Too Hot to Handle

23. Tumben

176 45 12
By ohputrianandass

Voteeee dulu ygy jangan jadi sideerrrrr

"Huwaaa!"

Itu bukan suara Seje yang sedang berteriak seperti tadi malam, melainkan suara perempuan itu yang sedang menguap puas karena ia baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya.

Well, Seje memang tidur dengan nyenyak sekali tadi malam. Ia tidak tahu hal apa yang membuat tidurnya seberkualitas itu tapi ia yang menyudahi segala ketakutannya semalam dengan memeluki Sean tersebut menyadari bahwa setelah adegan menggelikan itu, ia mendadak ngantuk berat dan tertidur begitu saja.

Di sela-sela kantuknya, ia dapat mendengar derap langkah kaki laki-laki itu yang pelan-pelan menjauhi kasurnya. Ia bahkan tak sempat mengucapkan terima kasih pada Sean karena begitu mengantuk, tapi toh tidak mengapa. Ia masih bisa bertemu dengan Sean lagi hari ini, atau barangkali nanti-nanti.

Melirik ke arah jam dindingnya yang berwarna biru, Seje menguap sekali lagi sembari membatinkan angka yang ditunjuk oleh jarum jam.

Jam setengah sembilan.

Lumayan juga tidurnya, begitu yang ia pikirkan berikutnya. Tapi tak berapa lama, Seje kembali dibuat tercenung kala ingatannya dipukul mundur pada satu momen aneh antara dirinya dan Sean semalam.

Jangan takut, gue ada di sini...

Oh shit!

Membayangkannya saja sudah membuat Seje merinding. Bagaimana bisa semalam ia terbuai oleh sebaris kata-kata dari Sean tersebut. Perlu dicatat sekali lagi. Kata-kata itu terlontar dari bibir Sean! Seorang Sean yang sangat menyebalkan itu! Bagaimana bisa ia sempat berpikir bahwa Sean terdengar baik dan keren semalam—

"Aish! Pffft! No!"

Seje mendadak menyilang-nyilangkan tangannya di depan dada. Seolah berupaya menghapus segala pikiran positifnya tentang Sean.

"Tidak! Tidak! Lo salah, Je. Ayo, buka pikiran lo!"

Bermonolog, Seje berbicara pada dirinya sendiri seraya menunjuki wajahnya dan berekspresi sendiri, seakan-akan dirinya sedang memarahi dirinya sendiri.

"Dari pada lo menyesal jadi lebih baik lo kubur ekspektasi lo. Yuk bisa yuk!"

Ucapnya lagi dan kali ini, cepat-cepat ia menghembuskan napasnya sembari merapikan rambutnya yang sudah mengembang seperti singa.

Ia yang telah merasa isi kepalanya jauh lebih jernih pun beranjak dari tempat tidurnya. Tadinya, ia sudah percaya diri untuk menderap ke arah pintu dan keluar dari kamarnya. Tapi mendadak Seje dibuat kicep kala mendengar suara TV menyala sayup-sayup. Jam segini, Sean memang biasanya sudah bangun. Apalagi ini hari Senin, laki-laki itu pasti sudah siap dengan setelan kerjanya dan akan berangkat sebentar lagi, atau mungkin dia sudah pergi.

Tapi, Sean tidak pernah pergi begitu saja dengan membiarkan TV tetap menyala.

Itu artinya, Sean masih ada di ruang tengah.

Tapi, kenapa sekarang dua kaki Seje seolah berat untuk melangkah? Padahal tenggorokannya sudah kering kerontang. Ia ingin keluar untuk ke dapur dan mengambil air minum karena sialnya persediaan airnya di kamar sudah habis. Namun, haruskah ia bertemu muka dengan Sean sekarang?

Tidak tahu kenapa, ingatan tentang semalam masih hilir mudik di kepala Seje dan itu berhasil mengikis rasa percaya dirinya untuk bertemu dengan Sean.

Alhasil, melangkah mundur lah gadis itu. Justru memutar arah dan berjalan ke kamar mandi dengan perubahan rencana yang dilakukan secara dadakan. Entah bagaimana, ia memutuskan untuk cuci muka dan sikat gigi terlebih dahulu sebelum keluar.

Sialnya, ia berakhir menyisiri rambutnya dan memakai skincarenya secara niat hanya untuk keluar dari kamarnya dalam keadaan lebih baik.

Baik, mari katakan bahwa Seje sudah gila karena ia mendadak memikirkan bagaimana penampilannya sebelum meninggalkan kamarnya padahal kemarin-kemarin ia bahkan tak peduli ketika harus keluar dengan rambut seperti singa dan mata yang penuh belekan.

Ya, Seje sudah gila karena ia baru bisa merasa tenang untuk menemui laki-laki itu, setelah memastikan bahwa rupanya sudah terlihat baik-baik saja.

****

Entah mengapa, pagi ini Sean sedang ingin memanggang roti dan memakannya dengan selai kacang. Jadilah ia sedari sepuluh menit yang lalu sudah berjibaku dengan alat-alat dapur. Tampak begitu kaku namun berhati-hati karena ia tak ingin pakaian kantornya yang kebetulan berwarna terang itu akan menjadi kotor karena keteledorannya.

Di tengah-tengah sesi menyiapkan sarapannya, Sean agak dikagetkan dengan kemunculan tiba-tiba Seje di ambang pintu dapur. Gadis itu sama terkejutnya dengan dirinya. Entah Seje memang tak mengira bahwa akan bertemu dengan Sean di dapur, atau barangkali Seje sedang melakukan satu kesalahan yang tak diketahui oleh Sean. Entahlah, yang jelas sekarang mereka saling memandang canggung. Sama-sama tampak bingung, sebelum akhirnya Seje yang lebih dulu sadar, buru-buru melanjutkan derapnya ke arah wastafel untuk mencuci tangan.

"Gue kira... lo udah berangkat."

Niat Seje ingin sekedar berbasa-basi, tapi agaknya satu pertanyaannya itu justru semakin memunculkan kecanggungan di antara mereka. Maksudnya, sejak kapan Seje dan Sean seakrab itu untuk membicarakan hal remeh seperti yang diucapkan Seje barusan? Tentu saja jawabannya tidak pernah.

"Belom. Masih ada waktu setengah jam lagi buat gue berangkat."

Dan lebih anehnya, Sean menjawabi ucapan Seje tersebut dengan begitu normalnya. Sungguh bukan sebuah kebiasaan yang lumrah di antara mereka.

"Oh..."

Seje ber-oh ria. Mengundang reaksi dari Sean yang berdiri menghadap meja bar, tak jauh dari posisinya. Laki-laki itu melirik sebentar pada Seje yang justru melamun dan membiarkan tangannya terus diguyur oleh air wastafel. Tidak tahu apakah gadis itu sengaja, tapi agaknya Sean tahu bahwa tangan yang berlama-lama dibiarkan di bawah air bukanlah kebiasaan yang baik.

"Mau sampai kapan lo basuh tangan lo di bawah air kaya gitu?"

Satu pertanyaan bernada menyindir dari Sean itu telah berhasil membangunkan Seje dari lamunannya. Gadis itu pun tersentak, buru-buru menjauhkan tangannya dari bawah pancuran sembari memutar kenop saluran air yang berselang langsung mati.

"Ah..."

Tak ada yang bisa Seje katakan karena jujur saja, ia sedang menahan malu sekarang. Ia tak habis pikir dengan dirinya sendiri, kenapa otaknya tak mau mangkir dari kejadian semalam? Bahkan sampai-sampai membuatnya melakukan hal bodoh dan memalukan seperti barusan.

Oh Seje, sepertinya ia butuh membasuh kepala dan tubuhnya sekarang agar lekas sadar.

"Lo kenapa?"

Sean yang menyadari ada keanehan di sosok Seje, lantas bertanya.

"Gue? Gak kenapa-napa."

Tentu saja haram hukumnya bagi Seje mengakui apa yang sedang mengganggunya sekarang. Bisa-bisa Sean besar kepala dan memperlakukannya secara semena-mena.

"Bohong."

"Apanya?"

"Ada yang ganggu pikiran lo kan?"

"Enggak! Siapa bilang?"

"Gue."

"Dih, sotoy."

"Yaudah."

"Yaudah!"

Diam keduanya yang perlahan menjadi jeda di antara mereka. Seje yang mulai kikuk akhirnya memilih untuk kembali menderapkan kakinya ke arah pintu dapur. Ia yang tadinya memiliki rencana untuk mengambil air minum, kini sudah lupa dengan niatnya itu. Eksistensi Sean rupanya seberpengaruh itu.

"Terus kalau dugaan gue salah, sekarang kenapa lo pergi gitu aja?"

Satu suara Sean tersebut, kembali menginterupsi atensi Seje.

Gadis itu pun berbalik, 

memandang pada Sean dengan ekspresi wajah yang seolah mengatakan, "maksud lo apaan?"

"Lo yang ke mari tadi, pasti punya tujuan kan? gak mungkin lo cuma mau cuci tangan. Lo bisa cuci tangan lo di kamar mandi lo sendiri."

Dang!

Bagai cambuk yang memukul ingatannya, Seje lantas dibuat sadar akan niat utamanya hendak ke dapur tadi. Alhasil, bergeraklah ia dengan gestur terburu-buru menuju dispenser untuk mengambil air minum.

Sementara itu, Sean yang melihatnya tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Alhasil, tanpa pernah diketahui gadis itu, Sean mengulum senyumnya. Dua tangannya bergerak secara natural mengoleskan selai ke atas roti, sedangkan senyum di bibirnya ia tahan-tahan.

"Mau langsung pergi gitu aja?"

Sekali lagi, suara Sean yang menggelegar di seisi dapur menginterupsi Seje yang baru saja hendak kembali bergerak menuju pintu. Tadinya, gadis itu ingin langsung pergi sembari membawa segelas air minumnya. Tapi karena Sean barusan, jadilah ia berhenti lagi dengan tatapan penuh tanya yang diarahkan pada Sean.

Alih-alih menjawab Seje, Sean justru menghampirinya seraya menyodorkan sepiring roti yang telah siap ia buatkan tersebut kepada sang gadis. Sukses membuat Seje kian terbenam dalam kebingungan. Tak mengerti sama sekali dengan maksud dari tindakan Sean tersebut.

(anggaplah yang disodorin Sehun ini roti ygy haha)

"Ini..."

"Buat lo."

"Hm?" Seje masih clueless.

"Roti ini buat lo." Sekali lagi, dengan penuh kesabaran Sean mengulangi kata-katanya. Tapi agaknya, ia yang mulai malu dengan tindakannya tersebut lantas buru-buru menarik sebelah tangan Seje untuk berikutnya ia letakkan piring yang dipegangnya ke atasnya.

Seje yang melihatnya lantas dibuat cengo sebentar. Bukan apa-apa, ini adalah kali pertama Sean memberikannya sarapan yang dibuatkan langsung oleh laki-laki itu. Biasanya, boro-boro berbagi makanan, Sean yang memasak makanannya itu sendiri kadang sangat tega membiarkan Seje menciumi aroma enaknya tanpa sekali pun berniat untuk menawarkan walau sekedar basa-basi.

Tapi kali ini...

Sean kesambat jin tomang?

Batin Seje bertanya-tanya.

Sayangnya, berapa kali pun ia bertanya di dalam hati. Tak jua ada jawaban tepat yang bisa dipilihnya sebagai kesimpulan. Yang ada, ia malah kembali melamun seperti orang ilang arah dan Sean lah lagi-lagi yang menyadarkannya.

"Mau sampai kapan lo berdiri di situ doang?"

"Ah?—ah!" Seje lantas menganggukkan kepalanya kikuk seraya memutar tubuhnya begitu saja. Berjalan ke arah pintu dengan pikiran kosong.

Untungnya, sebelum benar-benar meninggalkan Sean yang masih betah di dapur, Seje menyempatkan diri untuk berbalik sebentar ke arah laki-laki itu, menyampaikan rasa terima kasihnya dalam satu gestur yang masih sama canggungnya.

"Thanks... buat rotinya."

Sean tak membalas apa-apa, selain mengangkat kedua alisnya seraya mengangguk pelan.

****

Berhubung kelas hari ini masuknya siang, Seje berangkat ke kampus sendirian. Ia memanfaatkan ojek online yang sangat mudah diakses, tanpa perlu bergantung pada orang lain, apalagi pacar orang.

Oops, Seje jadi dibuat bernostalgia.

Dulu sekali, ya belum terlalu lama sih. Ada sekitar 3 atau 4 tahun lalu ketika ia masih duduk di bangku SMA. Ada masa di mana ia begitu menyukai seseorang. Namanya Randy, kakak tingkat yang masuk dalam jajaran most wanted di sekolah.

Secara kebetulan, sosok yang menjadi crush pertamanya di semasa sekolah itu juga menaruh ketertarikan pada Seje. Jadilah mereka menjalin hubungan cinta monyet yang mana itu juga merupakan hubungan pertama bagi Seje.

Karena baru pertama kali pacaran, Seje terbilang masih sangat noob dan kaku. Ia juga tak mengerti poin-poin apa saja yang harus ia wajarkan dan patut untuk dijadikan sebagai warning di dalam hubungannya. Terutama soal kebiasaan teman sekelasnya yang secara kebetulan tinggal sekomplek dengan Randy.

Semula Seje pikir, tak mengapa membiarkan temannya menebeng dengan pacarnya. Toh niatnya hanya untuk membantu Siska yang saat itu memang sedang tidak bisa diantar jemput oleh papanya. Tapi tahu-tahu, setelah sebulan lebih dua orang itu pulang pergi bersama, ada modus tersembunyi yang dilancarkan oleh Siska.

Tanpa pernah Seje duga, Siska memiliki niatan untuk menggoda Randy yang saat itu merespon. Dua orang itu bermain api di belakangnya. Memposisikan Seje sebagai gadis bodoh yang tak tahu apa-apa, bahkan sampai dengan sebulan kemudian di mana Randy dan Siska telah sebulan lamanya menjalin hubungan. Di hari itu pula, Seje mengetahui semuanya, kala tanpa sengaja, dirinya menangkap basah dua orang itu yang sedang berkencan di salah satu mall dekat sekolah.

Sungguh sebuah kenangan yang sangat tengik bahkan untuk sekedar lewat sebentar di pikiran.

Itulah mengapa kala kini fikirannya sempat sampai pada momen lama itu, Seje pun buru-buru menggeleng-gelengkan kepalanya, Berharap dengan demikian, dirinya bisa membuang segala hal yang berkaitan dengan ingatan menjijikkan itu.

Ya, itu menjijikkan bagi Seje.

Bukan soal Randy yang berpaling dan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.

Tapi lebih dari itu, Seje benci atas fakta bahwa dirinya telah dibodohi oleh dua orang yang sempat ia percayai. Jika waktu bisa diputar, Seje mungkin tak akan membiarkan nama dua orang itu masuk dalam lingkup kepercayaannya. Ia benci mengakui bahwa keputusannya menaruh rasa percaya pada orang lain adalah kesalahan.

"Lah, Je. Ngapa lo? Mabok lem?"

Yudhistira yang duduk di sampingnya seperti biasa, asal nyablak, mengomentari sikap Seje barusan yang agaknya kurang normal.

"Gak apa-apa kok, tadi ada sampah di kepala gue." Tak kalah ngasal, Seje menjawab pertanyaan yudhistira santai, tanpa dosa.

"Ha? Sampah di kepala lo?"

"Ho oh."

"Abis dari mana lo bisa ada sampah di kepala lo? Bantar gebang?"

"Gak tahu tuh, gue juga bingung. Mana sampahnya bau banget."

"Lo kali yang belom mandi."

"Enak aja! gue udah mandi ya! tadi pagi."

"Lah, pagi doang? Sebelum berangkat ke mari gak mandi lagi lo?"

"Ya ngapain, buang-buang air."

"Dih! Pantes bau. Coba sini gue foto muka orang belom mandinya."

"Iiiiih apaan dah Yud!!!" Seje merengek seraya menepis ponsel temannya itu yang sudah mengacung ke depan wajahnya. Untung saja ia menepisnya tak begitu kuat sehingga tak sampai membuat ponsel baru Yudhistira tersebut jatuh ke lantai.

Sementara itu, Yudhistira yang maha jahil itu sudah cekikikan sendiri sembari meneruskan ejekannya. 

"Dasar bau lo."

"Enak aja! Enggak ya!"

"Bau, belom mandi."

"Eh, emang iya?" Seketika Seje yang dikatai dengan tampang serius oleh Yudhistira itu pun panik. Ia kira, ucapan yang asal keluar dari bibir Yudhistira itu adalah kebenaran. Padahal nyatanya, Yudhistira yang sedang batuk pilek tak bisa mencium sama sekali. Penciumannya tersumbat oleh ingusnya yang sudah mengeras seperti kerak bumi.

"Ya mana gue tahu, wong gue pilek."

"Ah ela Yudhistirot!"

Satu geplakan di kepala lelaki bertato itu pun sukses membuat Yudhistira nyaris terjerembab, jika saja Tri yang baru datang tidak buru-buru menahan tubuh laki-laki itu.

"Astaghfirullah nih perempuan ye, tenaganya persis kuda!"

Yudhistira mengomel-ngomel, dengan mata yang sudah mendelik sempurna ke arah Seje. Sementara si gadis bersikap bodoh amat. Mengabaikan amarah Yudhistira dengan menaruh atensi pada sebungkus gorengan yang baru saja dibawa oleh Tri.

"Wiiiii emang ya, Tri cintaku yang paling ganteng sedunia!!"

"Ada maunya aja lo baik-baik kaya gitu ya setan." Tri merespon pedas, seperti biasanya.

Tapi Seje yang mendengarnya tak pernah dibuat marah. Tri dan mulut sampahnya adalah perpaduan yang telah menjadi suatu kewajaran di telinga Seje.

"Btw, dalam rangka apaan nih bawa ginian?" tanya Seje seraya mengunyah tahu bakso favoritnya itu. Lalu berselang, belum juga ia sempat mendengar jawaban Tri, isi pikiran Seje justru terinterupsi oleh hal lain.

Kata-katanya sendiri yang baru saja ia ucapkan mengundang satu momen familiar yang baru saja terjadi tadi pagi. Momen di mana Sean secara tidak biasa memberikannya sepiring roti isi selai. Sebuah tindakan yang sangat amat dan langka sampai-sampai memicu pertanyaan di benak Seje yang sampai detik ini tak jua mendapatkan jawaban.

"Oy, Je! Lo denger gue gak sih?" Tri yang sebal karena Seje mengacuhkannya itu lantas menepuk pundak sang perempuan pelan.

"Lo ngapa malah jadi melamun sih? Padahal tadi nanyain gue!"

"Eh iya, iya. Sorry, tiba-tiba aja ada yang muncul di kepala gue."

"Ah elah! Susah banget kayanya abis jadi binik orang, lo sering banget cengo. Hah heh hoh mulu!"

"Dih apaan sih."

"Ya bener loh, barusan lo ngapain kalau gak melamun?"

"Ya maap."

"Maap-maap."

"Dih, sensi banget sih lo. Gue kan gak sengaja."

Tri memutar bola matanya malas. Enggan mendengar alasan Seje yang ia tahu, itu cuma sebatas alasan yang belum tentu kebenarannya. Jadi alih-alih meneruskan perdebatan tak berkualitasnya dengan gadis itu, Tri memilih untuk mengambil sepotong goreng pisang dari dalam bungkusan, lalu memakannya dengan lahap.

Di tengah-tengah sesi mereka yang menikmati gorengan di dalam kelas yang baru diisi oleh mereka bertiga saja, Seje secara dadakan mengajukan satu pertanyaan random yang mengundang kerutan, baik di dahi Tri maupun Yudhistira.

"Eh gue mau nanya dong. Biasanya... kalau orang yang mendadak berubah itu, karena apa ya?"

Tri yang sempat diam dan mengamati gerak-gerik Seje itu akhirnya menghembuskan napasnya panjang.

"Kenapa? Siapa yang berubah? Aneh banget pertanyaan lo,"' responnya tanpa menjawab.

"Enggak, gue nanya doang nih."

"Ya tapi dalam rangka apa?"

"Gak dalam rangka apa-apa, cuma kepo aja."

"Ya lo kepo karena apa? Pemicunya gitu loh."

"Dih kepo banget lo! Jawab pertanyaan gue aja gak bisa apa?"

"Enggak."

"Dih!" Tri sungguh sangat ingin menelan Seje hidup-hidup sekarang.

"Dohh! Kalian mesti banget ribut gara-gara pertanyaan itu doang?" Yudhistira yang agaknya jengah dengan dua sahabatnya yang tak ada hari tanpa ribut itu, akhirnya menengahi. Dengan sebelah tangan yang memegang sukun goreng dan mulut penuhnya yang sedang mengunyah, Yudhistira bangkit dari posisinya. Ia berdiri menghadap Seje dan Tri yang secara kebetulan duduk bersebelahan.

Lalu, ia menumpukan atensinya pada Seje seraya menunjuki gadis itu dengan tangannya yang memegang sukun goreng.

"Lo nanya apa tadi, Je? Kenapa orang bisa tiba-tiba berubah ya?"

Seje menganggukkan kepalanya. Wajahnya memperlihatkan bahwa ia menaruh ekspektasi tinggi terhadap temannya itu.

"Gitu doang lo pada bingung? Yaelah, gampang mah!"

"Yaudah, jawab aja kalau gampang." Sahut Tri sewot.

"Lo mau tahu kenapa orang bisa mendadak berubah dari biasanya?"

Tri dan Seje sama-sama diam, menunggu.

"Itu karena biasanya, si orang itu udah mau dekat sama ajalnya. Makanya dia berubah."

Krik... krik...

Sempat hening di detik awal pasca Yudhistira menjawab. Tapi tak berapa lama, Seje langsung bangkit dari tempat duduknya dan menjitak kepala cowok yang jauh lebih tinggi darinya itu dengan tampang sebal.

"Mulut lo ya! Sembarangan!"

Yudhistira yang tak mengerti mengapa Seje bisa semarah itu, cuma bisa memegangi kepalanya yang terasa panas sembari sambat-sambat sendiri. Sementara itu, Seje justru dibuat kepikiran dengan kata-katanya barusan.

Benarkah seseorang mendadak berubah karena ajalnya sudah dekat?

Itu artinya...

Sean...

Seje yang membatinkan nama itu buru-buru menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sekali lagi ia berupaya membuang pikiran-pikiran sampah dari dalam kepalanya.

****

Yuhuu, dah mulai ya manisnya tipis-tipis dulu ges hihi

Btw, terima kasih sudah membaca sejauh ini dan nantikan terus chapt2 berikutnya yaaaa! 

Ayo beri komentar kalian ya biar aku makin semangat buat update ini terussss. 

see yaa

-putri-

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 50.2K 44
(BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Warning! Mengandung unsur kata kasar! Harap bijak dalam memilih bacaan! Suatu hal yang paling buruk bagi Atlantik...
3.9M 86.7K 53
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...
121K 7.7K 23
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
612K 58.3K 46
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...