Vote dulu sebelum bacaaaaaa!
Akhir-akhir ini Seje memulai kembali hobi lamanya, menulis. Ia biasa melakukannya di masa-masa senggang, terutama akhir pekan, ketika ia sudah begitu lelah hanya rebahan dan scrolling media sosial.
Minggu pagi ini pun, ia melakukan hal yang sama. Duduk di hadapan laptopnya dengan sepasang mata yang dilapisi kacamata bening berukuran cukup besar. Satu cup kopi yang dipesannya melalui ojek online kini telah berdiri tegak di atas meja, tepat samping laptopnya. Tak lupa sekaleng pringles dan sebungkus ciki berukuran sedang yang sudah dibukanya ia letakkan pula di samping laptopnya. Semua itu kian lengkap dengan pemandangan langit kebiruan dan tiupan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya.
Ah, agaknya Seje tak salah pilih ketika ia memutuskan untuk menulis di balkon atap rumahnya. Ini memang kali pertama, dan sepertinya Seje akan mulai sering melakukan hobinya itu secara rutin di tempat ini.
Karena semua hal yang ia butuhkan telah tersedia, dan suasana juga telah berhasil membangkitkan moodnya, maka ritual menulisnya pun sudah bisa dimulai. Ia hanya perlu menjauhkan ponselnya agar tidak terdistraksi dan bisa tetap fokus dalam jangka waktu yang lama.
Tapi baru juga ia memulai, tak sampai sepuluh menit, sesuatu yang lain justru menginterupsi atensinya. Siapa lagi kalau bukan Sean Solihun.
"Hhhh!"
Seje membuang napasnya jengah saat dilihatnya laki-laki itu muncul dari arah tangga. Entah dengan maksud apa, cowok yang terlihat santai dengan setelan celana pendek dan kaos oblongnya itu, membawa dua jinjing plastik putih berukuran lumayan besar yang Seje tebak berisi bahan-bahan belanjaan seperti sayur, daging, cabai dan teman-temannya.
Seje pun berhenti memainkan jemarinya di atas keyboard laptop. Matanya fokus memandangi Sean yang kini telah berjalan mendekati satu dipan kayu yang masih baru di tengah-tengah rooftop, lalu meletakkan barang bawaannya di sana.
Setelah berupaya mencerna dan menganalisis, Seje akhirnya sampai pada satu kesimpulan. Asumsinya tersebut kian kuat kala dilihatnya Sean telah menggeser panggangan besi berwarna hitam ke arah yang agak menjauhi tembok. Sungguh sebuah pergerakan yang sejujurnya tak diharapkan oleh Seje sama sekali.
"Lo mau barberque-an sekarang?!"
Tentu saja, Seje kontra dengan niat Sean tersebut. Bisa-bisanya laki-laki itu hendak manggang-memanggang sekarang? Maksudnya, di antara banyaknya waktu lain, mengapa harus hari ini? Pagi-pagi begini? Di waktu dan jam yang sama dengannya yang baru saja hendak menemukan ketenangan batin dan menikmati me timenya dengan tenang.
"Iya, kenapa?" Sean berbalik tanya. Terkesan mengintimidasi.
"Gak bisa entaran aja? gue masih di sini." Seje tak mau kalah. Kini telah menampilkan tampang garangnya, seolah ia juga tak akan pindah dari tempatnya yang sudah sangat pewe itu.
"Gak bisa. Perut gue udah lapar." Mengacuhkan tatapan laser Seje yang seolah siap untuk menelanjanginya itu, Sean memilih menyibukkan diri dengan menata arang-arang yang dibelinya ke dalam panggangan.
Tentu saja, sikapnya itu mengundang reaksi Seje yang mulai emosional. Alhasil, bangkitlah gadis itu dari tempatnya. Berjalan menghampiri Sean dengan kedua kaki yang dihentak.
"Lo ngide dari mana sih pagi-pagi buta begini barberque-an?!" semprotnya sesaat setelah berdiri di hadapan Sean.
Sementara itu, cowok yang dimarahi itu bukannya peduli, ia malah meneruskan niatnya. Bahkan kini sudah mengeluarkan daging dan sayur-sayuran dari dalam dua plastik putih yang dibawanya tadi.
"Woah! Lo ya! bener-bener! Eh! Gue bicara sama lo! Tuli lo?!"
"Ya gue denger, cuma males nanggepin aja."
"Hhhh!" Seje rolling eyes. Agaknya kesabarannya sudah tinggal selapis lagi. "Sekarang gue kasih tahu lo baik-baik ya, lo mending turun sekarang! Lo apa gak bisa lihat gue duluan yang ke sini? Gue bahkan belum setengah jam di sini. Gue baru aja mulai dan lo bisa-bisanya tiba-tiba muncul di sini dan ganggu gue? Gak bisa!"
"Gue ganggu lo? Perasaan gue manggang-manggangnya di sini. Bukan di situ."
Sean menunjuk ke tempat di mana tadinya Seje duduk. Laptop, kopi dan jajanan perempuan itu bahkan masih ada di atas meja putih tersebut.
"Ya tapi lo ganggu gue, ngerti gak sih?!"
"Ganggu?" Sean tak habis pikir. "Gue di sini. Lo di situ. Kita selesaiin aja urusan masing-masing tanpa saling peduli. Gampang kan? Kenapa lo selalu mempersulit segalanya?"
Mendengarnya, sudah barang tentu Seje mendecih berang.
"Gak ganggu lo bilang? Cih! Lo gak lihat gue lagi ngapain?!"
"Gue gak peduli."
"Woah!!!" Sungguh, Seje sangat ingin mencakar muka Sean yang songong itu sekarang juga. "Gue serius ya, dari pada lo gue banting dari atas sini, mending lo turun sekarang. Gue lagi males ribut."
"Alih-alih lo yang banting gue, kayanya elo deh yang bakal kebanting."
"Sean—"
"Cie manggil-manggil nama gue."
Kening Seje berkerut dalam. Kadang-kadang ia masih suka dibuat terkejut dengan perubahan sikap Sean yang suka mendadak aneh begini. Maksudnya, ia baru saja bersikap dingin dan keras kepala. Layaknya Sean yang biasa Seje temui. Tapi terkadang, ada momen di mana Sean membercandainya, seperti barusan.
"Bodo amat! Pokoknya cepat lo turun atau—"
"Atau apa?"
"Hm?"
Seje mendadak gagu saat secara tiba-tiba Sean yang tadinya duduk di atas dipan itu kini berdiri, melangkah mendekat dan menghadap padanya, dalam satu gerakan cepat.
"Atau apa?" tanya cowok itu dengan suara beratnya.
"Sean, lo mabuk?"
Dari posisi mereka sekarang, Seje bisa merasakan ada aroma alkohol yang sedikit tercium dari napas Sean. Dan itu seolah cukup untuk menjawab pertanyaannya tadi. Tentang Sean yang mendadak aneh. Seperti yang beberapa waktu lalu pernah dilakukan laki-laki itu, dan lagi... semua itu karena ia mabuk.
"Gue cuma minum sedikit, that's not really enough to make me drunk."
"Tapi tetap aja. Lo minum. Parah banget sih... ini bahkan masih jam—"
"Apa peduli lo sih?"
Laki-laki di hadapan Seje itu kini terus memajukan kakinya selangkah demi selangkah. Berhasil membuat Seje terus-terusan mundur hingga akhirnya punggung gadis itu mentok ke dinding.
"Sean..."
Dan si lelaki pun menghentikan pergerakannya saat disadarinya Seje sudah tidak bisa menghindarinya lagi.
"L-lo bahkan gak pulang kan semalam? Lo pulang barusan? Dan lo abis minum?"
Seje meneruskan ucapannya. Bermaksud membuat Sean sadar dan agar dirinya juga bisa segera menemukan celah untuk menghindari tubuh besar Sean yang kini sudah mengungkungnya itu.
"Sean... lo denger gue?"
Seje bertanya kala dilihatnya cowok di hadapannya itu hanya memandanginya lamat. Sungguh sebuah cara menatap yang tak disukai oleh Seje. Sean terlihat seperti seorang bajingan yang tengah menelanjangi Seje dengan sorot matanya itu. Seje tidak menyukainya. Itu seperti bukan Sean yang biasa ia lihat. Walau ya, Sean yang biasa tak kalah menyebalkannya tapi itu masih jauh lebih baik dibanding Sean yang seperti ini.
Sean yang sekarang, sedikit menakutkan.
"Sean—"
"Gue tanya... apa peduli lo?" Akhirnya suara rendah itu kembali terdengar. Tapi entah bagaimana justru membuat Seje agak merinding.
"Gu-gue bisa kasih tahu mama dan papa lo kalau kelakuan lo kaya gini."
Satu seringaian tajam tertampil di wajah Sean.
"Gue pikir lo cuma minum sekali-sekali tapi ini... udah kelewatan. Gue udah cukup sering ngelihat lo mabuk abis minum kaya gini dan—"
Cup!
Tanpa aba-aba, Sean mencuri satu ciuman dari bibir Seje. Berhasil membuat gadis di hadapannya itu memembelalakkan kedua matanya sempurna. Seolah dua bola mata itu siap melompat keluar jika saja satu ucapan yang keluar dari bibir Sean berikutnya, tak membuatnya cepat-cepat sadar.
"Apa lo juga bakal aduin soal ini?" tanya Sean tanpa dosa.
"L-lo... Apa yang baru aja lo lakuin?!—"
"Apa lo juga bakal ngadu kalau gue cium lo—"
Plak!
Satu tamparan keras tanpa permisi mendarat di pipi Sean. Saking kerasnya, bahkan pukulan itu berhasil membuat wajahnya tertoleh ke arah kanan.
"Brengsek..." desis Seje dengan tatapan emosional.
Tapi agaknya hal tersebut tak lantas membuat Sean sadar. Laki-laki itu justru kembali menghadirkan satu seringaiannya itu. Seulas senyum tipis yang terkesan merendahkan di mata Seje.
"Apa lo juga bakal bilang kalau lo nampar gue?"
Dahi Seje berkerut dalam saat mendengar kata-kata Sean tersebut. Ia tak habis pikir. Hal apa yang membuat Sean bertingkah seaneh itu pagi ini? Ia sedang ada masalah? Sesuatu yang berat sedang mengusik hidupnya? Tapi kenapa ia harus melampiaskan semua itu pada Seje yang tak tahu apa-apa?
Menyadari bahwa bukan waktu yang tepat untuk meladeni Sean yang sedang tidak stabil, Seje pun memutuskan untuk mendorong tubuh bongsor itu dari hadapannya dan bergegas pergi dari sana.
Tapi sebelum pergi, Seje menyempatkan diri untuk berbalik pada Sean. Memandangi laki-laki itu dengan sorot mata merendahkan sebentar, sebelum akhirnya mengujarkan satu kalimat yang ditujukan sebagai sebuah balasan.
"Gue gak pernah nyangka, kalau ternyata..."
Sean menatap Seje dengan tatapan kosong.
"Lo memang sebrengsek itu, Sean."
Dan sepertinya, itu merupakan sebuah balasan yang telak.
Karena setelah mengatakannya dan pergi begitu saja, Seje meningalkan Sean yang tampak berdiri terpekur di tempatnya.
Entah apa yang ada di dalam kepala laki-laki itu.
Tapi yang jelas, ia terlihat tidak baik-baik saja.
****
Huwaaaaaaa
Ayoo siapa yang ikut berdebar pas Sehun ngedekeeeet? eueueueue
Oke deh cukup sekian untuk part ini dan semoga kalian suka. Aku tunggu reaksi kalian di kolom komen yaaaa hehe >-<
Btw thanks sudah vote dan baca ini. Semoga kalian terus ngikutin sampai ending yaaaa.
-putri-