Kalau ada yang tulus jangan disia-siain, banyak orang yang merasa kehilangan karena telat menghargai:)
-Holipehh-
Note : Siap Untuk Meramaikan kolom komentar?🐣
****
"Dikta kenapa?" tanya Juno yang baru saja datang, dengan nafas yang masih ter engah-engah.
Gerri yang duduk bersandar di tembok tidak sanggup untuk menjawab, ia juga bingung menjelaskan semuanya, karena ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi.
Gladis yang paham akan sikap Gerri, langsung beranjak mendekat ke arah Juno, kakaknya.
"Aku sama kak Gerri gatau, tiba-tiba pas aku dateng ke rumahnya, kak Dikta berlumuran darah. Aku sama kak Gerri langsung ngebawa ke rumah saki," jelas Gladis.
Juno langsung mengepalkan kedua tangannya, ia memukul-mukul tembok rumah sakit, ia tidak peduli disebut orang gila sekalipun sama orang yang memperhatikannya.
"Kak Juno, udah kak, udah!" Gladis menarik tubuh Juno, lalu memeluknya.
Kalau saja Gladis tidak menghentikan aktifitasnya, mungkin tangan Juno sudah memar dan membiru.
"Ini semua salah gue, harusnya gue nggak ninggalin lo, Dik." Gumam Juno pelan.
"Ini bukan salah kak Juno, kakak jangan ngomong kayak gitu."
Juno melepas pelukan Gladis, ia melangkah ikut duduk mendekati Gerri yang tidak bersuara sama sekali dari tadi.
"Bilang sama gue, Ger. Siapa yang udah ngebuat Dikta masuk UGD?!" tanya Juno wajahnya terlihat penuh dengan amarah.
Gerri tetap tidak menjawab, ia menekukan kakinya, terlihat sekali ia sangat ketakutan jika terjadi apa-apa terhadap Dikta.
Juno menepuk-nepukan kedua rahang Gerri. "Jun, bilang sama gue!"
"Kak, udah!" Gladis tidak tega dengan Gerri yang terus disudutkan, padahal Gerri tidak tahu apa-apa.
"Arggghhhttt!"
Teriak Juno, ia tidak terima dengan kejadian yang membuat sahabatnya bisa kehilangan nyawa.
"Kak, udah.." lirih Gladis.
Juno mencoba mengatur nafasnya, menghela air matanya yang menetes perlahan.
"Eca, dimana?" tanya Juno dengan pelan.
Gladis menggelengkan kepalanya. "Aku gatau, kak. Kayaknya kak Eca belum tahu tentang kak Dikta yang masuk rumah sakit."
Dengan cepat Juno mengambil ponsel yang berada disaku celananya, ia beberapa kali mencoba menghubungi Airsya. Namun nihil, tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu.
"Arggghhttt anjing, kemana itu anak!" Juno mengumpat.
Beberapa pesan yang Juno kirimkan juga tidak ada satupun yang dibalas oleh Airsya, padahal itu terkirim.
Gladis mengelus pundak Juno. "Sabar kak, nggak enak sama bundanya Dikta."
Gladis melempar pandangannya kepada bundanya Dikta yang lagi duduk di kursi roda, sambil tak berhenti mengeluarkan air matanya, menangis tersedu-sedu.
Juno yang terlalu fokus pada Airsya, langsung melirik seorang perempuan paruh baya yang ternyata bundanya Dikta, Melita.
Juno melihat ke arah Melita, lalu melangkah mendekat. "Bundanya Dikta?" Ia berlutut, menyamakan tingginya dengan kursi roda tersebut.
Ya, Juno memang belum pernah ketemu sama bundanya Dikta, karena Juno tidak pernah di ajak Dikta main ke rumahnya, bahkan untuk sekedar mampir.
Melita mengangguk. "Iya, "
"Dikta kenapa bisa sampai seperti ini, tante?" tanya Juno.
"Kak!" Gladis memanggil Juno dengan penuh penekanan.
Gladis tidak ingin Juno memperkeruh suasana, ia tahu kakaknya begitu emosional jika terjadi apa-apa di sekitarnya, apalagi terhadap orang-orang yang disayanginya.
Juno mengehembuskan nafasnya pelan, ia harus bisa menahan emosinya. "Maaf bunda, Juno nggak bermaksud buat bunda makin sedih."
"Gappp..ppappa...Gapa..pppapa." Melita tersenyum, walau dengan air mata yang terus mengalir di kelopak matanya.
"Kalau tante nggak mau cerita gapapa, Juno ngerti."
"Papanya Dikta punya penyakit mental..."
Gladis dan Gerri ikut mendengarkan, mereka juga sebetulnya penasaran apa yang terjadi terhadap sahabatnya itu.
Melita menarik nafasnya panjang, ini hal yang paling sulit, membongkar aib keluarganya sendiri. Tetapi, mau bagaimanapun juga ia tidak bisa melihat anaknya terus memikul kesakitan seperti ini.
Gladis mendekat, ia menggengam tangan Melita, Mencoba menengkan wanita paruh baya itu yang terus menangis.
"Tante... Kalau nggak mau cerita, jangan di paksain ya, Tan.." kata Gladis.
"Ka..ka..llau Dikta sa..lah sedi..kit.. tu..tubuh..nya.. kena..pu..kull.. sama.. papanya..." Melita menjelaskan dengan isak tangisnya.
Ketiganya yang mendengarkan langsung membulatkan matanya, air mata pun kembali menetes.
Bagaimana mungkin Dikta bisa menyembunyikan itu semua? Seolah- olah ia yang paling baik-baik saja, tapi justru kenyataan membunuh itu semua, Dikta paling sakit.
"Dik..tttaaa.. anaknya... ku..kuaat.. ttaaapii... pinntterrr... boo..hong." Melita mencoba mengatur nafasnya, menahan isak tangisnya. "Gak Nunjukin rasa sakitnya dan pura-pura ngelihatin kalau keluarganya bahagia."
Juno seaakan bungkam, ia tidak bisa berkata lagi. Dikta penipu yang hebat, pembohong yang cerdas, bahkan Juno yang sudah bersahabat dengan Dikta bertahun-tahun saja, tidak tahu akan hal ini.
"Hingga malam itu tiba, tante bangun dari tidur dan mendapati anak tante terbaring lemah, dengan darah yang tidak berhenti mengalir di sekujur tubuhnya." Lanjut Melita.
Gerri sudah tidak bisa menahan air matanya untuk tidak turun. Bagi Gerri, Dikta adalah teman yang paling baik, paling pengertian dan mengerti akan kondisi dan kekurangannya dalam bidang finansial.
Bahkan Gerri masih ingat betul ketika Dikta memberikan mobil untuknya, hanya karena Dikta tidak tega melihat Gerri yang selalu jalan kaki datang ke sekolah kalau tidak nebeng dengan Juno. Padahal Dikta sendiri menggunakan motor tua ke sekolah, yang kalau mogok di jalan sudah di pastikan terlambat.
"Terakhir yang tante ingat, saat itu tubuhnya Dikta kaku taa...ta..ppii.. papa nya terus memukulnya dengan stick golf." Melita tidak kuasa menahan air matanya, ia kembali menangis.
Juno mengepalkan kedua tangannya, apakah orang tua yang sekejam itu, ada di dunia? Juno yang jarang berinteraksi dengan orang tuanya sekalipun, tidak pernah di perlakukan layaknya binatang, seperti yang di alami oleh Dikta.
"Terus sekarang papa nya Dikta, kemana tante?" tanya Gladis.
Melita menggelengkan kepalanya, "Tante gatau, papanya Dikta, kabur dari rumah..."
Juno semakin mengumpat dalam hatinya, sungguh papanya Dikta benar-benar keterlaluan, kalau saja ia tidak punya hati nurani, mungkin ia sudah mengirim seluruh anak buahnya untuk mencari papanya Dikta yang bajingan itu dan melakukan hal yang sama, seperti apa yang dilakukannya kepada Dikta.
"Tante yang sabar ya... Gladis yakin, kak Dikta pasti kuat, dia hebat tante..."
Juno dan Gerri mengangguk bersamaan, begitupun dengan bundanya Dikta.
Gerri yang tidak bisa berkata apa-apa hanya bisa diam, sambil mempererat genggaman tangannya pada Gladis, ia sangat terpukul akan kejadian yang menimpa Dikta.
Seorang laki-laki paruh baya berbaju balutan Jas berwarna putih, keluar dari ruang UGD, tempat dimana Dikta di periksa. Ya, namanya Dokter Fais.
Melita dan ketiga teman anaknya yang melihat Dokter Faiz keluar dari ruangan UGD, langsung menghampirinya dengan langkah cepat.
"Bagaimana Dok, keadaan anak saya?" tanya Melita.
Dokter Faiz diam sejenak. "Pendarahan di kepalanya tidak bisa berhenti, beberapa luka sobek di bagian tubuhnya juga membuat infeksi pada beberapa organ tubuhnya, kecil kemungkinannya jika Anak ibu bisa bertahan, tapi jangan pernah putus untuk berdoa, keajaiban akan selalu ada."
Mendengar pertuturan Dokter Faiz, membuat Melita rapuh, seakan kakinya tidak kuat untuk mengopah tubuhnya.
"Terus sekarang bagaimana dengan keadaan Dikta, Dok?" tanya Juno.
"Dikta akan saya pindahkan ke ruang ICU, sampai keadaannya benar-benar membaik," jelas Dokter Faiz.
"Apa boleh di jenguk?" Kata Gerri, yang baru membuka mulutnya sedari tadi.
Dokter Faiz menggelengkan kepalanya. "Ruang Icu hanya untuk pasien yang kritis, tidak diperbolehkan untuk umum."
Mendengar Dikta yang kritis membuat nafas Melita seakan terhenti, sungguh ia takut jika nanti Dikta meninggalkannya, ia tidak sanggup dan tidak akan pernah sanggup kehilangan anaknya itu.
Begitupun dengan Juno, Gerri maupun Gladis, mereka benar-benar mengkhawatirkan keadaan Dikta di dalam sana.
Tapi, dimana Airsya? Apa tidak ada sedikitpun kepedulian atau keinginan tahuannya tentang keadaan Dikta? Juno terus bergumam tentang hal itu.
Bersambung...
Udah Baca Diktair berapa kali?😶
Btw, makasih yang udah setia sama cerita aku yang banyak kurangnya ini😭
Makasih juga udah suka sama Dikta, padahal you know gimana masa lalunya Dikta, sangat tidak pantas untuk ditiru😭
With Love, holipehh💛