Makanya nyarinya pake motivasi bukan perasaan.
---
"Besok aku harus ke Bandung buat ngambil nilai," kataku ke Damara pagi-pagi, "Mandeh juga udah mesenin tiket buat pulang besok," tambahku lagi.
"Gak bisa tetep di sini aja selama liburan?" Damara tampak sedih mendengar itu.
"Maaf, Dam, gak bisa. Aku diwajibin sama kampus buat ngambil dan tadi malem Mama juga udah nyuruh aku pulang ke Kalsel. Mama kangen banget sama aku katanya."
"Kamu nanti ke sini lagi, ya? Jenguk aku di rumah baru!" kata Damara.
"Wah, keren, kamu bakalan beli rumah sendiri, Dam?"
"Iya. Kita bakal ketemu di sana nanti."
"Tapi bukannya nanti kita juga bakal ketemuan lagi di Bandung pas masuk perkuliahan? Kan, gak selamanya kamu ngambil cuti."
"Kamu jangan lupain aku," mintanya dan gak ngerespon pertanyaanku. Aku jadi curiga dia mutusin buat berhenti kuliah di Bandung dan fokus ke pengobatannya di sini. Tapi aku milih buat gak nanyain hal itu karena aku yakin nanti Damara bakalan bilang ke aku.
"Enggak bakalan." Aku mengacungkan jari kelingkingku pertanda janji.
~~~
"Anin! Main gali-galian, yuk! Siapa tau dapet harta karun!" ajak Damara bermain tanah siangnya pas matahari lagi terik-teriknya.
"Sama siapa?" tanyaku.
"Aku, dong!" katanya semangat. Padahal aku mengira akan bermain tanah bersama Adiknya, Anindita. Saat itu yang bisa diajak main cuman Anindita, sedangkan Andre masih bayi.
"Kamu, nih, kayak anak kecil aja. Udah gede juga. Harusnya yang kamu ajak main malah Dek Dita," kataku malas.
"Nanti aja main sama Dek Dita, sekarang aku mau main sama kamu dulu. Karena katanya di sini ada harta karun, jadi bantu aku buat ngegali. Kalo beneran ada harta karunnya, buat kamu aja, deh, janji." Damara berlari keluar layaknya anak kecil sambil ngebawa dua sekop pasir mainan milik Adiknya Anindita.
Aku kemudian terpaksa menuruti permintaannya. Pertama, kami menggali tanah di dekat ayunan dan yang kedua kami menggali tanah di samping garasi. Tapi kami gak menemukan apapun.
"Mana ada harta karun," cibirku yang kepanasan.
"Makanya nyarinya pake motivasi bukan perasaan." Damara balik mencibirku sambil tertawa, "sekarang kita gali di bawah pohon mangga gede itu, yuk!"
"Ini terakhir, kalo gak ada aku nyerah." Aku dan Damara kemudian ke sana dan mulai menggali. Setelah beberapa menit menggali, Damara berteriak kegirangan karena melihat suatu kotak yang nampak.
"Nah, kan, beneran ada ternyata!" Damara segera ngeluarin kotak kayu yang cukup besar itu.
"Nih, kayak janjiku, buat kamu aja," Damara menyerahkan kotak itu padaku.
"Ih, yang bener?" aku menatap kotak kayu itu dengan saksama. Damara mengangguk.
"Kira-kira isinya apa, ya?" tanyaku penasaran.
"Kayaknya isinya cinta, deh." Aku memutar kedua bola mataku mendengar gombalan Damara.
"Aku buka sekarang aja, deh, kalo gitu," kataku.
"Eh, jangan! Kamu bukanya pas udah pulang ke Kalsel aja!" Damara melarangku untuk membukanya.
"Emang kamu gak penasaran sama isinya?" tanyaku.
"Ini emang buat kamu dari aku!" Damara ketawa karena dramanya berhasil mengelabuiku.
"Kenapa gak dari tadi aja langsung ngegali di sini? Kenapa harus ngegali di tempat lain dulu?!" kataku agak kesal karena kepanasan.
"Suka-suka aku, dong." Damara meledekku.
"Emang isinya apa, Dam?"
"Nanti kamu tau sendiri," kata Damara santai.
~~~
Malamnya, aku sibuk mempersiapkan barang termasuk "harta karun" dari Damara untukku bawa pulang di kamar besok, sedangkan Damara di ruang tamu disibukkan sama video call dari Kak Radit yang minta saran Damara buat milih baju. Kak Radit kayaknya bakalan nge-date sama pacar barunya.
"Kalau manuruik den yo rancak yang tadi lai, atau yang iko ang ganti selah baju ang yang kemeja flanel tu a," kata Damara pas lagi video call sama Kak Radit.
(Kalo menurut gua lebih cocok yang tadi, atau yang ini lu ganti bajunya pake kemeja flanel,)
"Ah. Den nio nyo pakai baju yang indak terlalu formal bana do," Kak Radit nampak gak setuju dengan saran Damara.
(Ah. Gua pengennya pake baju semi formal,)
"Sok-sokan gaya ang mah pakai baju indak terlalu formal. Kalau dak pakai baju partai sekali!" Damara emosi kemudian langsung menutup video call dari Kak Radit itu lalu mendatangiku.
(Sok-sokan semi formal gaya lu, kalo gitu pake aja baju partai sekalian!)
"Mau dibantu?" tawarnya.
"Kamu kayaknya paling akrab sama Kak Radit, ya?" Aku tertawa melihat Damara dan Kak Radit yang sering meributkan hal kecil.
"Kayaknya gitu, sih." Damara tertawa kecil.
~~~
Besoknya aku diantar Damara dan Mandeh ke bandara pagi-pagi. Sebelum memasuki ruang tunggu, Mandeh memeluk dan berterimakasih padaku karena telah membantunya dan Damara. Aku juga berterimakasih ke Mandeh karena sudah repot memfasilitasiku dari datang sampai pulang.
"Ini buat Mandeh," Aku ngasih Mandeh syall yang sebelumnya pernah aku beli sewaktu lagi kuliah lapangan.
"Cantik banget, terimakasih Anin!" kata Mandeh dan langsung menerima pemberianku.
"Ini buat Damar." Aku memberinya kotak kado kecil yang isinya parfum dan juga gelang karena Damara suka pakai gelang.
"Makasih, Anin. Tapi inget! Kamu udah janji ke aku bakalan ke sini lagi ngunjungin aku!" kata Damara dengan muka seriusnya. Dia lalu ngambil kadoku.
"Aku bakal ke sini lagi nanti ngunjungin kamu. Tapi kamu juga harus ngunjungin aku!" pintaku.
Damara mengangguk setuju dan berbisik padaku, "Doain aku terus, ya, dan lain kali kalo kamu ke sini lagi, aku mau kamu ngasih aku bunga yang banyak. Kamu, kan, tau, aku suka yang wangi-wangi," kata Damara sambil mengelus-elus rambutku pelan, "sampe jumpa lagi di lain waktu!" tambah Damara dengan tatapan penuh. Kini giliran aku yang mengangguk.
"Kalo gitu Anin masuk, ya? Terimakasih Ndeh, Dam!" Aku berjalan masuk setelah melambaikan tangan. Damara dan Mandeh masih menungguku sampai aku bener-bener menghilang dari pandangan mereka.