Tentang Kamu dan Rindu โœ…

By lailiazzda

25.7K 1.6K 307

Ini adalah cerita tentang aku yang tak bisa seumur hidup dengan seorang lelaki yang sudah jelas seumur hidupn... More

Bagian 1 - Aku
Bagian 2 - Sebuah Rencana
Bagian 3 - Sebuah Mimpi
Bagian 4 - Terdiam
Bagian 5 - Rumah Makan Padang
Bagian 6 - Begadang
Bagian 7 - Sekolah Damara
Bagian 8 - Danau Talang
Bagian 9 - Jam Gadang
Bagian 10 - Kepergok!
Bagian 11 - Pelukan Pertama
Bagian 12 - Seribu Rumah Gadang
Bagian 13 - Homestay
Bagian 14 - Video Call
Bagian 15 - Seribu Rumah Gadang (2)
Bagian 16 - Puncak Bangun Rejo
Bagian 17 - Puncak Pinang Awan
Bagian 18 - Kebun Teh Liki
Bagian 19 - Lubuak Paraku
Bagian 20 - Berpisah dengan Sumatera Barat
Bagian 21 - MOS
Bagian 22 - Cekcok
Bagian 23 - Rancak Bana!
Bagian 24 - Penolakan
Bagian 25 - Hadiah
Bagian 26 - Hamil?!
Bagian 27 - Melahirkan
Bagian 29 - Masalah
Bagian 30 - Kejutan atau Trauma?
Bagian 31 - Kalimantan Selatan bersamamu
Bagian 32 - Berantem
Bagian 33 - Bullying
Bagian 34 - Fitnah
Bagian 35 - Merantau
Bagian 36 - Kuliah
Bagian 37 - Sisi Lain
Bagian 38 - Janggal
Bagian 39 - Sedikit Diriku Untukmu
Bagian 40 - Jujur
Bagian 41 - Harta Karun
Bagian 42 - Pulang
Bagian 43 - Mungkin Saja
Bagian 44 - Tempat Pulang
Bagian 45 - Album Foto
Bagian 46 - Khusus Buatmu, Dam.

Bagian 28 - Hilang

85 14 0
By lailiazzda

....Aku makan hatiku sendiri.

---

Seiring waktu berjalan, aku mulai sibuk akibat persiapan ulangan akhir semester kelas 11 menuju kelas 12, sedangkan Damara sibuk mengurus persiapan ujian masuk perguruan tinggi, ujian-ujian di sekolah, dan mungkin juga sibuk mengurus Adiknya, Anindita.

Sampai saat itu, aku belum bisa bertemu sama Damara lagi. Meski aku masih berhubungan dengannya, tapi sejak Damara memasuki kelas 12 akhir, kami jadi jarang banget berkomunikasi seintens dulu.

Mungkin karena itu, kami jadi bisa paham kesibukan masing-masing. Tapi pada kenyataannya, aku sendiri ngerasa "sedikit kehilangan" karena rutinitas yang biasa kami berdua lakukan dulu sudah berbeda jauh. Jujur saja, aku kangen banget sama Damara, tapi aku juga gak pengen gangguin kesibukannya. Jadi aku cuman bisa menunggunya menghubungiku terlebih dahulu.

Sampai aku mengakhiri liburan semester dan menginjaki awal kelas 12, ternyata aku gak kunjung dapetin suatu kabar apapun juga dari Damara, sosial medianya pun gak ada pembaharuan dan aku lihat cuman aktif sesekali. Aku mulai khawatir kalo-kalo terjadi sesuatu pada dirinya. Karena itu aku akhirnya mutusin buat menghubungi Mandeh.

"Halo Mandeh, apa kabar?!" kataku pas telepon sudah terhubung sama Mandeh.

"Hai, Cantik! Baik banget, nih, apalagi pas Anin telpon, Anin gimana juga kabarnya? Kamu pasti makin cantik, deh!" jawab Mandeh dengan suara hangat.

"Anin baik kok, Ndeh, Mandeh pasti juga makin cantik banget!"

"Aduuh... bisa aja kamu. Syukur, deh, kalo gitu."

"Ah, iya! Anin udah lama gak liat Adik Anindita, boleh liat gak, Ndeh?" tanyaku sebagai pembuka topik sebelum aku menanyakan inti yang ingin aku tanyakan.

"Boleh banget Sayang, kamu juga harus tau, sekarang Dita udah bisa jalan meskipun gak lama, nanti Mandeh kirim fotonya aja, ya? Soalnya sekarang Mandeh lagi kerja jadi Dita dititipin ke Neneknya,"

"Ih, pasti Dek Dita makin lucu dan cantik. Gak sabar pengen liat Dita kalo ketemu. Tapi kenapa dititipin ke Nenek, Ndeh? Damara emangnya kemana?" tanyaku mulai ngerasain kejanggalan.

"Lho, Anin gak tau, ya? Damar sekarang udah di Jawa Barat liburan sebelum masuk kuliah jadi mahasiswa baru. Dia kuliah di sana," kata Mandeh yang kaget mendengar pertanyaanku. Tapi tentu aku sendiri jauh lebih kaget.

"Beneran, Ndeh?" tanyaku memastikan bahwa aku gak salah dengar.

"Beneran, masa Mandeh bohong,"

"Ooo... soalnya Anin gak tau," Aku gak bisa nyembunyiin rasa kecewaku karena Damara gak ngehubungi apalagi ngasih tahuku perihal hal ini.

"Emangnya Anin gak berhubungan lagi sama Damar?" tanya Mandeh.

"Gak ada, Ndeh, terakhir waktu liburan semester kemaren," kataku menahan dadaku yang tiba-tiba terasa sesak.

"Kok gitu?"

"Anin takut ganggu Damar, keliatannya Damar sibuk banget semenjak kelas 12 kemaren,"

"Terus Damarnya ada ngehubungin Anin, gak?"

"Ada sekali, abis itu gak pernah lagi," kataku makin sedih.

"Ih! Kok, tu anak kayak gitu, sih!" Mandeh mendengus sebal.

"Gapapa, Ndeh, Anin ngerti kok Damar pasti sibuk buat ujian masuk perguruan tinggi dan ujian sekolah waktu itu," kataku. Sebenernya aku bohong. Aku aslinya sedih banget.

"Maafin anak Mandeh ya, Sayang. Tapi Mandeh tau dia pasti punya alasan kenapa gak ngehubungin Anin," dari nada di telepon, Mandeh ngerasa bersalah karena perilaku anaknya itu.

"Anin gapapa, beneran!" kataku meyakinkan Mandeh.

"Emang Anin gak kangen Damar?" tanya Mandeh dengan nada khawatir. Aku diam gak menjawabnya karena malu, "gengsi, ya?" tanya Mandeh lagi setelah gak mendapat jawaban dariku, kini Mandeh malah tertawa. Aku akhirnya tertawa kecil juga.

"Kapan Damara kuliahnya, Ndeh?" tanyaku ke Mandeh.

"Dua bulan lagi kira-kira,"

"Kok sekarang ke Jawa Baratnya?"

"Mau liburan katanya. Udah bosen di rumah,"

"Oke, Ndeh, kalo gitu nanti titip salam buat Damara,"

"Oke, abis ini Mandeh suruh Damara langsung ngehubungin Anin, ya!"

"Makasih banyak, Ndeh!" Aku sedikit lega mendengar itu.

Setelah berbincang hal lain, akhirnya berakhir obrolan singkatku sama Mandeh dengan perasaan campur aduk. Karena dikasih harapan sama Mandeh, aku jadi nungguin Damara menghubungiku sampai larut malam. Tapi ternyata aku tetep gak dihubunginya sama sekali. Terkadang ada sesekali aku melihatnya online di sosial media namun Damara tetep gak memberikanku satu pesan pun.

Dengan kesal aku hempaskan tubuhku ke kasur dengan semua perasaan dan pikiran yang mengawang gak jelas. Yang aku tahu, saat itu aku diterpa kebingungan akan pertanyaan mengapa Damara tega gak memberiku kabar bahagia dan menurutku itu penting buat dikatakan padaku. Padahal dulu, Damaralah yang selalu mengabariku semua yang ingin diberitahukannya terlebih dahulu, baik itu berita penting sampai yang gak penting sekali pun.

Itu semua bikin aku jadi terbiasa buat pengen tahu segala hal tentangnya. Tapi kali ini aku bener-bener kecewa karena Damara gak menghubungiku sedikit pun. Pertanyaan demi pertanyaan mengambang dalam lamunanku, apakah Damara melupakan aku? Apa Damara sudah bosan denganku? Dan yang membuatku semakin sebal adalah pemikiranku yang tiba-tiba muncul dan membuat aku ingin mencaci makinya yaitu apa Damara sudah punya pacar maka dari itu Damara gak pernah lagi menghubungiku? Sialan!

"Kalo kamu punya pacar terus kita selama ini deket itu apa, Dam?!" kataku bergumam sebal sambil memeluk bantal erat.

"Kalo emang bosen, kan, bisa bilang baik-baik jangan langsung ngilang gini, dong. Kamu bikin aku khawatir!"

"Katanya mau nunggu aku, tapi yang kayak gini aja udah ilang terus malah punya pacar!"

"KALO SAMPE ITU SEMUA BENERAN TERUS KITA KETEMU AKU GAK MAU NEGOR KAMU LAGI SAMPE KIAMAT KUBRA!" kataku lagi lalu memukul bantal dengan suara yang ku tekan supaya gak terdengar ke luar kamar. Semua emosi menggerogotiku kepalaku, dan kerasa mendidih kalo gak cepet-cepet di keluarin, bisa-bisa meledak.

Ku pukul kepalaku dengan bantal beberapa kali supaya semua pikiran negatif berhenti menghantuiku. Tapi ternyata sia-sia saja, akhirnya dengan semua emosi, aku gak tahan lagi, ku tumpahkan semua bentuk emosiku melalui tangisan di penghujung malam itu. Kalo sampe semua pikiranku itu bener, itu adalah patah hati yang paling pertama buatku. Dari sini aku sadar sepenuhnya bahwa Damara ternyata amat penting dalam hidupku.

~~~

"Anin, bangun! Udah jam 8 lewat. Gak ke sekolah hari ini?!" Mama mengguncang tubuhku dan aku kaget mendengarnya.

"Apa?! Aduh mati banget Anin telat!" Aku langsung bergegas ke kamar mandi dan memasang baju sekolah secepat yang aku bisa. Setelah itu aku langsung berangkat ke sekolah diantar sama Papa.

Selama di perjalanan, aku membuka hpku dan melihat beberapa pesan masuk, segeraku buka dengan penasaran dan ternyata itu adalah pesan dari teman-temanku yang nanyain apakah aku sekolah hari ini. Aku tentu kecewa karena bukan itu pesan itu yang aku harapkan, melainkan sebuah pesan dari Damara meskipun cuman nyapa.

Aku kembali memeriksa dengan hati-hati dari atas sampai bawah kolom pesan, ternyata Damara gak ada menghubungiku apalagi menelponku! Segera ku masukan lagi hpku ke kantong tanpa membalas semua pesan yang masuk dengan kesal.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, ternyata gerbang sekolah sudah ditutup. Aku bingung gimana cara masuk karena Satpam Sekolah gak terlihat lagi ada di sana. Akhirnya aku mencari cara yaitu dengan nekat manjat gerbang sekolah. Ini pertama kalinya dalam hidupku, aku terlambat masuk sekolah. Setelah selesai memanjat dan memasuki area sekolah, segera aku berhati-hati melalui jalur belakang buat ke kelasku tapi ternyata belum sempat aku masuk ke kelas, guru BK sudah menungguku dengan tatapan sinis dan dingin.

"Mau ke mana?" kata Bu Vina sambil memutar pulpen yang ada di tangannya.

"Ke kelas, Bu," kataku tersenyum masam.

"Kamu tau ini jam berapa?" kata Bu Vina sambil menunjuk jam besar yang terpampang nyata di dinding pengawas.

"Jam 08.50, Bu."

"Artinya?"

"Saya terlambat satu jam pelajaran,"

"Artinya juga kamu kena poin! Mana buku poin kamu?!"

"Baik, sebentar, Bu," kataku pasrah lalu ngambil buku poin dalam tasku. Aku berikan buku poin milikku ke Bu Vina dan, oh, tidak! Bu Vina mulai mencoret buku poinku yang masih suci nan bersih itu!

"Nah! Sekarang silakan Anda lari keliling lapangan 10 kali dan berjemur di tengah lapangan sampai jam istirahat pertama bersama teman-teman yang telat!" perintah Bu Vina tegas. Aku mengangguk dan segera berlari mengitari lapangan.

Aku menjadi pusat perhatian karena kini cuman aku seorang diri yang lari. Belum lagi ada kelas yang jam kosong termasuk kelasku yang ikut menonton, ku lihat mereka pada bisik-bisik. Setelah selesai, aku ikut bergabung sama para murid yang terlambat. Ada banyak murid yang terlambat hari ini sehingga kami bisa membentuk lingkaran.

"Tumben telat?" kata Ishaq yang berada di sampingku. Ternyata Ishaq telat juga. Alias alhamdulillah ada temen Brodi.

"Aku telat bangun hari ini," jawabku sambil melamun tanpa menatap Ishaq sama sekali. Ishaq menurunkan mukanya ke dekat mukaku dan mengamati dengan seksama.

"Kamu abis nangis? Bengkak banget tuh mata,"

"Alergi makanan," kataku menangkis dengan segera. Ishaq langsung mengangguk paham.

Selama berjemur di tengah lapangan, aku menatap lurus dengan tatapan kosong. Aku gak bisa berpikir dengan jernih karena belum makan dari kemarin malam. Aku gak merasakan sedikit pun rasa lapar, tapi aku masih bisa ngerasain sisa kesedihan kemarin yang gak kunjung hilang dari hatiku.

Ku tutup mataku buat berdamai dengan pikiranku sendiri. Tapi ternyata air mata kembali memaksa untuk keluar. Ku rapatkan mulutku dan segera ku hapus air yang sepertinya bakalan jadi genangan itu karena bukan saatnya untuk jadi orang yang menyedihkan akibat pikirannya sendiri.

Hingga selesai masa hukuman, aku menuju kelas dengan tubuh yang lunglai. Segera setelah sampai, aku langsung duduk dan membenamkan wajahku ke meja tanpa menghiraukan semua orang. Kedatanganku itu disambut Winanda dan teman kelas yang lain dengan suasana ricuh.

"Kamu kenapa telat? Kamu sakit, Nin? Aku khawatir banget!" kata Winanda dengan penuh kekhawatiran.

"Ciee murid teladan pertama kali telat! Gimana, enak gak rasanya berjemur kayak bule?!" kata Gani bercanda. 

Mendengar candaan Gani itu, aku meresponnya dengan menunjukkan jari jempol yang menandakan "Mantap!"

"Mana muka abis kena hukumannya?" kata Gani. Aku lalu mengangkat tubuh dan mukaku pelan. Sebelumnya, ku atur perasaanku agar jadi lebih baik.

"Aduh, nunduk aja kamu kayak lampu belajar! Sini ku bantu duduk tegak!" kata Winanda. Setelah melihat mukaku, dia malah kaget.

"Kenapa mata kamu bengkak terus hidung kamu merah? Kamu abis nangis?" kata Winanda terbelalak.

"Dia alergi makanan," kata Ishaq. Aku tersenyum berterimakasih padanya karena telah membantu menjelaskan sekaligus berbohong.

"Kamu abis makan apa kemaren?!" tanya Winanda.

"Makan hati," kataku melirik Winanda sebentar lalu menutup mata. Aku sama sekali gak mau memberitahu keadaanku yang sebenernya sebabnya karena apa.

"Hati apa? Hati ayam? Hati sapi? Kamu mau makan apa? Biar aku beliin!" kata Winanda terlihat panik.

"Hatiku sendiri," jawabku dalam hati.

"Aku minta tolong nitip roti di kantin aja dua sama teh hangat," kataku pada Winanda sambil ngambil uang di kantongku. Pas aku mau ngasih ke Winanda, ia menolak uang itu.

"Kamu ini kayak orang baru kenal aja, gak usah! Aku ke kantin dulu, Nadia, Putri, jagain Anin!" Winanda lalu bergegas ke kantin. Kembali aku benamkan mukaku ke meja.

"Ini minyak kayu putih, mau aku pijit gak, Nin?" tanya Nadia sambil mengelus-elus pundakku. Aku menggeleng.

"Harusnya kamu gak perlu sekolah hari ini kalo lagi sakit," kata Putri.

"Aku gapapa, palingan sebentar lagi aku udah kayak biasa," kataku.

"ANINDIA!!!" teriak Kania dari luar dan segera berlari ke dalam kelasku, "KAMU KENAPA?!" kata Kania khawatir dan mengguncang-guncang tubuhku.

"Alergi makanan," kata Putri.

"Aku gak nanya kamu!" kata Kania. Putri mungkin saja memutar kedua bola matanya mendengar jawaban Kania.

"Iya. Aku alergi," kataku mengangkat kepala.

"Parah banget! Kamu gapapa?" tatapan Kania itu penuh perhatian.

"Aku perlu dipeluk aja sekarang."

"Dengan seneng hati!" Kania langsung memelukku erat sambil mengelus-elus pundakku. Aku yang gak tahan akhirnya menangis untuk kesekian kalinya.

"masih sakit, ya?! Biar aku marahin sakitnya biar dia cepet pergi!" kata Kania lagi seolah memperlakukanku kayak anak kecil.

"Marahin, Ni! Aku makan hati kemaren!" kataku sesegukan.

"Hati apa? Hati ayam apa sapi? Jangan makan itu lagi ntar!" kata Kania masih sambil mengelus punggungku. Aku tertawa kecil mendengar teman-temanku yang ngira aku bener-bener alergi.

"udah, jangan nangis nanti makin sakit, lebih baik kita ke UKS aja, ya?" ajak Kania.

"Gak usah, aku abis ini mau belajar, tadi aku telat jadi gak bisa ikut kelas karena dapet hukuman," kataku lalu berhenti menangis.

"Yahh. Emang beda banget anak ambis kayak kamu, lagi sakit aja masih mikir buat belajar, monoton banget hidupnya! Ayo ke UKS aja biar aku ada alesan buat ngebolos kelas matematika minat padahal gak minat abis ini!" kata Kania membujukku. Aku tertawa sambil menggelengkan kepala.

"Kalo kamu masuk kelas matematika minat abis ini, aku janji bakalan gak sakit lagi," kataku.

"Iya, kamu gak sakit lagi tapi abis ini aku yang pusing!"

"Gak boleh gitu!" kataku menutup mulut Kania.

"Maaf, keceplosan." Kania tertawa. Gak lama Winanda datang membawa pesananku.

"Ini makan! Apa perlu aku suapin?" kata Winanda.

"Gak usah, makasih Nan," kataku tersenyum. Aku mulai memakan roti itu pelan dan cuman beberapa gigitan.

"Tumben banget gak abis? Biasanya kamu makannya banyak mulu," kata Kania bingung.

"Aku udah kenyang,"

"Sayang banget itu rotinya kalo gak diabisin, nanti mubazir," kata Winanda.

"Kamu mau satu?" tawarku.

"Enggak, ini, kan, ku beli buat kamu, makanya harus diabisin,"

"Nanti aku abisin, sekarang aku kenyang,"

"Abisin sekarang aja, ih!" paksa Kania.

"Apa kamu mau aku makan hati lagi biar kena alergi?" ancamku ke Kania lalu tertawa.

"Eh, jangan! Yaudah nanti dihabisin, ya! Kalo gitu aku ke kelas dulu soalnya udah lonceng." Kania pun berpamitan pada kami.

"Kalo kamu masih gak enak badan tinggal bilang ke aku, nanti aku izin ke guru yang ngajar buat nemenin kamu ke UKS." kata Winanda.

"Iya, makasih banyak, Nan, udah ngerepotin kamu," kataku merasa gak nyaman sama Winanda karena sudah merepotkannya hari ini.

"Apa yang enggak buat kamu!" kata Winanda mengacak rambutku.

Continue Reading

You'll Also Like

22.9K 5.9K 17
Pengalaman buruk di masalalau membuat Akselio begitu takut dengan kemiskinan. Kenyataan bahwa dirinya sudah terlepas dari masa itu nyatanya tidak bis...
533 87 7
Pada awalnya, Luam tidak ingin menggubris perempuan itu karena ia hanya seorang pejalan kaki biasa yang tidak pernah ingin Luam repot-repot perhatika...
2.3M 71.6K 10
Orang bilang, hubungan paling rumit dalam cinta adalah saat kedua pasangan memiliki keyakinan yang berbeda. Nyatanya ada yang lebih rumit dari itu...
1.1M 51.3K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...