Tentang Kamu dan Rindu โœ…

By lailiazzda

25.7K 1.6K 307

Ini adalah cerita tentang aku yang tak bisa seumur hidup dengan seorang lelaki yang sudah jelas seumur hidupn... More

Bagian 1 - Aku
Bagian 2 - Sebuah Rencana
Bagian 3 - Sebuah Mimpi
Bagian 4 - Terdiam
Bagian 5 - Rumah Makan Padang
Bagian 6 - Begadang
Bagian 7 - Sekolah Damara
Bagian 8 - Danau Talang
Bagian 9 - Jam Gadang
Bagian 10 - Kepergok!
Bagian 11 - Pelukan Pertama
Bagian 12 - Seribu Rumah Gadang
Bagian 13 - Homestay
Bagian 14 - Video Call
Bagian 15 - Seribu Rumah Gadang (2)
Bagian 16 - Puncak Bangun Rejo
Bagian 17 - Puncak Pinang Awan
Bagian 18 - Kebun Teh Liki
Bagian 19 - Lubuak Paraku
Bagian 20 - Berpisah dengan Sumatera Barat
Bagian 21 - MOS
Bagian 22 - Cekcok
Bagian 24 - Penolakan
Bagian 25 - Hadiah
Bagian 26 - Hamil?!
Bagian 27 - Melahirkan
Bagian 28 - Hilang
Bagian 29 - Masalah
Bagian 30 - Kejutan atau Trauma?
Bagian 31 - Kalimantan Selatan bersamamu
Bagian 32 - Berantem
Bagian 33 - Bullying
Bagian 34 - Fitnah
Bagian 35 - Merantau
Bagian 36 - Kuliah
Bagian 37 - Sisi Lain
Bagian 38 - Janggal
Bagian 39 - Sedikit Diriku Untukmu
Bagian 40 - Jujur
Bagian 41 - Harta Karun
Bagian 42 - Pulang
Bagian 43 - Mungkin Saja
Bagian 44 - Tempat Pulang
Bagian 45 - Album Foto
Bagian 46 - Khusus Buatmu, Dam.

Bagian 23 - Rancak Bana!

121 16 24
By lailiazzda

Ketika itu menyangkut masalah perasaan terutama nafsu, orang kadang banyak yang lupa sama logika. Itu wajar banget, Nin. Realistis, kita manusia selain punya logika buat berpikir, kita juga punya perasaan dan hawa nafsu. Contohnya aja nih pas kamu ngeliat suatu barang bagus dan lucu, kamu jadi pengen, tanpa pikir panjang dan mengandalkan nafsu, kamu langsung beli. Padahal kamu tau kalo kamu beli sebenernya barang itu gak penting dan gak berguna.

-Damara Hussein-

---


Sepulangnya Kania dan Winanda dari rumahku, aku langsung video call Damara. Damara pun mengangkatnya. Ku lihat Damara sedang rebahan di kasurnya dan belum ganti pakaian sekolah.

"Haii!" sapaku.


"Eh, kok malah pake baju putih biru SMP? Kenapa gak pake baju putih abu? Kan, tadi kamu ngirim foto selfie pake baju SMA," Damara kelihatannya langsung sadar.


"Itu foto selfie aku waktu nyoba pake baju putih abu, karena sekarang masih MOS, kami disuruh pake seragam SMP. Baru pas hari terakhir pake baju putih abu, katanya biar resminya nanti."


"Ooo... padahal aku pengen liat kamu pake baju SMA."


"YANG BENER?" kataku berbinar.


"Beneran,"


"BENTAR, AKU GANTI BAJU DULU KALO GITU!" secepat kilat aku ngeganti baju seragam putih abu SMA. Setelah selesai, aku langsung memperlihatkannya dengan bangga ke Damara.


"Cantik amat, sampeku kira tadi cewek luar, ternyata cewekku," Damara memulai jurus gombalnya tapi gak ku respon.


"Gimanaaa? Keren gakk?" kataku sambil muter-muter badan.


"Rancak bana Galuh Banjar nio! Sekarang kita punya baju couple, deh," kata Damara sambil memperlihatkan seragam putih abu SMA-nya.


"Saae lu badut," kataku. Damara ketawa.


"Jadi gimana MOS-nya tadi? Lancar?"


"Iya lancar, kok!"


"Gimana temen-temen barunya?"


"Aku baru kenalan sama beberapa orang, tapi aku satu sekolah lagi sama Kania dan Winanda, lho."


"Temen kamu yang waktu itu?"


"Iya... dan yang nyebelinnya, nih, aku juga satu sekolah lagi sama Ardhika." Aku cemberut. Aku langsung ngerasa kesal lagi karena langsung keinget perdebatan beberapa waktu lalu dengan Kania dan Winanda perihal Ardhika.


"Dia masih gangguin kamu?" Damara yang awalnya rebahan kini bangun dan duduk di kursi.


"Tadi iya. Soalnya aku sekelompok dia waktu MOS. Bukan ke arah ganggu, sih. Tapi lebih ke perhatian gitu."


"Terus kamu gimana dengan perhatiannya itu?"


"Jujur aku risih banget. Padahal temen-temenku pada ngomporin kalo aku udah punya pacar dan nyuruh dia buat gak gangguin aku lagi."


"Siapa tuh pacarnya?" Damara mulai menggodaku.


"Itu juga gara-gara kamu kemaren!" kataku menyalahkannya. Tapi aku gak keberatan juga, sih, kalo dibilang pacarnya Damara.


"Ya, maap. Tapi pas dia denger itu, reaksinya gimana, Nin?"


"Dia langsung menjauh."


"Patah hati. Btw nice try, Dhik." Damara mengangguk-ngangguk seolah memahami perasaan Ardhika saat itu.


"Damar, boleh curhat?" kataku ragu. Sebelumnya, aku gak pernah cerita sesuatu hal yang menurutku 'aib' ke orang lain kecuali ke sahabatku. Tapi entah kenapa pas adanya Damara di hidupku, aku berani menceritakan banyak hal dengannya dan mungkin di sinilah awalannya.


"Boleh banget. Aku seneng dan terbuka baik itu kalo kamu mau cerita, curhat, minta saran, ngeluh, atau apapun itu! Rahasia? Dijamin aman." Damara tersenyum lebar.


Percaya gak percaya, sebenarnya aku adalah tipikal orang yang sulit buat percaya ke orang lain apalagi sama orang baru. Tapi bagaikan tersihir pas denger itu keluar dari mulut Damara, aku langsung bisa percaya begitu saja dengannya seolah Damara adalah orang yang sudah sangat lama ku kenal.

Ku hela nafasku dan mulai bercerita awal percekcokanku dengan dua sahabatku itu. Damara begitu tenang mendengarkannya sambil terus menatapku yang sedang bercerita dan setelah bener-bener selesai barulah dia angkat bicara.


"Oke, aku udah simak, intinya kalian berantem gara-gara dua temen kamu itu gak percaya sama kamu masalah perasaan ke Ardhika, di satu sisi karena Winanda suka sama Ardhika, jadi mereka coba mastiin. Padahal berulang kali kamu bilang beneran gak suka sama dia, kan?" Damara mencoba mengambil inti dari ceritaku tadi, "masalahnya udah selesai, kata kamu mereka udah minta maaf dan kalian udah baikan," tambahnya lagi.


"Iya bener!" kataku, "tapi, Dam, aku ngerasa mereka masih gak percaya sama aku. Yang mengganjal disini sekarang bukan karena aku ngerasa dipojokin, tapi aku ngerasa mereka gak nganggep aku orang yang dipercaya, padahal kami udah sahabatan dari lama."


"Apa ada lagi yang perlu kamu ceritain, mungkin juga yang masih mengganjal?" Damara tetap memperhatikan. Aku kira dia langsung memberiku saran.


"Ada lagi, sih." Aku merasa harus minta saran ke Damara perihal gimana cara menolak tegas Ardhika.


"Apa itu?" Damara kembali menyimak.


Aku kembali melanjutkan cerita, hingga akhirnya aku berada di titik inti, "Aku udah janji ke mereka kalo besok aku bakalan nolak Ardhika dengan tegas sampe dia benci aku."


"Kamu udah ada bayangan gimana cara nolaknya?"


"Enggak ada sama sekali, jujur, aku bingung gimana nolak sampe dia benci ke aku. " Damara mengangguk paham.


"Ada lagi?"


"Mungkin sekarang itu aja."


"Apa aku boleh beropini dan ngasih saran? Atau kamu cuman mau didengerin aja?" kata Damara dengan begitu lembut. Itu membuat aku berdebar.


"Mmm... ba-bagusnya kamu kasih opini sama saran, sih," kataku gugup. Ini pertama kalinya ada orang yang mendengarkan keluhanku tapi dia gak menginterupsi pembicaraanku sedikit pun sampai selesai lalu dengan tenang memberi pilihan yang membuatku merasa amat dihargai. Daripada hanya sekedar penasaran bagaimana ceritanya, Damara ternyata serius mendengarkannya.


Damara menarik nafasnya dan meminta maaf, "Sebelumnya, maaf kalo ternyata opini dan saranku ini kurang berkenan di kamu atau gak sesuai dengan ekspektasi yang kamu harapkan."


"Iya. Gapapa kalo kamu mau dari sisi mana aja, aku mau denger supaya jadi bahan intropeksi."


"Oke kalo gitu. Sekarang langsung aja, jadi menurut opiniku, emang dua temen kamu ini berlebihan banget padahal cuman masalah sepele, tapi ada benernya ketika itu menyangkut masalah perasaan terutama nafsu, orang kadang banyak yang lupa sama logika. Itu wajar banget, Nin. Realistis, kita manusia selain punya logika buat berpikir, kita juga punya perasaan dan hawa nafsu. Contohnya aja nih pas kamu ngeliat suatu barang bagus dan lucu, kamu jadi pengen, tanpa pikir panjang dan mengandalkan nafsu, kamu langsung beli. Padahal kamu tau kalo kamu beli sebenernya barang itu gak penting dan gak berguna, pasti pernah, kan? Kira-kira gitu juga pikiran dua temenmu itu. Alasannya; karena suka orang itu." Damara menarik nafasnya dan melanjutkan lagi.

"Mereka mojokin kamu mungkin cuman mau mastiin kamu serius apa cuman omong kosong doang. Gini, Nin, semua manusia itu pasti punya sisi negatif, meskipun kalian sahabatan, tetep memungkinkan rasa ketidakpercayaan itu ada. Namanya manusiawi. Ya tadi, karena kita punya perasaan, maka mereka memilah, kira-kira mana yang sesuai. Mereka udah memilah dan hasilnya mereka mau kepastian itu. Aku harap kamu wajarin. Tapi, kamu juga punya perasaan, dipojokin dan rasanya gak dipercayain itu emang gak enak, kamu udah tepat banget ngelawan dengan cara gitu. Aku seneng kamu bisa bebas ngutarain pendapat kamu tanpa memandang 'sahabat'. Jangan pernah jadi orang yang gak enakan dalam artian negatif, nanti orang bakalan semena-mena sama kamu. Ada kalanya kamu harus jadi egois gak memandang siapa yang jadi lawan. Selama kamu bener, kamu harus maju apapun hasilnya."

"Kira-kira begitu opiniku. Apa kamu bisa nerima? Maaf kalo ternyata bukan itu yang kamu harapkan, disini aku cuman mau menimbang keduanya." Damara mengakhiri kalimatnya, aku terpaku, opininya bener-bener mirip dengan apa yang ku pikirkan. Jawaban itu sudah terpampang jelas: memang itulah yang ku harapkan. Aku segera mengangguk.


"Makasih, Dam. Aku bener-bener mikir begitu juga, serius, deh." Moodku jadi jauh lebih baik pas dengerin Damara yang tiba-tiba kayak jadi motivator.


"Bagus, deh, kalo gitu, tapi buang yang gak baiknya, ya."


"Pasti!"


"Oke, selanjutnya tentang rencana kamu yang mau nolak Ardhika." Aku segera menyimak kembali, "selama ini perlakuannya ke kamu gimana? Apa pernah kasar, pemaksa dan yang lain?" tanya Damara.


Sejenak aku berpikir, mencoba mengingat dulu gimana sikap Ardhika ke aku. Akhirnya aku sadar beberapa hal dan segera aku katakan ke Damara, "Ardhika kasar kalo lagi ada masalah dan orangnya pemaksa karena dia tetep berjuang walaupun dia tau aku gak suka dia dalam artian perasaan lebih. Tapi secara garis besar, dia orangnya baik ke aku meskipun kata orang dia itu bad boy yang sering bermasalah di sekolahku dulu."


"Nah! Menurut kamu, dengan kamu nolak dia secara kasar sampai dia benci kamu, apa itu beneran solusi yang tepat? Dia orangnya baik-baik aja sama kamu, lho. Terus kenapa kamu harus nolak sampai berusaha supaya dia benci kamu?" perkataan Damara itu baru terpikir olehku dan itu benar. Mengapa aku harus begitu?


"Jadi gimana, dong, caranya buat nolak?" Aku masih belum nemuin pecahan dari masalah ini.


"Tolak dia dengan cara yang baik supaya dia merasa tetep dihargain walaupun kamu nolak dia, supaya dia gak ngerasa keberatan ngelepas kamu, kamunya juga gak bakalan kehilangan temen. Kamu tau gak? Semakin kamu ngebuat dia ngerasa gak diterima, dia malah makin ngejar dan terobsesi sama kamu. Apalagi aku liat dia tipikal orang yang gak gampang nyerah." Damara bener-bener memberi solusi terbaik pas aku kebingungan nyari jalan. Dengan sarannya itu, aku sudah punya bayangan besar gimana nolak Ardhika besok hari. Tapi, kini aku penasaran, mengapa Damara bersikap kasar ke Dinda yang menyukainya itu, padahal dia bijak banget bilang kayak gini ke aku.


"Eh bentar, tapi kamu lancar banget ngasih saran itu ke aku, padahal kemaren kamu kasar ngomongnya ke kakak kelas kamu yang namanya Dinda itu, alasannya kenapa?" tanyaku penasaran.


Damara berganti ekspresi menjadi datar, lalu menghela nafas dan bilang, "Aku udah pernah nolak dia dengan cara yang aku kasih tau ke kamu, awalnya dia terima keputusan itu, tapi karena hasutan temen-temen gengnya, dia berubah jadi agresif dan gak ada harga diri sebagai cewek. Sebenernya ini aib, sih, tapi kayaknya harus aku kasih tau ke kamu, Dinda pernah maksa berusaha nyium aku waktu aku nganterin dia pulang di mobil."


Aku tentu gak bisa nyembunyiin ekspresi kagetku, ada rasa cemburu yang tiba-tiba datang. Aku langsung memastikan hal yang ingin aku tahu lebih lanjut, "YANG BENER? TERUS KAMU CIUMAN SAMA DIA?"


"Katanya cowok gak bakalan bisa nolak kalo ada cewek yang mancing buat begituan, nafsunya gede, aku harus bilang itu bener. Tapi beruntungnya aku tetep berusaha buat gak ngelakuin itu. Jadi aku langsung nolak dan ke luar dari mobil waktu itu." Damara memasang wajah meyakinkan, "meluk kamu sembarangan waktu itu pun, aku bener-bener ngerasa bersalah akhirnya. Maaf, ya, Nin." Aku bernafas lega, ternyata Damara orang yang sebaik itu.


"Kamu baik banget," kataku yang hampir mleyot karena pertama kalinya aku nemuin cowok yang bisa menahan hawa nafsunya, "maaf waktu itu juga aku meluk kamu dari belakang." kataku bener-bener malu.


"Gapapa, kok. Jujur aku seneng juga waktu itu. Tapi, kalo kita udah kelewatan batas, bagusnya diingetin." Damara tersenyum, "maka dari itu, aku kasar ke Dinda, supaya dia tau kelakuannya itu di mata cowok udah melampaui batas banget. Aku gak bakalan mau sama cewek yang kayak gitu," kini aku tahu alasan Damara bersikap kayak gitu.


"Oke, Dam. Makasih banyak opini dan sarannya. Aku bener-bener terbantu banget, dapet ilmu baru juga. Pokoknya kamu keren banget!" Aku gak tahu harus berkata apalagi, tapi di mataku kini Damara bertambah meyakinkan untuk turut dijadikan rencana masa depan. Pikirannya sangat matang dan universal dengan statusnya yang masih menjadi siswa SMA. Gak memihak maupun menyinggung, dia bener-bener pria yang pasti banyak jadi incaran kaum hawa. Aku yakin kamu juga berpikir seperti itu.


"Sama-sama. Oh, iya, seandainya nanti Ardhika tetep nekat kayak Dinda, kamu baru boleh ngelakuin hal kasar," sarannya lagi. Aku mengangguk, "ada lagi gak nih, Cantik, yang mau didiskusiin?" tanyanya.


"Mungkin cukup buat hari ini. Makasih juga udah dengerin curhatanku."


"Oke. Kamu harus tau, aku bener-bener bakalan dengerin cerita dan keluhan kamu, mau apapun itu. Mau itu langsung atau cuman sekadar teks pesan."


"Kamu sendiri juga harus begitu ke aku, ya! Aku juga bakalan dengerin! Kalo kamu, ada yang mau didiskusiin sekarang?" Aku menawarkan sesi curhat untuknya.


"Siap. Untuk sekarang, gak ada, nih. Sekolahku juga biasa-biasa aja." Damara tersenyum, "ada baiknya kamu istirahat, masih banyak kegiatan, kan, buat besok-besok? Jangan sampe kecapekan nanti kamu sakit."


"Mmm... kamu juga." kataku tersenyum sedikit. Sebenernya aku gak pengen udahan. Masih ada ganjalan di hatiku mengapa Damara sangat santai ketika dia tahu Ardhika masih mendekatiku dan malah memberi saran positif. Apa dia gak cemburu? Padahal dulu dia pernah berkata bahwa dia menyukaiku.


Tapi, diluar dugaan, seperti bisa membaca pikiranku sewaktu itu, Damara langsung berkata, "Aku gak cemburu, Nin, kamu bahas Ardhika yang masih tetep baik ke kamu padahal temen-temen kamu ngomporin bahwa kamu udah punya pacar. Itu malah bagus, kamu tetep temenan sama dia. Aku percaya kalo kata kamu 'gak suka' berarti emang enggak. Jangan khawatir. Besok kalo kamu jujur ke Ardhika kita gak pacaran juga aku gak masalah. Karena memang itu kenyataannya, kan? Pokoknya, senyaman kamu aja. Aku bakalan terus ada di samping kamu." Damara terdengar tulus bilang begitu cuman aku yang selalu berprasangka negatif dengan orang sepositif ini.


"Yaudah kalo gitu, aku juga bakalan percaya sama kamu,"


"Makasih udah percaya." Damara gak pernah lepas dari senyumannya yang tiap kali aku melihat itu, selalu membuatku berdebar.


"Kalo gitu aku mau istirahat dulu, ya. Kamu juga jaga kesehatan. Jangan begadang!" Aku mewanti-wanti. Damara mengangguk tanpa melepas senyumannya.


"Yaudah, selamat istirahat!" Damara melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan. Aku pun melakukan hal yang sama. Setelah itu, aku pun mengakhiri video call.


Aku ngerasa jauh lebih lega dan amarahku terangkat begitu saja pas semua keluhanku disampaikan pada Damara dan ini juga kali pertama aku merasakan kenyamanan ketika cerita ke lawan jenis.

Continue Reading

You'll Also Like

Philophobia By Alnira

General Fiction

1.9M 92.1K 13
Dilara Lathisa, polwan berpangkat Briptu yang harus bekerja bersama dengan sembilan anggota timnya yang semuanya adalah laki-laki. Dia harus berbaur...
808K 39.1K 45
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
441K 10.8K 3
[hanya dipublish di http://wattpad.com/user/just-anny, jika menemukan cerita ini di situs lain artinya itu merupakan PLAGIAT/PENYEBARAN TANPA IZIN] B...
1.2M 105K 25
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...