Bagian 308 (Calon Mertua?)

852 131 47
                                    

.

.

Ada satu bagian dari tubuh. Jika satu bagian itu baik, maka baiklah semuanya. Namun sebaliknya, jika bagian itu buruk, maka buruklah semuanya.

Bagian itu adalah hati.

.

.

***

Kediaman Danadyaksa, pukul 20.00 ...

Malam terasa lebih dingin bagi Erika yang sedang dilanda kegugupan akibat pertemuan pertama dengan calon mertua, bisa disebut juga dengan istilah 'demam calon mertua' disingkat DCM.

"Ayo, kukenalkan pada ayahku," kata Yoga, dengan isyarat tangan mengarahkan Erika, Yunan dan Raesha untuk menaiki anak tangga.

Bastian mengekor mereka dari belakang. Malam bersejarah, batin pria tua itu. Tentu saja, setelah Tuan Mudanya mencapai usia di penghujung kepala tiga, barulah dia memboyong calon istri ke rumah.

Erika nampak tegang seiring langkahnya menjejaki tangga. Sementara roman muka calon mertuanya tak berubah, tetap girang. Agaknya, beliau tidak merasakan DCM terhadapnya (Demam Calon Menantu).

Mereka berhadap-hadapan akhirnya. Dari dekat, Erika jadi bisa mengamati perawakan Danadyaksa dengan lebih jelas. Meski mulai memasuki usia senja, unsur-unsur kegantengan masih nampak jelas di wajahnya, tak ubahnya di televisi. Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Bedanya dengan Yoga, wajah Yoga ada campuran Brazil dari ibunya, sementara Dana ganteng lokal.

"Ayah, kenalkan, ini Erika dan kedua anaknya, Yunan dan Raesha," ucap Yoga lancar seolah terlatih dengan adegan ini. Tentu saja, diam-diam selama ini dia sudah komat-kamit di depan cermin kamarnya, demi kelancaran hari yang monumental ini.

Erika mengatupkan tangannya dan membungkuk hormat. "A-assalamualaikum. Saya Erika, Om," katanya gugup.

Dana tersenyum lebar. Dia sengaja menunggu, mengamati gerak tubuh wanita ini. Ternyata benar, Erika menyalaminya dengan cara Islami, bukan dengan jabat tangan. Keputusannya tepat. Seandainya dia tadi keburu mengulurkan tangan, maka dia fix akan malu sendiri, plus membuat tamu spesialnya menjadi tak enak hati.

"Wa alaikum salam. Akhirnya om ketemu juga sama yang namanya Erika," sahut Dana dengan tangan bersedekap, masih dengan senyum mengambang.

Ekspresi Erika berubah heran. "O-oh? Yoga cerita tentang saya, om?"

Pria yang telah melewati paruh bayanya itu tertawa. "Hahaha ... namamu sangat terkenal di rumah ini. Cetar membahana. Hahaha!!"

"Ayah!" Yoga memelototi ayahnya. Sementara Erika menatap Yoga bingung.

Dana berdehem basa-basi. "Ehm maaf kelepasan. Om terlalu senang soalnya."

Erika teringat sesuatu. Dia menoleh ke anak-anaknya. "Yunan, Raesha, ayo salim sama ---" Kalimatnya terputus, sedang mempertimbangkan sebaiknya kedua anaknya memanggil Dana dengan sebutan apa.

"Panggil Eyang Kakung saja," ceplos Dana. Seketika membuat Yoga merasa ingin menutup mukanya.

"I-iya. Ayo salim sama eyang kakung," lanjut Erika ragu. Belum resmi sebenarnya, tapi gimana ya? Yang bersangkutan maunya dipanggil demikian.

Yunan maju lebih dulu, membungkukkan badannya dan mencium tangan Dana. "Assalamualaikum eyang kakung.  Terima kasih atas sambutan meriahnya. Maaf kalau kedatangan kami merepotkan," ucap Yunan dengan suara lembut.

Binar mata Dana menyiratkan rasa haru. Di zaman sekarang ini sudah jarang ada anak muda yang memberi penghormatan dengan cium tangan. Biasanya langsung nyelonong saja. Yoga dulu begitu, lalu mulai berubah saat putranya itu mulai rutin mengaji.

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang