Bagian 276 (Kecemasan Yunan)

1.8K 178 82
                                    

.

.

Kita bukan laki-laki menikah yang harus menafkahi istri. Tidakkah kamu berpikir terlalu jauh?

.

.

***

Pukul tiga jelang sore hari, hanya ada sekitar lima meja terisi di restoran cepat saji itu. Jam makan siang telah lewat, sementara jam makan malam masih lama.

Seorang anak remaja datang dan mendekat ke meja kasir. Seorang wanita berjilbab merah dengan bibir dipulas lipstik merah, tersenyum ramah padanya.

"Mau pesan apa Dik?," tanya wanita itu. Sebuah papan nama bertuliskan 'DYAH SETYOWATI' tersemat di kain seragamnya.

"Saya ... saya datang untuk wawancara," jawab remaja itu ragu.

"Oh! Kamu yang tadi pagi ke sini ya? Yang ketemu sama teman saya Roni?," tanya Dyah kembali.

"I-iya. Itu saya," jawab Yunan tersenyum.

"Mari saya antar. Interview-nya di lantai dua," ajak wanita itu sopan sembari menjauh dari meja kasir.

"Terima kasih," Yunan membungkuk sedikit, memberi penghormatan. Untuk seorang calon karyawan yang sebenarnya tidak memenuhi persyaratan, ini adalah perlakuan yang sangat baik.

Tadi pagi saat dia berdiri terpaku di depan resto, menatap pengumuman lowongan karyawan, seorang pria menyapanya. Pria muda yang bernama Roni itu tampak terkejut saat Yunan menanyakan tentang lowongan kerja.

"Berapa umurmu, Dik?," tanya pria berambut pendek itu.

" ... Tujuh belas tahun," jawab Yunan malu.

Pelayan laki-laki itu tersenyum. "Maaf. Lowongannya untuk delapan belas tahun keatas," jawabnya sembari menunjuk ke pengumuman lowongan.

"Em ... saya ... Awal November tahun ini insyaallah saya delapan belas tahun!," kilah Yunan cepat. Tapi lalu dia terlihat canggung. "M-maaf. Saya memang belum memenuhi syarat. Terima kasih Mas," Yunan membungkuk sopan, lalu melangkah pergi. Merasa malu karena terkesan setengah memaksa.

Pria bertuliskan papan nama kecil di dadanya dengan tulisan 'RONI SUGARDA' itu terdiam menatap punggung Yunan yang menjauh. Di matanya, anak remaja itu meninggalkan kesan baik, berkarakter. Dan dilihat dari kengototannya soal umur, terkesan anak ini memerlukan sekali pekerjaan. Mungkin sedang kesulitan keuangan, tebak Roni. Timbul iba dalam hatinya.

"Hey Dik. Siapa namamu?," tanya Roni.

Yunan menghentikan langkah dan menoleh ke arahnya. " ... Yunan. Nama saya Yunan Lham."

Roni tersenyum. "Tinggalkan nomor hapemu di sini. Saya akan tanyakan pada Bos saya tentangmu. Kalau Bos saya tidak keberatan, kamu akan dipanggil untuk wawancara."

Perlahan keceriaan terbit di rona wajah Yunan. "I-iya. Terima kasih. Terima kasih!," dia membungkuk sopan beberapa kali, lalu memberikan nomor ponselnya.

Begitulah awalnya. Lalu sekarang ...

Seorang pria berusia empat puluh lima tahun, bertubuh pendek dan berkepala plontos, mengamati seorang remaja bertubuh tinggi di hadapannya. Matanya memicing dan kepala sedikit tertunduk. Tangannya menurunkan lensa kacamatanya, melorot ke pipi. Menelisik dengan awas. Yang diperhatikan merasa tegang, menelan ludah. Pria di hadapannya ini adalah pemilik resto cepat saji BrunChicken, Bagas Ozora. Perawakannya unik, mirip seorang komedian lawas Indonesia, almarhum Ateng.

"Roni bilang, awal November ini kamu delapan belas tahun?," tanya pria bernama Bagas itu.

"Iya, Pak," jawab Yunan mantap.

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang