Bagian 236 (Hari-hari Tanpamu)

972 190 67
                                    

.

.

Keikhlasan diuji saat hantaman pertama datang menerjang.

.

.

***

Tiga hari berselang ...

Yunan sedang menyapu lantai, mengeluarkan debu dan kotoran ke arah teras belakang rumah. Peluhnya mengalir deras. Sejak pagi dia sibuk merendam dan mencuci baju. Meski mereka memakai jasa laundry, tapi pakaian dalam dan baju Raesha tetap harus cuci sendiri.

Dari arah dapur terdengar suara desis tumisan bumbu yang diaduk bersama sayur kangkung. Mbah putrinya yang memasak. Karena Erika masih sangat rentan dengan syok pasca ditinggal suaminya, beliau sengaja menginap di rumah Erika 3 hari belakangan ini. Bermaksud membantu mereka meringankan tugas-tugas keseharian, hingga mereka bisa bangkit kembali.

Wanita itu memperhatikan Yunan yang tengah sibuk menyapu. Awalnya dia heran, mengapa Yunan tidak kembali ke Pesantren. Rupanya sebelum kecelakaan, Farhan sudah memintakan izin pada Ustad pengajar, agar Yunan belajar seminggu di rumah saja, selama dirinya dinas di Jogja. Seolah sudah dipersiapkan sebelumnya, di sinilah anak itu sekarang. Berperan besar untuk berusaha menormalkan situasi duka di keluarga ini.

"Yunan, kalau capek, berhenti dulu nyapunya. Nanti kan Mbak Surti datang."

Yunan menoleh ke arahnya. "Enggak apa-apa, Mbah. Tidak capek kok. Tanggung soalnya. Sedikit lagi selesai." Dia menyatukan semua debu di serokan, lalu membuangnya ke tong sampah.

Suara tangis Raesha tiba-tiba terdengar dari kamar. Yunan meletakkan alat bebersih dan bergegas lari ke kamarnya. "Ya Rae! Sebentar ya!"

Tak lama dia sudah menggendong Raesha di pangkuannya. "Iya iya. Cup ... cup. Jangan nangis ya Rae. Mandi dulu ya. Sebentar lagi Kakak siapin air hangat."

Si Mbah memperhatikan Yunan yang menimang Raesha penuh kasih sayang.

"Lihat, Rae! Ada mpus lucu!" Katanya sambil menunjuk ke seekor kucing putih yang masuk ke taman belakang.

Perlahan adiknya berhenti menangis. "Pus ... pus!" Tangan Raesha meraih-raih. Yunan membiarkan dia bermain dengan kucing itu di atas rumput.

"Assalamualaikum." Ucapan salam itu membuat Yunan dan Mbah putri menoleh bersamaan ke arah pintu. Mbak Surti datang.

"Wa alaikum salam," jawab mereka. Yunan menghampirinya.

"Makasih sudah datang, Mbak," ucapnya sopan. Membuat wanita muda itu sungkan.

"Ini memang tugas saya Dek," jawabnya sopan.

Yunan tersenyum. "Saya akan siapkan air panas untuk mandi Raesha. Tolong buatkan makanannya ya Mbak."

"Baik Dek."

Mbah putri terkesan. Anak itu istimewa, dia tahu sejak pertama kali Erika memperkenalkannya sebagai keluarga baru mereka.

Menjelang siang, Yunan baru punya waktu untuk mandi. Badannya basah dengan keringat. Sejak tadi dia rasanya ingin segera mandi.

Usai mandi, terdengar suara adzan Dzuhur. Setengah terburu-buru, dia pamit pada Mbah putri dan berangkat salat jamaah di masjid.

Pulang dari masjid, Yunan mengetuk pintu kamar Erika. Tok! Tok! "Bu, mau makan bareng? Makan siang sudah siap."

Erika menjawab dengan suara sengau khas orang habis menangis, "Makan duluan saja. Ibu nanti saja."

Dia menghela napas. Semenjak Ayahnya tidak ada, Erika seolah menghindari aktivitas makan bersama. Dia nyaris tak keluar dari kamarnya. Sepanjang hari mengunci diri.

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang