Bagian 367 (Catatan Yoga) END of ANXI 2

511 127 71
                                    

.

.

Cinta pertamaku, dan aku harap akan jadi cinta terakhirku.

.

.

***

Beberapa staf membungkuk hormat padaku. Aku membalas dengan sikap serupa, dan senyuman yang sama tiap paginya.

Orang-orang yang satu lift denganku, nampak sungkan seperti biasa. Seramah apa pun aku, mereka agaknya takut karena statusku sebagai bos besar mereka. Bukan hal yang membanggakan, dalam kondisiku sekarang. Bertahun-tahun seperti ini. Aku sudah terbiasa, tentu saja.

Aku menyentuh telapak tanganku. Sensasi panas itu kini hilang sendiri. Kutandai, gejala aneh itu terjadi setelah aku minta maaf pada Erika, lalu hari ini adalah hari ke empat puluh semenjak itu.

Syukurlah. Sebab kalau tanganku masih panas, aku sungguh tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku sudah pergi ke tiga dokter kulit, melakukan full-checkup, dan hasilnya, fisikku dinyatakan sehat.

"Selamat pagi, Pak Yoga," sapa Mieke, sekertarisku yang di usia kepala empatnya, masih terlihat muda dan cekatan.

"Pagi, Mieke. Bisa ke ruangan saya sebentar?"

"Baik, Pak."

Pintu ruanganku ditutup. Aku duduk di kursi empuk. Kursi yang diidam-idamkan banyak orang, kata mereka. Kedudukan ini dipinjamkan padaku, meski aku tidak pernah memintanya.

"Give me report, please. Apa ada yang penting selama kepergian saya ke Papua?"

Mieke membuka notesnya. "Baik, Pak. Pak Jay dari Textile int., meminta dijadwalkan meeting dengan Bapak, terkait kemungkinan kerja sama dengan CV Sri Fabric."

"Oke. Rabu siang saya ada schedule apa?"

"Tidak ada, Pak," jawab Mieke menggeleng.

"Rabu kalau begitu. Terus? Ada apa lagi?"

"Ada kiriman sampel kain dari Textile Int. Mereka perlu approval dari Bapak. Sample ini sudah ditandatangani oleh fesyen desainer kita. Untuk bahan pameran fesyen di Paris Oktober nanti. Mereka hanya perlu tanda tangan Bapak untuk final approval, sebelum mereka order bahan baku dalam jumlah besar."

Aku menoleh ke ujung mejaku, tempat di mana paket sampel kain itu diletakkan.

"Oke. Nanti saya lihat dulu sebelum tanda tangan," kataku.

Mieke terus membacakan poin-poin penting selama aku izin cuti ke Papua. Aku bukan ke sana dalam rangka urusan pekerjaan, melainkan diundang oleh Syeikh Abdullah.

Syeikh Abdullah secara mengejutkan meneleponku minggu lalu.

"Assalamualaikum." Suara pria tua itu di telepon, seketika meluluhlantakkan formalitasku sebagai C.E.O Danadyaksa Corp.

Hanya perlu sepatah kata dari beliau, untuk membuat pertahananku runtuh. Terutama dengan banyaknya hal yang telah terjadi dalam hidupku. Perselingkuhan, akad nikah batal, dan puncaknya, dibenci Erika dan Yunan. Musibah besar bagiku.

"W-Wa alaikum ... salam, Syeikh," jawabku dengan tangan bergetar menutup mata. Seandainya beliau ada di hadapanku persis, aku mungkin sudah jatuh dengan lututku di lantai.

"Saya ingin mengajakmu ke pesantren kita di Papua. Alhamdulillah, pembangunan sudah selesai. Insyaallah peresmian dua hari lagi. Di sana mungkin sekitar tiga atau empat hari, untuk pengecekan final proyek dan diskusi dengan para ustad di sana. Kamu bisa hadir?"

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang