Bagian 360 (Maafkan)

537 121 54
                                    

.

.

Berlapang dada lah. Maafkan dia.

Kasihanilah hatimu.

.

.

***

Yunan terlelap sempurna. Di sampingnya, tangan Raesha menarik kaus oblongnya. Helai rambut terkulai menutupi sebagian mata Yunan.

Yunan ...

Seseorang memanggilnya, diikuti gema setelahnya.

Yunan ...

Suara pria, berusia senja, tebaknya. Familiar. Suara yang dirindukannya.

"Yunan," panggil orang itu, kali ini terdengar sangat jelas.

Mata Yunan terbuka. Sepasang mata yang ramah, tersenyum padanya. Mereka duduk bersila berhadap-hadapan di atas awan putih sejauh mata memandang. Yunan segera membungkuk hormat dan mencium tangan beliau.

"Ya Syeikh ... saya rindu," ucapnya dengan suara bergetar, namun ia segera menguasai emosinya.

Mereka saling tatap. Ada perasaan aneh yang belum pernah dirasakan Yunan. Pria tua ini seolah cerminan dirinya, dalam fisik yang berbeda.

"Apa Syeikh akan mengajariku kitab lagi?" tanya Yunan penuh harap. Materi kitab dari beliau terhenti dan membuat Yunan cemas, kalau-kalau Syeikh enggan menemuinya lagi.

Syeikh menggelengkan kepala. "Tidak sekarang. Sementara kita tunda dulu. Kurasa, hatimu perlu rehat, bukan begitu?"

Mimik wajah Yunan berubah. Itu adalah kalimat tidak langsung beliau, Yunan paham. Pertanda bahwa beliau melihat tembus ke hatinya yang kini dikotori oleh benci pada seseorang. Siapa lagi kalau bukan pada Om Yoga? Ia sebenarnya paham bahwa membenci mengotori hati. Benci pada kemaksiatan, adalah satu hal. Namun benci pada yang tergelincir pada maksiat, bukanlah sesuatu yang diajarkan oleh guru-gurunya, termasuk Syeikh Abdullah.

"Saya ingin bicara padamu, tentang seorang murid saya," ucap Syeikh serius.

"Murid Syeikh?" tanya Yunan. Diakui murid oleh beliau, pastinya orang yang dimaksud Syeikh , sangat istimewa. Meski Yunan diajari beliau, tapi Yunan tidak merasa pantas disebut murid beliau.

"Iya. Murid saya yang satu ini, agak unik. Dia berbeda dari murid-murid saya yang lain," imbuh Syeikh dengan senyum dikulum.

Alis Yunan berkerut. Berbeda? pikirnya. Berbeda seperti apa?

"Dia adalah orang yang telah menorehkan gundah dalam hatimu saat ini," lanjut Syeikh.

Yunan tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Siapa yang dimaksud beliau? Tidak mungkin ...

"Dia? Om Yoga? Murid --??" Yunan berkata terbata. Tak habis pikir. Bagaimana mungkin ... ?

Syeikh hanya menjawab pertanyaannya dengan senyum dan anggukan.

"T-Tapi ... maafkan saya, Syeikh. Orang itu, secara syari'at kadang ... ." Bibir Yunan berhenti bergerak, tak sanggup meneruskannya.

Syeikh kembali mengangguk. "Ya. Saya tahu. Tapi dia memiliki kualitas yang sangat sulit ditemukan di zaman sekarang ini."

Yunan seperti akan bicara namun batal. Setelah meredam berbagai rasa, akhirnya ia bicara juga. "Orang itu telah mengkhianati Ibuku," ucapnya sambil mengepalkan tangan.

Senyum Syeikh redup. "Tidak mudah berada pada posisinya. Sekiranya kita terlahir di keluarga dengan harta berlimpah ruah, dan dengan fisik seperti dia, apa kita yakin sanggup menahan diri dari maksiat? Yakinkah kita tidak akan 'tergelincir'? Yakinkah kita tidak akan menjadi tamak dengan menimbun sebanyak-banyaknya harta, bersaing dengan orang-orang kaya lainnya? Yakinkah kita sanggup menyedekahkan harta di jalan Allah tanpa ragu sedikit pun dan tanpa takut miskin?"

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang