Bagian 321 (Demam Hantaran Lamaran)

679 95 16
                                    

.

.

Lalu apa yang harus kita lakukan, saat kita sedang merasa jauh dari-Nya?

Teruslah berusaha untuk mendekat, meski berat. Bersabarlah, seperti sabarnya orang sakit yang sedang menelan obat pahit.

.

.

***

SRAK! Yoga membuka tirai kamarnya. Pukul enam lewat sedikit. Meski cahaya mentari belum nampak, tapi langit sudah mulai terang. Yoga baru saja selesai dengan amalan zikir hariannya. Dia dan ayahnya, hari ini tidak keburu salat Subuh berjamaah di masjid. Walhasil mereka salat di rumah. Saat Yoga mengajak ayahnya untuk salat berjamaah di rumah, Dana menolak.

"Aduh ribet, ribet. Di kamar masing-masing ajalah," kata Dana dengan tangan dikibas layaknya mengusir kucing

"Sayang lho Yah. Pahalanya jauh lebih besar kalau jamaah," kilah Yoga beralasan.

"Ya udah gapapa deh pahala Subuh Ayah yang hari ini, lebih sedikit dari biasanya, Ayah terima apa adanya," komentar Dana, membuat putranya geleng-geleng kepala.

Semenjak Dana pulang membawa barang-barang hantaran untuk lamaran, yang dibahas barang-barang itu terus. Seperti semalam misalnya. Yoga terjebak dalam ocehan panjang ayahnya yang mengisahkan sejarah pemilihan barang-barang hantaran untuk lamarannya.

Semalam selepas makan malam bersama, Dana berdiri mengamati bangku pendek bergaya klasik dengan ukiran warna emas, dengan bantalan beludru merah di atasnya, menjadi singgasana bagi sepasang sepatu kristal berkilauan.

"Lihat, bocah! Ini sempurna, 'kan? Mata ayahmu ini masih jeli. Saat pertama melihat website-nya, Ayah langsung yakin sepatu ini aslinya sangat mewah, seperti di fotonya. Dan begitu lihat langsung, ternyata sepatu ini bahkan lebih cantik dari fotonya!" kata Dana seolah memuji diri sendiri.

Yoga yang masih duduk di kursinya menghadap ke beberapa barang yang tengah dipajang, barang yang dianggap 'istimewa' oleh ayahnya, di antara sekian banyak barang yang dibeli Ayahnya kemarin.

"Ayah beli-beli beginian kenapa gak tanya aku dulu sih? Sepatu ini memang bagus, Yah. Tapi apa sepatu kristal ini benar-benar bisa dipakai? Aku tidak yakin, ke mana Erika akan pergi dengan sepatu ini? Lagi pula, apa tidak bahaya? Jangan-jangan, sekali pakai langsung pecah," komentar Yoga dengan mata menyelidik.

Dana mendelik, tak terima dengan komentar Yoga yang dianggap tak berdasar. "Ya bisa dipakai, dong! Kalau gak percaya, kita cobain aja sekarang. Bastian! Kemari! Coba kamu jajal sepatu kristal ini!" titahnya tanpa pikir panjang.

Bastian yang sejak tadi berdiri di belakang mereka, mundur alon-alon. "S-saya tidak berani, Tuan Besar." Kalau sampai sepatu itu pecah saat dia mencobanya, jangan-jangan gajinya berbulan-bulan kena potong.

Dana menoleh ke anaknya. "Bisa dipakai! Sepatu ini ada garansinya! Erika bisa pakai, ke mana kek. Ke pesta, ke kantor, asal jangan naik angkot dan ke pasar becek aja!" kata Dana bertolak pinggang.

Yoga bersungut-sungut. Bakal repot ini kalau dibahas terus, pikirnya. "Ya sudahlah. Sudah terlanjur dipesan. Erika pasti senang menerimanya," kata Yoga, malas memperpanjang demam hantaran lamaran ini. Erika kemungkinan besar tak akan memakainya, Yoga yakin. Bahkan untuk dipakai ke pesta sekalipun, sepatu kristal itu terlalu berlebihan, sementara Erika bukan tipe wanita yang suka jadi pusat perhatian.

Dana membungkuk dan mengambil tutup kotak kaca, lalu menelungkupkannya di atas sepatu kristal. "Harta karun nih. Harus dikerangkeng biar aman. Heu heu," gumam Dana cengengesan.

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang