Bagian 282 (Memoar Di Bola Kaca)

773 141 26
                                    

.

.

Bagaimana bisa sebuah memoar yang lama terkubur, hidup kembali di dalam sebuah bola kaca?

.

.

***

Orang-orang keluar dari Majelis ke teras, menuruni anak tangga menuju ke rumah masing-masing. Yunan dan Raesha mencium tangan Rizky sebelum mereka saling melambaikan tangan. Rizky menaiki motor menuju rumahnya yang tidak jauh dari masjid. Yoga dan anak-anak memasuki pintu mobil sedan hitam dan mobil berjalan perlahan menyusuri jalan empat meter-an. Sesekali Yoga melambaikan tangan pada jamaah pria yang sedang berjalan kaki di trotoar, melalui jendela kaca mobil yang sengaja dibukanya sedikit.

Kaca mobil di samping Yoga perlahan menutup. Mata Yoga melirik ke cermin spion tengah. Dilihatnya Raesha masih tampak bugar, sedang celingukan melihat ke jalan.

"Kamu belum ngantuk, Raesha?," tanya Yoga pada bocah cilik itu. Dipikir-pikir, ini pertama kalinya Yoga bertanya pada Raesha lebih dulu. Biasanya anak itu selalu berceloteh duluan.

Raesha menggelengkan kepala sambil membalas tatapan Yoga di cermin spion. "Belum Om," jawabnya.

"Tuh lihat Yunan. Masa' kamu kalah sama Raesha?," tanya Yoga menggoda Yunan yang duduk di sebelahnya.

Yunan menjawab gelagapan, "I-iya maaf Om. Seminggu ini aku mungkin agak kecapean karena belajar di rumah temanku sampai malam. He he."

Wajah Yoga berubah simpati. "Kamu keliwat rajin sih. Belajar jangan sampe begitu banget lah. Yunan, kalau kamu kecapean, kamu enggak harus ikut pengajian kok. Nanti aja kalau lagi enggak sibuk," kata Yoga tersenyum.

"E-eh ... bukan begitu, Om! Aku beneran mau ngaji kok! Aku enggak merasa terpaksa ikut!," tukas Yunan segera. Khawatir Yoga salah mengartikan niatnya mengaji. Dia bersedia mengikuti pengajian bersama Yoga karena memang itu kegiatan yang menyenangkan. Pertama, karena kegiatan ngajinya bareng Yoga. Kegiatan apapun kalau dikerjakan bersama Yoga, selalu menyenangkan. Kedua, Yunan merasa nyaman bahkan hanya dengan menatap Habib dari jauh. Selain itu, Yunan merasa mendapatkan ilmu-ilmu baru yang bahkan belum pernah didapatnya saat dulu di pesantren. Dan Habib membawakannya dengan cara yang menarik. Mungkin itu juga yang membuat jamaah beliau betah berlama-lama di Majelis, dan jumlahnya terus bertambah. Lama kelamaan, ruang masjid mungkin tak cukup menampung dan jamaah luber ke jalanan.

Mobil mereka mendekati pertigaan jalan menuju jalan utama. Melewati deretan ruko dan pertokoan. Ada dua toko yang sedang menutup pintu besinya, hingga etalase depan tak nampak lagi.

"Toko sudah pada tutup," gumam Yoga pelan.

Yunan melihat sekeliling. "Iya. Tapi masih ada satu di sana yang buka," katanya sambil menunjuk ke sebuah toko di kiri jalan yang lampunya masih menyala.

Yoga menoleh ke arah yang dimaksud. Matanya mengerjap saat melihat etalase kaca yang tampak manis dengan suvenir-suvenir kado terpajang. Sebuah benda mungil tertangkap oleh matanya. Berkilauan.

Yunan dan Raesha terkejut saat tiba-tiba Yoga mengambil sein ke kiri dan mobil menepi di samping trotoar.

"Lho? Kok berhenti, Om?," tanya Yunan bingung.

"Om Gondrong mau belanja ya??," tanya Raesha polos, memajukan badannya di antara dua kursi depan.

Yunan menatap adiknya lelah. Berapa kali dia harus bilang pada Raesha untuk tidak menyebut Yoga dengan panggilan itu? "Rae, ja-,"

"Biarkan dia, Yunan. Percuma. Lagi pula, sebutan Om Gondrong terdengar tidak buruk. Aku mulai menyukainya," kata Yoga sambil nyengir. "Aku mau lihat sesuatu di toko ini. Kalian bebas mau ikut turun atau di mobil saja. Oke?"

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang