ALONA (e) 4

274 65 149
                                    

"Satu-satunya orang yang Ana sayang adalah Mama. Dia tidak pernah meninggalkan Ana seperti Papa."

Alona Ray Zeena

Ana berjalan sendiri menyusuri koridor kampus yang sudah mulai sepi, walaupun masih ada beberapa mahasiswa yang berada di kampus seperti dirinya. Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Ia segera mempercepat langkahnya untuk pulang.

Ana memang selalu begitu, menghabiskan waktunya dengan tenggelam di antara buku-buku yang dibacanya di perpustakaan hingga lupa waktu.

Ana memutuskan untuk menghubungi sopirnya. Sembari menunggu di halte, sesekali pandangannya menyapu seluruh jalanan yang sudah sepi dan sedikit gelap, hanya ada cahaya dari lampu penerangan jalan.

Tidak lama kemudian suara itu datang kembali. Suara yang pernah didengarnya beberapa waktu lalu.

Srek srek srek

Suara itu terdengar semakin dekat dan terus mendekat. Ana masih diam di tempatnya tidak menunjukkan aura takut sedikit pun. Dirinya akan semakin tertantang untuk memastikan siapa yang selalu mengganggunya itu.

"Siapa di sana?" tanya Ana sedikit keras. Namun, tidak ada sahutan sedikit pun.

Srekk srekk srekk

"Ck, penakut nggak berkelas!" umpat Ana keras, sengaja menaikkan volume suaranya.

Suara itu sudah tidak ada lagi. Sekarang benar-benar sepi.

Sebenarnya Ana masih penasaran, tapi ia terlalu cuek dan malas untuk sekedar mencari tau.

Tidak lama kemudian sopir yang menjemput Ana datang. Ana pun langsung masuk ke dalam mobil.

"Maaf Non, Bapak sedikit telat menjemput Non Ana dan membuat Non Ana menunggu lama. Karena, mobil ini tiba-tiba mogok di jalan, untung saja hanya sebentar, Non," ucap Pak Kisno, sopir yang sudah lima tahun berkerja di tempat kediaman Ana.

Ana melihat sebentar ke arah pak Kisno sembari berucap, "Tidak apa Pak Kisno."

...

Ana langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Rasa lelah dan kantuk mendominasi dirinya saat ini.

Ana memejamkan matanya, baru beberapa detik kemudian ia membukanya kembali. Ia teringat dirinya belum mandi.

Suara gemericik air terdengar dari arah kamar mandi Ana, dirinya sebenarnya malas untuk mandi dan berakhir hanya dengan mencuci wajah dan mengosok gigi.

Setelah itu, ia keluar dari kamar mandi dan menganti bajunya dengan piyama berwarna hitam bermotif awan yang berwarna putih.

Ia berdiri di depan cermin, memandangi sejenak wajahnya.

Cantik.

Ana mencoba menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah lengkungan, sedikit kaku, seakan dirinya tidak mengenal bayangan di depannya itu.

Dirinya terlalu sering berekspresi datar dan dingin, dan terlihat aneh saat dirinya tersenyum tadi. Tapi, Ana baru sadar ia lebih cantik saat tersenyum.

"Apa Ana bisa tersenyum lagi?" tanya Ana entah kepada siapa.

Hari-hari Ana sudah terbiasa tanpa senyuman di wajahnya. Mungkin terlihat membosankan namun Ana menyukainya.

Ana berjalan ke arah sofa yang berada di kamarnya. Matanya menerawang ke depan dengan dahi yang sedikit berkerut.

Ia sedang berfikir.

Ana memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya dengan dirinya, dengan mamanya juga.

Mengingat mamanya, Ana jadi kepikiran dengan wanita itu. Wanita yang selama ini selalu ada untuknya, menjadi orangtua sekaligus teman satu-satunya yang Ana punya.

Akhirnya Ana beranjak dari kamarnya menuju kamar mamanya, hanya untuk memastikan mamanya baik-baik saja.

Dibukanya pintu kamar mamanya yang memang tidak terkunci. Dengan perlahan ia melangkahkan kakinya masuk dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara sedikitpun.

Gelap.

Hanya gelap yang terlihat di depan mata Ana. Mama Ana memang selalu tertidur dalam keadaan gelap. Hanya sedikit cahaya yang berasal dari lampu tidurnya yang berada di atas nakas.

Ana berjalan ke arah mamanya, dan duduk di tepi ranjang di samping mamanya dengan pelan, takut membangunkan mamanya karena pergerakan yang ia timbulkan.

Diperhatikannya wajah mamanya yang tertidur pulas. Seulas senyum tercetak di bibir Ana.

Senyum yang hanya diberikan oleh orang yang Ana sayang, yaitu mamanya.

Geana adalah satu-satunya yang Ana sayang. Dulu ada papanya, tapi sekarang nama lelaki itu sudah tidak menjadi bagian yang masuk dalam daftar orang yang disayangi Ana, mengingat semua yang telah dilakukan papanya terhadap dirinya dan juga mamanya.

"Mama, maafkan Ana yang selama ini buat susah Mama aja, yang belum bisa buat Mama bahagia. Ana tau Mama pasti kesepian 'kan selama ini? Papa udah ninggalin kita. Cuma kita berdua aja sekarang. Ana janji, Ana pasti bisa buat Mama bahagia," ucap Ana lirih agar tidak membangunkan mamanya.

Setetes air mata mengalir tanpa izin di pipi putih Ana. Segera ia menyekanya, tidak mengizinkan air mata itu mengalir lagi.

"Ana tidur di samping Mama, ya, buat nemenin Mama. Ana kangen banget sama Mama," ucap Ana lagi kemudian membaringkan tubuhnya di samping mamanya.

Dipeluknya mamanya dengan erat dan memperhatikan wajah Geana yang masih cantik walaupun sudah tidak muda lagi.

"Cantik," gumam Ana pelan dengan senyuman.

Papa pasti nyesel karena udah ninggalin Mama! Batin Ana.

"Selamat tidur Mama," ucap Ana akhirnya sebelum memejamkan mata.

Tanpa Ana sadari, Geana mendengar semua yang diucapkan oleh anaknya itu. Ia meneteskan matanya, terharu sekaligus bersyukur memiliki anak seperti Ana.

Diusapnya rambut anak semata wayangnya itu, "Kamu selalu ada buat Mama, selalu nemenin Mama. Itu sudah cukup buat Mama bahagia sayang," ucap Geana lirih, memperhatikan wajah anaknya yang sudah tertidur pulas itu.

"Maafin Mama, karena buat kamu sulit dalam situasi ini."

Ini salah Mama, semuanya karena Mama An. Batin Geana sedih.

...

Gimana sejauh ini cerita mereka?

Semoga selalu suka dengan cerita kehidupan Ana ya.

Oiya, siapa yang kangen sama Leo?

Leo nggak ada ya di bagian ini.

Tenang aja di part berikutnya pasti Leo ada kok.

Suka:
Ana
Leo
Sena
Geana
Edwin

Siapa nih yang udah nggak sabar nunggu kisah mereka lagi?

Sampai jumpa di part berikutnya lagi ya.

Terus vote dan comment guys ⭐💬

See you next part 👋

Bye-bye

19 Oktober 2020

ALONA (e) | ENDWhere stories live. Discover now