ALONA (e) 31

89 20 2
                                    

"Rasanya sakit! Saat rasa mulai ada, lantas sejenak sirna karena kebenaran yang menyakitkan."

ALONA (e)

Ceklek

Pintu berwarna putih terbuka, saat seorang lelaki paruh baya keluar dari ruangan serba putih itu.

Ana langsung berdiri menghampiri lelaki dengan setelan jas putih di tubuhnya.

Raut wajah gadis itu terlihat khawatir sejak tadi, baru kali ini ia benar-benar menampakkan ekspresinya.

"Gimana keadaan Mama Ana, Dok?" tanya Ana, terlihat wajahnya yang masih cemas memikirkan keadaan mamanya di dalam sana.

Lelaki dengan nametag bertuliskan Farhan itu nampak menghembuskan napasnya pelan, sebelum mengatakan tentang keadaan Geana.

"Mama kamu baik-baik saja. Sebentar lagi ia akan sadar, hanya saja ia mengalami shock yang berlebihan, jadi disarankan untuk banyak istirahat saat ini. Dan, jangan biarkan Mama kamu berpikir berlebihan, apalagi membuatnya shock kembali," ujar dokter Farhan menjelaskan.

"Sekarang kamu bisa menjenguk Mama kamu," lanjutnya diakhiri dengan senyum hangat.

"Baik, terima kasih," jawab Ana. Dokter itu mengangguk pelan, setelah itu berlalu dari hadapan Ana.

Ana mendorong pelan pintu berwarna putih. Melangkahkan kakinya pelan memasuki ruangan serba putih bercampur biru muda itu.

Terlihat seseorang wanita terbaring lemah di ranjang tersebut, membuat Ana semakin terlihat cemas.

Ana mengambil kursi dan duduk di sebelah ranjang, tempat mamanya saat ini dirawat.

Ia mengambil tangan mamanya yang lemah, menggenggamnya erat. Memberikan kekuatan kepada wanita yang paling berharga dalam hidup Ana.

Tidak ada lagi ekspresi datar yang terukir di wajah Ana saat ini, yang ada hanyalah ekspresi cemas melihat mamanya terbaring tidak berdaya di hadapannya.

Sebulir air mata lolos dari matanya yang terlihat sendu. Bukan lagi tatapan tajam yang biasa gadis itu perlihatkan di depan banyak orang, saat ini hanyalah kesedihan yang terpancar dari mata indahnya itu.

"Ma, Mama bisa dengar Ana ngomong?" Gadis itu bertanya kepada mamanya dengan suara pelan. Yang tentu saja tidak akan ada jawaban.

"Iya, Ana tau. Mama nggak bisa dengar Ana ngomong saat ini," lanjutnya lagi. Ia semakin mengenggam erat tangan mamanya, meletakkannya di pipi sebelah kiri tanpa melepaskan genggamannya.

"Mama tau nggak? Ana ikut sakit lihat Mama kayak gini." Ingatannya kembali ke kejadian beberapa jam lalu, yang membuat mamanya menjadi seperti ini.

"Dari awal Ana yang salah! Ana salah menilai semuanya. Dia ... dia anak lelaki itu. Lelaki yang Ana benci karena membuat Mama terluka. Dan saat ini, Ana jadi membenci anaknya!" ujar gadis itu dingin di akhir kalimatnya.

"Ana benci mereka, Ana BENCI!!" Tangisnya pecah disertai badannya yang bergetar. Ia menahan isakan yang lolos dari bibirnya, ia tidak ingin membuat mamanya terganggu.

"Ma! Setelah ini, Ana tidak akan membuat kesalahan lagi. Mengenal dia hanya akan membuat Ana dan Mama terluka," ucapnya, mengingatkannya dengan sosok lelaki yang akhir-akhir ini mengisi kehidupannya.

ALONA (e) | ENDМесто, где живут истории. Откройте их для себя