Part 34: Kekhawatiran

Start from the beginning
                                    

"Apa?"

"Santai, dong! Sewot amat."

"Cepetan atau gue matiin."

"Gue di rumah sakit, lo kesini bisa?"

"Emangnya lo bayi?"

"Yang nyuruh lo ngejenguk gue juga siapa? Ini tentang Aksa."

Frans mematung di tempatnya duduk kali ini. Membayangkan apa-apa kemungkinan yang terjadi pada tetangganya itu. Sudah tiga hari Aksara tidak pulang. Sudah tiga hari juga sejak Frans terakhir kali bertemu dengan Aksara pagi itu.

"Rumah sakit mana?"

Frans segera melepas sabuk pengaman yang tadi sudah terpasang. Ia turun dari mobil dan berlari kecil untuk mengambil sepeda motor biru nya. Semua orang tau betul bagi siapapun yang terburu-buru, sepeda motor jauh lebih efektif.

Sebelas menit berlalu sejak Frans memilih membelah jalanan kota dengan sepeda motor. Dan di menit ke dua belas inilah, ia baru sadar. Kalau hari ini ada janji dengan Sania.

Bahkan tadi, Frans sudah memasuki mobil untuk berangkat menjemput Sania. Pria itu berdecak sebal. Kemudian menepi untuk memberi kabar.

Maaf banget San.
Gue hari ini mendadak nggak bisa.
Lain waktu, ya.

Hoodie putih bertuliskan Nerdy membuatnya semakin gerah ketika tau pesannya hanya dibaca oleh Sania. Enggan mencari masalah dan berlama-lama, pilihan Frans adalah menelpon sahabatnya tersebut.

"San, gue minta maaf banget, ya? Bener bener mendadak."

"..."

"Gue janji besok."

"Nggak usah juga nggak papa"

"Beneran? Yaudah kapan kapan aja ya? Bye, San! Duluan ya, gue buru buru."

"F-"

Tut!

"Maaf, San. Lain waktu," gumam Frans bermonolog. Ia secepatnya menyalakan mesin motor menuju ke rumah sakit tempat Leon berada saat ini. Ia bersyukur Sania bisa menerima kejadian pagi ini.

Buku biru bercover paus yang ada di pangkuan Aksa baru saja tertutup

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Buku biru bercover paus yang ada di pangkuan Aksa baru saja tertutup. Gadis itu tersenyum simpul.

Suara deburan ombak menyentuh lembut gendang telinganya secara berkala. Angin kencang dengan matahari bulat bersinar terik tepat di atas kepala. Laut itu menyenangkan. Bahkan hanya dengan menatapnya, Aksa bisa merasakan ketenangan. Seperti Frans dulu.

Senyum di bibir Aksa belum juga menghilang. Jari-jari kaki perempuan itu menyisir pasir di bawah gazebo yang tengah ia duduki.

FRASA [✓]Where stories live. Discover now