43.pengakuan

2.1K 111 2
                                    

Pagi ini jenazan Davit di kebumikan. Tangis air mata mengiringi kepergiannya. Bahkan Bila sempat pingsan saat melihat putranya di kafani. Hal yang paling menyedihkan adalah disaat kita melihat anak kita sendiri sudah tidak bernyawa.

Bila terus menangis, apalagi saat tubuh Davit di masukkan kedalam liang lahat. Bila meronta dalam dekapan Maryam. Ibu mana yang sanggup melihat kepergian anaknya? Bila sangat terluka, batinnya menjerit meminta allah mengulang waktu. Jika dia tahu akhirnya akan seperti ini, dia tidak akan ikut suaminya pergi ke pesta rekan kerja suaminya.

Saat semua orang sudah pergi, Bila langsung ambruk di gundukan tanah milik Davit. Tanah merah itu masih basah, harum bunga melati menyeruak masuk kedalam indra penciuman Bila.

"Secepat inikah kamu pergi sayang? Bahkan mama belum sempat memperkenalkan kamu kepada nenekmu." Bila mengusap batu nisan yang bertulis nama Davit Leonald. Bibir Bila bergetar membaca tulisan itu.

"Yaallah, aku rindu dengan putraku." Maryam mengusap bahu Bila, sedangkan Najib dan Bagas, mereka berdua tertunduk dengan mata memerah.

"Semua yang hidup akan mati, jadi jangan sedih." Bagas memeluk istrinya, dia sama seperti Bila, kehilangan sosok putra pertamanya.

"Tapi apa harus secepat ini? Bahkan aku belum sempat membuatnya bahagia. Dia selalu menangis sewaktu kecil, dia selalu bertanya siapa papanya? Tapi aku hanya bisa diam. Lalu setelah dia bertemu dengan kamu, allah mengambilnya kembali." Bagas hanya diam, dia meratapi apa yang terjadi. Dunia memang seakan tidak adil, baru saja dia bertemu dengan putranya, tapi allah sudah mengambilnya kembali.

"Bi..." Maryam memeluk suaminya, dia bersyukur allah selalu melindungi keluarganya.

"Ayo pulang, sebentar lagi hujan akan turun." Ajak Najib, sambil mengadah keatas.

"Tapi Davit..."

"Bil, Davit sudah tenang disana. Ikhlasin dia." Maryam mengusap jilbab hitam milik Bila.

"Dia disana sendirian, dia kespian Mar. Aku..."

"Kamu sayang sama putra u?" Maryam menyeka air mata Bila. Bibir Bila bergetar, lalu dia menganggukkan kepalanya.

"Ikhlasin dia, dia tidak akan tenang jika kamu begini." Lanjut Maryam.

"Tapi..."

"Bil..."

"Yallah, aku titip putraku. Tolong tempatkan dia disisi terbaikmu." Doa itu meluncur begitu saja dari bibir seorang ibu.

"Papa pulang Dav, entah bagaimana hidup papa dan mama tanpa kamu, yang jelas kami akan mendoakan dirimu selalu. Terimakasih nak, kamu sudah menjaga mamamu disaat papa tidak ada disisi kalian. Papa menyayangimu." Bagas mencium batu nisan putranya, setetes cairan bening membasahi kedua pipinya.

***

Hana menatap lembut wajah tampan suaminya yang tidak kunjung sadar. Rasa lapar begitu sangat menyiksanya. Dia tidak tega meninggalkan Angga sendiri, karena semua orang sedang ikut mengebumikan Davit.

Tangan yang tadinya diam, bergerak peran. Bibir Hana tertarik kesamping kanan dan kiri.

Hana menekan bel yang ada di kamar inap Angga. Dokter Farhan berlari kecil, dia masuk kedalam ruang inap Angga.

"Tangannya bergerak dok." Hana menunjuk tangan kanan Angga.

"Sebentar," Dokter Farhan memeriksa Angga yang perlahan matanya terbuka.

"Alhamdulilah, Mas Angga sudah sadar. Kondisinya sudah mulai membaik, ini adalah kabar bahagia." Dokter Farhan ikut senang ketika melihat Angga kembali membuka matanya.

Derita Cinta Pernikahan ( Complite)Where stories live. Discover now