30. Dalamnya perasaan

2.1K 110 0
                                    

Hana meringis pelan ketika melihat kakaknya sedang berjalan menuju parkiran. Dirinya yang ingin keluar dari TAXI yang dirinya tumpangi langsung mengurungkan niatnya. Bisa-bisa dirinya di suruh pulang jika sampai kakaknya itu tahu dirinya datang ke rumah sakit hanya untuk menemui Angga.

"Kenapa kakak tidak pergi-pergi sih?!" Geram Hana, dia menggigit ujung jarinya dengan panik. Mobil hitam milik Fathur keluar dari area rumah sakit. Hana menghela nafas lega. Akhirnya kakaknya itu sudah tidak ada.

Setelah membayar TAXI yang dia tumpangi, Hana berjalan santai masuk kedalam rumah sakit. Hana mencoba mengingat-ingat no ruang inap Angga.

"Nah, ini..." Tunjuk Hana, senang. Dirinya ragu ingin masuk kedalam ruang inap Angga.

Tok...., tok....

Hana mengetuk pintu ruang inap Angga. Tangannya sedikit bergetar, dirinya sangat gugup sekali hanya karena akan bertemu dengan Angga.

"Masuk..." Suruh seseorang dari dalam ruangan.

"Assalammualaikum." Hana mencium tangan Bila dan Angga.

"Waalaikumsalam. Untung kamu kesini Han, mama mau pulang sebentar. Dari pagi mama belum mandi, lengket semua. Mama titip Angga sama kamu ya?" Bila terlihat heboh sendiri melihat kedatangan Hana.

"Bukannya aku sudah menyuruh mama pulang sedari tadi, tapi mama menolaknya." Angga angkat bicara ketika mamanya mengeluh.

"Lalu yang jaga kamu siapa? Kamu ini.." sepertinya Bila tidak mau kalah dengan anaknya. Hana tersenyum melihat pertengkaran kecil keduanya.

"Iya, Ma. Biar aku yang jaga Mas Angga." Hana tersenyum kearah Bila.

"Yaallah Han, baik banget kamu ini. Makasih loh. Mama pulang dulu, Assalammualaikum." Bila berjalan cepat keluar dari ruang inap Angga.

Suasana di dalam ruangan ini sangat canggung. Hana menjadi salah tingkah sendiri ketika melihat Angga terus menatap wajahnya.

"Apa kamu akan terus berdiri disitu dan tidak mau duduk?" Sindir Angga, hal itu membuat Hana yang sedang melamun menjadi terjengkit kaget ketika mendengar suara tiba-tiba Angga. Hana duduk di sofa panjang yang berada di ruang inap Angga.

"Duduk di samping suami sendiri tidak dosa, Han. Kenapa kamu harus duduk sejauh itu?" Angga menatap Hana sambil menghela nafas pelan. Rasanya mereka seperti pengantin baru. Lihatlah, Hana sedang malu-malu sekarang.

"Heee..., iya." Cengir Hana, salah tingkah. Dia meruntuki dirinya sendiri yang sok malu-malu.

"Ini mataku kayaknya bermasalah." Angga mengerjab-ngerjabkan matanya dikala Hana baru duduk di sampingnya.

"Apa perlu aku panggilkan dokter?" Tanya Hana, panik. Apa mungkin rasa sakit di kepala yang Angga rasakan sekarang pindah ke mata?

"Tidak perlu, karena kamu yang membuat mataku sakit. Karena wajah malaikatmu yang bersinar itu membuat mataku silau. Aku baru menyadari bahwa kamu perempuan yang sangat cantik. Pantas saja mataku sakit, karena lelaki berdosa sepertiku seperti tidak di injinkan melihat bidadari sepertimu. Entah masih pantaskah aku bersanding denganmu atau...."

"Tidak ada manusia yang sempurna. Mengertilah Mas, aku mencintaimu." Ungkapan rasa yang keluar dari bibir merah milik Hana membuat senyum Angga melebar.

"Apa kamu mau memberiku kesempatan kedua?" Angga bertanya dengan penuh harap.

"Biarkan aku menebus semua dosaku kepadamu dengan cara menjagamu kembali. Menjadikan kamu Perempuan satu-satunya di hidupku. Perempuan berharga setelah mamaku." Bukan senyuman yang Hana perlihatkan, mata sendunya menatap tepat di manik mata Angga.

"Apa kamu mau kembali denganku hanya untuk menebus dosa kamu kepadaku?" Tanya Hana, kecewa. Sontak Angga langsung menggelengkan kepalanya.

Angga memegang tangan putih Hana. Dia membawa telapak tangan itu untuk memegang jantungnya.

"Aku yang terlalu bodoh untuk mengartikan degup jantungku selama aku dekat denganmu. Jantung ini berdetak cepat dikala aku bersamamu." Angga menjawab pertanyaan Hana dengan mata teduh.

"Bodoh, jatung memang berdetak. Jika jantungmu berhenti berdetak tandanya kamu sudah tidak bernyawa." Sinis Abim, dia masuk kedalam ruang inap Angga. Pintu ruang inap yang tidak tertutup rapat, membuat Abim yang tadinya ingin pergi memeriksa pasiennya, berjalan masuk kedalam ruang inap Angga.

"Apa kamu tidak punya sopan santun? Tidak bisakah kamu mengucapkan salam sebelum masuk?" Sindir Angga yang di balas Abim dengan senyuman sinis.

"Lalu bisakah kamu tidak memberi harapan palsu kepada Hana?" sinis Abim, membalikkan sindiran Angga.

"Harapan palsu apa?" Tanya Angga, dia tidak mengerti dengan arah bicara Abim.

"Kamu memberi harapan kepada Hana, seolah-olah kamu benar-benar mencintainya. Tapi nyatanya kamu tidak benar-benar mencintainya. Andai dulu Meli tidak menghianatimu, apa kamu akan kembali kepada Hana?" Pernyataan yang Abim ungkapkan membuat hati Hana seakan di remas secara perlahan. Yang Abim katakan memang sebuah kenyataan. Hana ingin menepisnya, namun dia tidak bisa.

"Kamu memang bisa mengambil hati Hana kembali, karena mungkin dia masih menghormati kamu sebagai suami. Tapi apa mungkin kamu bisa mengambil hati kedua orang tua dan kakaknya? Karena setahuku, seorang ayah tidak akan membiarkan putrinya terluka. Dan seorang ibu tidak mungkin mempercayai kembali lelaki yang pernah membuat putrinya menangis. Dan sudah aku pastikan, tidak ada seorang kakak yang rela hati adik perempuannya di lukai oleh lelaki yang sama." Abim menarik sudut bibir kirinya ke atas, hal itu membuat Angga menggeram kesal. Sedangkan Hana hanya diam mengakui sebuah fakta yang ada.

"Akan aku buat mereka percaya. Karena aku benar-benar ingin mengulang semuanya dari awal. Aku berjanji Hana tidak akan menangis karena aku lukai, tapi dia akan menangis dengan perlakuanku yang lembut." Angga berkata dengan yakin.

"Ingin mengulang kembali? Bahkan kaca yang retak tidak akan kembali kebentuk semula walau tukang dari luar negeri yang membenahi kaca itu. Pasienku sudah menunggu, aku pergi dulu. Assalammualaikum." Abim pergi dari ruang inap Angga sambil memasukkan tangan kirinya kedalam saku celana bahannya.

Angga terdiam dengan nafas memburu. Apa yang Abim katakan membuat posisinya untuk mendapatkan Hana kembali terancam.

"Seorang lelaki yang benar-benar serius membina rumah tangga dengan perempuan yang dia cintai tidak akan menyerah hanya karena gertakan dari lelaki lain." Hana berkata dengan tatapan lurus kedepan.

****

"Bunda kok gak ngomong sama aku kalau Hana kesini?" Zahra menekuk wajahnya, sambil memakan kue kering buatan Bundanya.

"Ya kan kamu sudah pergi sama Nak Alan. Bagaimana Bunda memberi tahu kamu?" Zahra tetap menekuk wajahnya. Dia merasa bersalah kepada Hana. Pasalnya dia tahu, Hana tadi pasti terburu-buru kesini. Karena Hana orangnya tidak enakan jika bertamu ke rumah orang pagi-pagi sekali. Jadi dia pasti bertandang ke rumahnya pada siang hari, di waktu kesibukannya berangkat kuliah.

"Harusnya Bunda telpon aku." Mata Zahra terlihat sendu. Bundanya pun langsung membawa dirinya kedalam pelukan hangatnya.

"Hana pasti mengerti." Bundanya mengusap rambut hitam legamnya. Zahra melepas jilbabnya karena di rumahnya hanya ada dia dan bundanya. Ayahnya sudah tidak pulang hampir 1 bulan. Semenjak pertengkaran itu, Zahra tidak lagi pernah menyebut kata ayah di depan bundanya.

"Kadang Bunda merasa memiliki anak kembar. Yaitu kamu dan Hana." Zahra tersenyum mendengar ucapan bundanya. Dirinya dan Hana memang seperti anak kembar. Dimana-mana mereka berdua pasti bersama.

"Aku sayang bunda." Zahra mencium pipi bundanya. Bundanya yang sebaik ini aja ayahnya tinggalkan. Apalagi dirinya yang banyak kekurangan. Apakah Alan nanti akan seperti ayahnya? Pergi meninggalkannya ketika dia sudah bosan kepadanya.

Derita Cinta Pernikahan ( Complite)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu