Bab 56 | Ingin Terus Berjuang

2.7K 272 9
                                    

ओह! यह छवि हमारे सामग्री दिशानिर्देशों का पालन नहीं करती है। प्रकाशन जारी रखने के लिए, कृपया इसे हटा दें या कोई भिन्न छवि अपलोड करें।

•••

ओह! यह छवि हमारे सामग्री दिशानिर्देशों का पालन नहीं करती है। प्रकाशन जारी रखने के लिए, कृपया इसे हटा दें या कोई भिन्न छवि अपलोड करें।

•••

Eccedentesiast

Bab 56 | Ingin Terus Berjuang

•••

Aksa meringkuk. Sedari tadi, kedua tangan Aksa meremas dada kirinya. Ia meringis, bahkan sampai menangis karena rasa sakit yang terus saja menyiksanya sejak selesai melakukan echocardiography tadi. Tubuh Aksa yang dibanjiri keringat terasa dingin di permukaan kulit tangan bunda. Wajahnya yang pucat bahkan makin pucat lagi. Bibirnya yang sedikit terbuka itu tampak kering dan sianosis.

Sejujurnya, Aksa tidak tahu letak kesalahannya di mana. Ia beristirahat dengan cukup, tidak memikirkan yang aneh-aneh, dan tidak berulah sejak semalam. Meski hidup tanpa kenakalan tidak ada rasanya, tapi kalau rasa sakit yang harus ditanggungnya setiap kali berulah separah ini, Aksa lebih memilih untuk diam.

"Bunda ... sakit," ringis Aksa. Ia meraih tangan bunda dan meremasnya sekeras mungkin. Seolah Aksa ingin bunda juga merasakan apa yang dirasakan olehnya. Obat yang dikonsumsi rasanya tidak berguna. Nyatanya, rasa sakit itu masih menyiksa.

Kini, Aksa harus dipantau secara intensif. Setiap lima belas menit, tekanan darahnya akan diukur. Nadi, pernapasan, serta kadar oksigen dalam darahnya terus diperhatikan.

"Iya, Dek. Tahan, ya." Ketika berucap, rasanya bunda sulit untuk mengucapkan sepatah kata. Ia tidak pernah kuat jika harua berhadapan dengan kondisi Aksa yang menurun. "Minggu depan Adek udah tujuh belas tahun, loh. Ayo, Adek hebat udah bisa ngelewatin semuanya selama ini. Masa, mau nyerah gitu aja?

"Dulu, pas Adek masih usia beberapa hari, Adek udah dipasangin ventilator. Bunda mau ngegendong aja susah banget rasanya. Takut kalau salah sedikit, nanti Adek kenapa-napa. Terus, Bunda ingat banget, di usia Adek yang masih semuda itu, bahkan sebelum Adek usia tiga tahun, Adek udah ngejalanin tiga operasi jantung."

Aksa diam, mendengarkan. Pipinya tampak dibasahi oleh air mata. Lalu, tetesannya mereda.

"Pas Adek pertama kali ngejalanin operasi Norwood, Bunda rasanya nggak mau ngelepas Adek gitu aja. Pas Bunda antar Adek ke OK, Bunda penginnya ikut masuk ke dalam. Bunda takut, Dek. Walau di dalam ada Ayah juga. Tapi, pas Bunda akhirnya bisa ngeliat Adek lagi, Bunda senang banget." Bunda terkekeh geli. Ia mengusap sudut matanya yang berair. Lalu, bunda menyingkap surai Aksa yang menutupi keningnya.

"Adek kecil banget pas itu, tapi udah punya luka operasi di dada yang besar. Bunda aja operasi SC udah mau nangis-nangis saking sakitnya. Tapi Adek enggak gitu. Adek keliatan kuat banget. Setiap kali Bunda ajak ngobrol, Adek pasti ngeliat Bunda, terus senyum. Adek seolah bilang kalau semuanya baik-baik aja."

Aksa lantas tersenyum tipis. Ia menghela napas panjang meski sesak masih terus menyiksanya. Tangisnya benar-benar mereda sesaat setelah dongeng masa kecilnya kembali dilantunkan. Salah satu hal yang menjadi bukti bahwa Aksa adalah salah satu manusia terhebat di bumi ini.

"Masa, Adek malah makin nggak semangat gini? Dulu, Adek itu yang paling hebat." Bunda tersenyum lebar. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulutnya. Bunda terpejam erat.

Karena teman-teman Adek udah meraih sayap malaikatnya di usia beberapa bulan, sementara Adek masih bertahan sampai sekarang.

"Ak-sa hebat, ya ... Bun." Aksa berucap terbatas di tengah sisa isakannya.

"Banget. Adek hebat banget," timpal bunda, "Adek pasti bisa sembuh suatu hari nanti. Asal, Adek mau sabar, ya. Doa terus biar keajaiban itu cepat datang."

Entah sudah berapa kali bunda merapalkan kalimat tersebut. Dengan jumlah yang sama, bunda sudah memberi harapan berlebih untuk Aksa. Tetapi, apa salahnya mengucapkan kalimat harapan semacam itu?

Bunda sudah berkali-kali melihat Aksa terbaring di ranjang peskaitan. Sejak berusia beberapa hari bahkan hingga kini, hal itu seolah jadi hal yang biasa untuk bunda. Berkali-kali memohon agar keajaiban yang dinantinya itu cepat menghampiri. Memberikan kesembuhan dan kehidupan yang normal bagi putranya tersebut.

"Bantu Aksa buat tetap berjuang, ya, Bun."

Bunda tersenyum tipis. Ia tidak mampu lagi menahan kebahagiaannya setiap kali melihat Aksa kembali bersemangat akan kehidupannya. Sinar indah di manik cokelatnya kembali, menerangi hati bunda hingga ke lubuk terdalamnya.

"Iya, Dek. Pasti."

•••eccedentesiast•••

Bunda

Kondisi Adek udah membaik, kok. Kakak tenang aja. Semangat kuliahnya, ya, Kak. Bunda doain yang terbaik buat Kakak.

Hasil pemeriksaannya bagus, Kak. Cuma kita harus jaga biar nggak ada komplikasi lainnya. Kakak bantu jaga adeknya, ya. Jangan terlalu dipikirin, ya. Kakak fokus kuliah aja. Kayaknya Adek cuma terlalu stres, makanya gitu.

Arza tersenyum tipis saat membaca pesan itu. Pada akhirnya, ia mampu bernapas lega. Diletakkannya kembali ponsel di atas meja sebelum akhirnya kembali mencatat penjelasan dosen.

"---Anda tahu kalau yang di sinetron-sinetron? Ketika ada adegan asistole, lalu dilakukan tindakan defibrilasi. Nah, itu salah. Kalau ritme asistole, yang harus dilakukan cuma resusitasi jantung paru. Beda lagi kalau ventrikel fibrilasi atau ventrikel takikardi. Baru, dilakukan defibrilasi."

"Loh, selama ini gue dibego-begoin, dong?" bisik Ghafi yang duduk tepat di sebelah Arza.

"Iya, Saudara Ghafi. Anda sudah dibodoh-bodohi oleh tayangan seperti itu." Bukan Arza yang menjawab, tapi Bu Mira. "Itulah sebabnya pendidikan kesehatan sangat penting bagi masyarakat awam. Bayangkan kalau Anda berada di rumah sakit, lalu ada pasien yang mengalami asistole, dan keluarga pasien marah-marah karena katanya keluarganya tidak disetrum. Anda harus bisa menjelaskan. Sampai di sini, ada yang ingin ditanyakan? Kalau tidak ada kita lanjutkan ke PEA, pulseless electrical activity---"

Arza menunduk, kembali menulis di bukunya, buku bersampul kucing yang Aksa berikan dihari ulang tahunnya. Karena topik hari ini, ia lantas mengingat Aksa. Tentang bagaimana adiknya itu hidup dengan jantung yang tidak sehat hingga membuatnya terkadang mengalami gangguan ritme jantung semacam itu.

Dek ... lo benar-benar tersiksa ya, selama ini.

Maaf.

•To be continued•

A/n

Aku lagi senang.

Tapi kayaknya aku kebanyakan update

Hehehe.

Btw, udah 50k lebih views. Aku senang woy!!!

Eccedentesiastजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें