Bab 17 | Sayang, Arza Bukan Siapa-siapa

4.8K 430 30
                                    

"Bunda, aku mau ikut

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bunda, aku mau ikut." Arza merajuk. Ia menggoyakangkan lengan bunda perlahan. "Aku nggak mau sama Kakek di rumah."

"Nggak, Kak. Bunda cuma mau antar Adek ke rumah sakit. Kakak tunggu di rumah aja, ya."

Arza tidak lagi merajuk. Kedua tungkainya melangkah mundur. Ia menunduk, lalu mengangguk. Senyumnya sendu.

"Iya, Bunda."

•••

Eccedentesiast

Bab 17 | Sayang, Arza Bukan Siapa-siapa

•••

Gelapnya pandangan Aksa tidak berlangsung lama. Ketika Aksa mengerjap beberapa kali, pandangannya memburam, lalu tak lama ia bisa kembali melihat bunda. Ponsel yang ada di genggamannya terjatuh karena keterkejutannya barusan. Aksa menatap bunda heran, tidak mengerti dengan apa yang terjadi tadi.

Tak ingin menunggu waktu lama, bunda langsung menghubungi dokter jaga yang bertugas saat itu. Tentu, bunda takut sesuatu yang buruk akan terjadi. Lalu, ketika bunda mendengarkan penjelasan dari dokter, pada akhirnya ia bisa bernapas lega.

Ternyata, kondisi yang Aksa alami barusan biasa disebut amaurosis-fugax, suatu kondisi di mana menghilangnya penglihatan secara mendadak.  Hal ini disebabkan karena kurangnya aliran darah ke kornea. Dapat terjadi karena tekanan darah Aksa yang tinggi. Untung saja, waktunya hanya sementara. Dan dalam kasus Aksa, waktunya hanya beberapa detik.

"Bunda apaan, sih? Sok panik begitu kayak nggak pernah lihat aja selama kerja," canda Aksa.

"Kalau kamu bukan anak Bunda, Bunda nggak akan sepanik itu," balas bunda. Ia menidurkan kepalanya di atas ranjang. "Tapi, emang, Dek. Bunda belum pernah lihat. Ini pertama kalinya, dan malah Adek yang ngalamin. Mana kemarinnya Adek baru kena serangan. Bunda takut, tahu."

Aksa tersenyum tipis. "Bukannya Bunda udah sering nanganin yang kayak gini? Biasa aja, Bun."

Bunda menghela napas panjang. Ia bersandar pada sandaran kursi. "Harus ya, Bunda ulang? Kalau Adek bukan anak Bunda, mungkin Bunda bisa bersikap biasa aja. Nyatanya, Adek anak Bunda, Dek. Bunda nggak sanggup ngeliat Adek sakit begitu."

Aksa menunduk. Ia menarik tangan bunda, lalu mendekapnya di dada. Dapat bunda rasakan detakan jantung Aksa yang tidak teratur, membuat lagi-lagi rasa sesak menghampiri, menyiksa bunda.

"Maafin Aksa, ya, Bun." Aksa membiarkan tangan bunda berada di dadanya. "Maafin jantung Aksa, ya, Bun. Maaf, karena selama ini Aksa udah nyusahin Bunda sama Ayah. Aksa nggak pernah bermaksud. Maaf kalau selama ini juga, Aksa sering ngebuat Bunda takut. Maaf, karena keberadaan Aksa, Bunda jadi harus berhenti kerja dan ngurusin Aksa terus. Maaf---"

"Kenapa harus minta maaf?" Bunda memotong ucapan Aksa. "Bunda ikhlas ngelakuin semua itu. Karena Adek itu adalah harta Bunda yang paling berharga. Sebisa mungkin, Bunda bakal jaga Adek. Nggak usah takut, Dek, Bunda nggak akan pernah berhenti buat ngerawat Adek.

"Tapi, janji buat terus bertahan sampai nanti, ya, Dek."

•••Eccedentesiast•••

"Tumben ngajak gue jalan. Kenapa?" Raya bertanya. Ditatapnya Arza yang duduk di hadapannya sambil mengaduk green tea latte yang sengaja Raya pesan. Sejujurnya, Raya heran. Jarang-jarang laki-laki ini mengajaknya keluar di waktu malam.

"Cuma lagi kesepian aja di rumah," jawab Arza jujur.

Memang, karena bunda sedang menemani Aksa di rumah sakit dan ayah kebagian jadwal jaga di IGD, membuat Arza hanya seorang diri di rumah. Sebenarnya, Arza sudah coba mencari pelarian, seperti menonton, bermain game di ponselnya, hingga melakukan ASMR mukbang. Tapi, tetap saja Arza merasa kesepian. Hingga ketika Arza coba untuk menghubungi Raya, gadis itu menyahuti. Tanpa menunggu waktu, ia langsung mengajak Raya untuk pergi, dan pilihannya jatuh pada café yang berada di dekat kampusnya. Untung saja, Raya mengiyakan.

Arza tidak tahu lagi harus apa jika Raya tiba-tiba tidak mau.

"Kenapa nggak ke rumah sakit?"

"Disuruh jaga rumah."

Raya tergelak. "Tapi, akhirnya lo pergi," ucapnya. Ia mengambil buku modul Anak yang berada di dalam tas, lalu meletakkan buku setebal dosa itu ke atas meja. "Kalau gitu, sesuai janji lo. Bantu gue ngerjain modul."

Arza menguap, namun tetap mengangguk mengiyakan. "Mana coba. Mana yang nggak lo bisa." Ia membuka-buka halaman modul tersebut, hingga dirinya menyadari bahwa setetes darah mengalir dari hidungnya, mengotori permukaan kertas modul milik Raya.

Lantas, Arza menutup hidungnya dengan telapak tangan. Sementara Raya yang juga menyadari hal itu, langsung berteriak panik. Ia tidak peduli pada modulnya yang terkotori darah milik Arza. Ia juga tidak peduli pada tatapan heran dari orang yang ada di café tersebut.

Ah, lagi-lagi begini, batin Arza bersuara. Ia masih berusaha menghentikan perdarahannya. Kedua matanya terpejam.

Apa kalau Bunda tahu gue mimisan lagi, dia bakal pulang?

Hahaha, jangan harap, Arza.

Emangnya, lo siapa?

•To be continued•

A/n

Ngetik di rumah sakit pas dinas tuh berasa cekitnya. Jadi nggak fokus, karena kakaknya selalu mencari dek mahasiswa sepertiku :")

EccedentesiastWhere stories live. Discover now