Bab 13 | Apa Jadinya Kalau Kondisi Aksa Memburuk?

4.8K 435 38
                                    

"Aksara?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aksara?"

"Iya, saya Aksara."

"Nama kamu lucu. Orang tua kamu penulis?"

"Ummm, ibu saya tenaga kesehatan, ayah saya tenaga medis, Bu."

"Oh, kok bisa sakit?"

-Aksara left the chat-

•••

Eccedentesiast

Bab 13 | Apa Jadinya Kalau Kondisi Aksara Memburuk?

•••

Rasanya, semenjak masuk rumah sakit, kondisi Aksa semakin melemah. Ia lebih sering tidur. Kalau pun bangun, pasti karena akan dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (kalau untuk kegiatan yang satu ini, kondisi Aksa sudah setengah sadar), pemeriksaan penunjang, makan, meminum obat, atau ke kamar mandi. Selebihnya, Aksa hanya diam.

Diam selama lima menit, lalu tertidur begitu saja.

Arza yang biasa menemani Aksa hanya bisa menghela napas panjang. Ia jadi sering mengajak Aksa mengobrol. Semata-mata hal itu dilakukannya agar Aksa tetap terjaga. Sesekali juga, Arza membantu Aksa untuk turun dari tempat tidur, atau hanya sekadar mengubah posisi Aksa, agar tubuh adiknya itu tidak jadi kaku.

"Dek, bangun," ucap Arza begitu melihat kedua kelopak mata Aksa perlahan terpejam.

"Hm, iya," gumam Aksa. Ia mengusap matanya perlahan. "Ini bangun, kok."

Arza yang awalnya sedang menyuapi Aksa, langsung mendesah. Ia meletakkan nampan yang dibawanya ke atas nakas. Sungguh, keadaan Aksa membuatnya miris sendiri.

"Lo baik-baik aja 'kan?" tanya Arza, pertanyaan retorik. Ia tidak memerlukan jawabannya sama sekali karena di mata Arza, adiknya itu tidak baik-baik saja.

Aksa berusaha menampilkan sebuah senyuman tipis. Hangat tapi menyakitkan. Ada banyak perasaan tersirat yang dapat Arza lihat di sana.

"Kalau lo mau, gue bisa panggilin---"

"Nggak usah. I'm okay." Aksa memotong ucapan Arza. Ia menegakkan duduknya, lalu merenggangkan tubuh. "Lo lihat, gue baik-baik aja. Lo nggak usah khawatir gitu, dong. Nggak cocok banget, sih."

Arza balas tersenyum tipis. Ya, inilah adiknya. Manusia yang hobi menutupi rasa sakitnya seorang diri. Meski sejujurnya Arza tidak suka dengan sifatnya yang satu itu. Dan terkadang, kalau tiba-tiba Aksa tampak murung, tidak punya semangat, dan sering tidur begitu, Arza jadi khawatir.

Bukannya apa. Jika seseorang yang punya hobi menutupi masalahnya dengan senyuman tiba-tiba tampak murung, bukankah itu berarti masalah yang dihadapinya benar-benar berat?

"Mau jalan-jalan?"

Aksa menepuk pundak Arza. "Mana boleh."

•••Eccedentesiast•••

Bunda memasuki ruangan begitu waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aksa sudah tertidur lelap di atas ranjang, sementara Arza duduk di sebelahnya. Sama, laki-laki itu juga tampak nyenyak di dalam mimpinya. Tangannya menggenggam tangan Aksa, seolah Arza berpikir, jika ia tertidur, Aksa akan pergi.

Lantas, bunda tersenyum tipis. Kedua putranya ini tampak manis. Selalu, keduanya menjadi suntikan semangat bagi bunda.

"Kakak sama Adek udah tidur, ya?" Tiba-tiba saja, suara ayah terdengar, membuat bunda terlonjak kaget. "Yah, padahal Ayah udah bawain terang bulannya."

"Mana boleh Adek makan terang bulan dulu?" celetuk bunda. Bisa-bisanya ayah menuruti kemauan putra bungsunya ini. Meski biasanya bunda memang memperbolehkan (dengan syarat hanya satu potong isi cokelat dan satu potong isi keju), tapi kondisi saat ini berbeda.

Bunda menggelengkan kepalanya tak mengerti. Pria yang dinikahinya dua puluh tahun lalu ini adalah seorang tenaga medis, tapi tetap saja terkadang ayah seperti membebaskan Aksa. Kalau bunda tanya kenapa ayah bersikap seperti itu, jawabannya selalu sama. Karena ayah tidak ingin Aksa merasa terkekang.

"Yaudah. Buat Kakak aja 'kan bisa." Ayah dengan santainya melenggang menghampiri Aksa dan Arza, meninggalkan bunda yang masih tidak habis pikir dengan kelakuan sang suami.

"Ngomong-ngomong, Yah." Bunda berjalan menghampiri ayah. "Ada kabar terbaru?"

"Soal apa?"

"Masalah pendonor gitu. Udah ada belum?" Bunda mengulangi pertanyaannya.

Ayah menghela napas panjang. "Kalau pun ada, belum tentu juga 'kan cocok buat Adek?" Ia duduk di atas ranjang, lalu mendongak, menatap langit-langit ruang rawat yang dicat biru muda. "Ada, cuma bukan buat Adek. Kita masih berusaha buat nyari. Bunda sendiri tahu 'kan? Jumlah orang yang membutuhkan donor itu ada bnyak banget. Sementara jumlah pendonor nggak bisa memenuhi semua kebutuhan itu. Sampai sekarang, belum ada yang cocok buat Adek."

"Ah, gitu, ya." Bukan bunda yang berbicara, tapi Arza. Entah sejak kapan, laki-laki itu terbangun karena terusik dengan topik pembicaraan itu. Senyumnya miring. "Kenapa ... kenapa belum ada? Apa nggak bisa Adek dijadikan prioritas tertinggi di daftar itu? Apa Ayah nggak bisa bilang ke teman-teman Ayah buat mendahulukan Adek?"

"Nggak bisa begitu juga, Kak." Ayah berucap. Ia menepuk puncak kepala Arza dengan lembut, beberapa kali, seraya menggumamkan kalimat agar Arza selalu bersabar.

Tapi tidak. Arza tidak bisa bersabar sama sekali. Ia tidak pernah tahu hal apa yang akan terjadi di kemudian hari. Dan Arza takut ... sesuatu yang buruk akan terjadi.

•To be continued•

Terang bulan

Terang bulan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang