Bab 7 | Tujuh Harapan Untuk Masa Depan

6.2K 553 15
                                    

•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Eccedentesiast

Bab 7 | Tujuh Harapan Untuk Masa Depan

•••

Aksara sangat menyukai apel. Makanya itu, sepiring apel yang Arza bawakan dari bunda, bisa langsung dihabiskan, tanpa membaginya pada sang kakak. Meski kesal karena jatahnya juga Aksa ambil, tapi senyum Arza tetap saja tersungging di bibirnya.

"Andai dulu gue nggak berhenti, mungkin gue nggak bisa nenangin lo, ya, sekarang?" Arza bersuara. Ia bangkit, lalu merentangkan tangannya ke samping, merasakan embusan angin yang bercampur dengan tetesan air hujan.

"Ya, dan gue bakal jadi anak tunggal."

"Mungkin itu juga jadi salah satu alasan gue. Gue nggak mau ngebuat lo jadi anak tunggal, terus hidup sendiri sampai dewasa."

Arza terkikik geli karena ucapannya sendiri. Mungkin, benar jika Aksa adalah salah satu alasannya untuk tetap hidup. Salah satu alasan yang membuat dirinya berhenti menggoreskan pisau tajam itu pada pergelangan tangannya.

Aksa ikut tertawa. Ia juga tidak pernah berpikir harus hidup sendiri sampai dewasa, tanpa Arza. Karena selama ini, temannya yang paling setia adalah seorang Arza Alterio.

"Dan mungkin aja, lo juga punya pikiran yang sama. Lo bertahan hidup sampai sekarang, karena nggak pengin gue jadi anak tunggal 'kan?"

Aksa memeluk kaki Arza, yang langsung saja membuat laki-laki itu menggelinjang kegelian. Senyumnya tidak juga luntur, meski alam seolah berkontradiksi.

"Ya, mungkin begitu."

•••Eccedentesiast•••

Bunda selalu suka melihat interaksi antara Aksa dan Arza yang tampak hangat. Meski keduanya tidak memiliki ikatan apapun, tapi nyatanya Arza bisa tetap melindungi Aksa seperti seorang kakak, dan Aksa pun bisa menyayangi Arza seperti seorang adik menyayangi kakaknya. Ketakutan yang dulu sempat bunda rasakan, perlahan memudar.

Ketika melihat kedua putranya itu tertawa, bunda tanpa sadar ikut tersenyum. Memang, sedari tadi bunda memperhatikan keduanya dari kejauhan. Mendengarkan celotehan kecil keduanya yang selalu terasa intens.

Perlahan, bunda melangkahkan kakinya memasuki rumah utama. Ia tidak perlu khawatir atas kehilangan yang baru saja Aksa alami. Ternyata, Arza mampu membuatnya kembali tersenyum, seolah tanpa beban.

"Assalamualaikum, Bunda ...."

Suara ayah terdengar, membuat senyum bunda merekah tanpa disadarinya. Segera saja, bunda menghampiri sang suami yang sedang melepas sepatunya di ruang tamu.

"Waalaikumsalam. Ayah, kok udah pulang? Tumben." Bunda berucap pelan seraya menyalimi tangan ayah. Kemudian, ia duduk di sebelahnya. "Oh, iya. Tadi, hasil check up Adek udah Bunda lihat. Hasilnya alhamdulillah bagus. Cuma emang belum ada peningkatan, sih. Sama belum ada kabar, apa udah ada donor yang cocok atau belum."

Ayah menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis, benar-benar tipis. "Sekarang, Adek di mana?" tanya ayah.

"Terakhir kali Bunda lihat ada di gazebo sama Kakak," jawab bunda. Ia bangkit, lalu bertanya, "Ayah mau minum apa? Bunda bikin rebusan jahe tadi. Lumayan, enak diminum pas dingin begini."

"Ah, boleh, deh." Ayah merenggangkan tubuhnya. "Mau ke gazebo dulu. Nanti, tolong antar, ya, Bun." Ia bangkit, lalu berjalan menuju gazebo. Senyumnya merekah ketika melihat kedua putranya sedang duduk di sana, memberi makan ikan.

"Adek, Kakak, lagi ngapain?" Ayah berucap sebelum akhirnya berjongkok di sebelah Aksa dan Arza. "Hayo, sampai-sampai, ayahnya pulang, tapi nggak ada yang nyambut. Ayah udah nggak penting, ya?"

"Aksa lagi ngasih makan ikan, tahu!" Aksa membalas sengit. Ia melirik ayah dengan tatapan tajamnya. Sayang, hal itu tidak mampu membuat ayah takut sama sekali. Justru, kekehan gelinya terbit. Sungguh, ayah suka melihat wajah Aksa yang merengut lucu.

"Ya, tapi fokus banget. Ayah cemburu nih, kalau dinomorduakan gitu."

Aksa meletakkan sekantung makanan ikannya, lalu beralih menatap ayah. "Bukan, Ayah nomor satu, kok. Tapi, nomor satu D. Kalau satu A itu Bunda, satu B itu Kak Arza, satu C itu ikan-ikan Aksa. Nah, Ayah satu D. Intinya, Ayah tetap nomor satu."

Ayah menggelengkan kepalanya, tidak mengerti dengan jawaban Aksa. Sejak dulu, putranya itu memang ahli dalam mencari alasan. Ada saja jawabnya.

Di sebelah ayah, Arza terkekeh. "Sabar aja, Yah. Emang Aksa suka asal ngomong," ucapnya. Ia menguap sejenak, lalu bangkit. "Mau tidur, ah. Kayaknya enak dingin-dingin begini buat tidur."

Arza hendak bangkit, tapi Aksa langsung menahan tubuhnya. "Nggak boleh tidur sore-sore!"

•••Eccedentesiast•••

Meski sudah meneriaki Arza tentang jangan tidur sore hari, pada akhirnya Aksa luluh juga. Keduanya kini berbaring di atas ranjang Arza, dengan kedua manik yang menatap langsung ke langit-langit kamar. Hening menjadi pemeran utama di antara keduanya sejak dua puluh menit lalu.

Hingga Arza bangkit. Ia menatap Aksa yang masih saja diam. Alisnya tertaut. Jarang-jarang adiknya ini diam saja. Padahal, biasanya ada saja bahan obrolan.

"Dek, kenapa lo?" tanya Arza pada akhirnya.

"Cuma lagi mikir." Aksa berucap. "Kayaknya, gue harus mulai nyusun rencana buat ke depannya. Kayak misalnya, tujuh harapan untuk masa depan gitu."

"Oh." Arza menganggukkan kepalanya perlahan. "Udah kepikiran isinya bakal apa aja?"

"Mungkin."

"Bisa coba disebutin?"

Aksa diam sejenak. Ia menatap Arza lekat-lekat. Dari bawah sini, Aksa mampu menangkap tanda tanya yang sedari tadi menari di kedua bola mata Arza.

"Pertama, gue mau lulus SMA sebagai predikat siswa terbaik. Kedua, gue pengin masuk ke fakultas favorit. Kedokteran misalnya. Ketiga, gue pengin jalan-jalan ke amusement park. Walaupun nggak bisa main, gue pengin aja gitu. Keempat, gue pengin makan sepuasnya, tanpa pantangan."

Lalu, Aksa diam. Ia menghela napas panjang, yang malah membuat Arza makin heran.

"Kelima sampai ketujuh apa?"

"Kelima, gue pengin Ayah, Bunda, dan lo bahagia. Keenam, gue pengin ngeliat lo wisuda tepat waktu. Dan ketujuh ... boleh nggak kalau gue minta, pas gue meninggal nanti, lo juga yang ikut mandiin dan makamin gue? Jangan kabur kayak pas Kakek meninggal."

Arza terperanjat, tapi Aksa justru menyunggingkan senyumnya. Manis dan penuh arti.

•to be contiued•

A/n

Hai!

Aku bakal update lagi kalau responnya bagus. Yah, segini aja udah bagus sih, sebenarnya

EccedentesiastWhere stories live. Discover now