Bab 6 | You Are My Sunshine

7K 567 13
                                    

Aksara memasuki kamar bunda ketika lagi-lagi dirinya tidak dapat tertidur

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aksara memasuki kamar bunda ketika lagi-lagi dirinya tidak dapat tertidur. Masih
Pukul tiga pagi.

"Bunda," panggil Aksa pelan. Ia berlari dengan langkah kecilnya, lalu memeluk bunda yang sedang membaca Alquran. "Nggak bisa bobo lagi. Mau bobo di sini, boleh?"

Bunda tersenyum tipis. Ia menutup Alqurannya, lalu membalik tubuhnya. "Sini, Dek." Bunda menepuk-nepuk punggung Aksa, membiarkan putranya tersebut berbaring nyaman di pangkuannya.

"Bunda nggak dilanjutin baca Alqurannya?" Aksa bertanya. "Baca aja, Bun. Nggak apa-apa. Aksa cuma mau boboan sambil dengerin Bunda ngaji, kok."

•••

Eccedentesiast

Bab 6 | You Are My Sunshine

•••

Ketika Aksa memasuki teras rumah, bunda langsung menyambutnya dengan pelukan hangat. Saat melihat wajah Aksa yang tampak kuyu, bunda langsung menggiring Aksa, mendudukkan tubuh ringkih putranya itu di sofa. Perlahan, bunda meluruh, menyejajarkan matanya dengan mata Aksa.

"Adek, kenapa?" tanya bunda khawatir.

Aksa menggeleng pelan. Kedua skleranya memerah. "Aksa nggak kenapa-napa, kok," balas Aksa. Ia menumpukan kepalanya pada pundak bunda. "Bunda nggak usah khawatir gitu." Ia tertawa, miris.

"Kakak, Adek kenapa?" tanya bunda. Ia melingkarkan kedua tangannya pada punggung Aksa, lalu mengusapnya perlahan. "Adek, ngomong dong, ke Bunda. Jangan bilang nggak kenapa-napa gitu, Dek."

Arza yang barusan ditanyai, hanya diam. Ia duduk di sofa kecil dan mendongakkan kepalanya. Helaan napas berat terdengar. "Temannya Aksa tadi meninggal," jawab Arza pada akhirnya, "Bunda tahu Rayyan?"

Bunda menautkan alisnya heran. "Innalillahi. Rayyan? Teman sekolah Adek dulu 'kan?" Bunda balik bertanya.

"Tadi, ada code blue di rumah sakit, Bun. Ternyata, dari Rayyan," ucap Aksa lirih. Suaranya terdengar bergetar. Terselip kesedihan yang mendalam di sana. "Aksa takut, Bun ...."

Ketika mendengar ucapan Aksa, bunda langsung membeku. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya, meski itu sekadar untuk bersuara. Tapi, setelahnya, bunda seolah kembali mendapatkan kontrol atas tubuhnya. Didekapnya tubuh Aksa yang mulai terisak dengan erat.

"Bunda ... Aksa takut ...."

Aksara menangis, membuat bunda tenggelam dalam kesedihannya. Sesaat, bunda menyalahkan dirinya yang tidak dapat melahirkan Aksa dalam kondisi sehat. Suara gemuruh yang tiba-tiba hadir, dilanjut dengan tetesan air hujan yang mulai membasahi bumi, seolah mewakili bagaimana kesedihan Aksa.

Bunda tidak dapat berkata-kata, tapi sentuhannya seolah berusaha meyakinkan Aksa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bunda akan mengusahakan segalanya. Dan bunda akan memastikan pula bahwa  Aksa akan dapat bertahan sampai dewasa nanti.

Di samping itu, Arza tersenyum tipis. Ia mengusap puncak kepala Aksa sesaat, sebelum akhirnya bangkit dan berjalan ke kamarnya. Membiarkan kedua pasangan ibu dan anak tersebut meluapkan seluruh perasaannya.

•••Eccedentesiast•••

Kolam yang ada di belakang rumah selalu membuat Aksa merasa tenang. Makanya itu, begitu dadanya terasa agak sesak, Aksa berusaha untuk menghentikan tangisnya, kemudian meminta bunda untuk mengantarnya ke gazebo. Setelahnya, Aksa berkata bahwa ia hanya ingin sendiri, dan bunda berusaha untuk mengerti.

Dengan sekantung makanan ikan di tangannya, Aksa berdiri di pinggir gazebo. Di bawahnya, kolam ikan dengan beberapa bunga teratai mengapung di atas permukaan air yang bergelombang karena rintikan air hujan. Beberapa ikan berenang tak jauh, seolah tahu bahwa Aksa akan memberinya makan.

"Makanlah sebanyak mungkin, ikan-ikanku!" Aksa berucap lantang. Ia melemparkan makanan ikan yang sudah dituang ke telapak tangannya. "Teruslah hidup! Berbahagialah kalian!"

Aksa tersenyum lebar. Meski hanya sesaat, karena kemudian, senyum itu luntur. Bersamaan dengan itu pula, tubuhnya meluruh. Kantung makanan ikan yang ada di genggamannya terjatuh begitu saja.

Nyatanya, kesendirian juga tidak mampu menghilangkan kesedihan yang Aksa rasakan. Kedua kakinya benar-benar melemah, hingga keduanya tidak mampu menopang tubuhnya lagi. Perlahan, Aksa mengusap sudut matanya yang kembali berair.

"Katanya, Tuhan sayang sama hambanya. Tapi, kenapa rasanya Aksa nggak pernah dapat rasa sayang itu, Bun? Apa nggak cukup sakit yang Aksa rasain? Kenapa teman-teman Aksa juga diambil?"

Pertanyaan Aksa tadi kembali terngiang. Sungguh, ia tidak bermaksud menyalahkan Tuhan atas kondisi yang dideritanya. Seharusnya, ia masih bisa bersyukur karena sampai saat ini masih diberikan kesempatan untuk bernapas.

"Dek."

Panggilan itu membuat Aksa kembali mengusap sudut matanya. Ia berdeham sesaat, sebelum akhirnya menoleh. Senyum tipisnya terbit.

"Iya, Kak. Kenapa?"

Arza yang sedari tadi berdiri tak jauh dari Aksa sambil membawa sepiring potongan apel, lantas mendekat. Raut wajahnya khawatir ketika melihat kedua mata Aksa tampak sembap. Perlahan, ia duduk di sebelah Aksa.

"Ah, ini Bunda nyuruh gue buat ngantar apel. Bunda masih ingat kalau lo sedih, suka ngemilin apel," ucap Arza. Disodorkannya piring apel tersebut. "Makan, gih. Masih dingin, dari kulkas. Kata Bunda, semoga apel itu bisa mengurangi rasa sedih lo. Walau gue tahu, kehilangan sahabat itu berat banget rasanya."

Aksa menyunggingkan senyum tipis. Ia memakan sepotong apel, lalu menghela napas panjang. Masih sambil mengunyah apelnya, ia berkata, "Tapi, gue berlebihan banget, ya, Kak?"

"Hmmm." Arza bergumam pelan. Ia menatap langit mendung. "Gue juga pernah kehilangan sahabat gue gara-gara meningitis. Yah, reaksi gue sebelas-dua belas sama lo, lah."

Arza menatap Aksa, lalu menepuk puncak kepala sang adik perlahan. "Tapi, gue selalu ingat, kalau kematian itu nggak selalu menyakitkan. Kadang, kematian jadi salah satu jalan seseorang buat menghentikan penderitaannya. Termasuk sahabat gue, atau Rayyan sekalipun. Pada akhirnya, kesakitan yang mereka rasain bakal berakhir, bukan?"

"Makanya itu banyak orang bunuh diri?"

"Kenapa lo langsung mikir ke sana, sih?" Arza mendesah pelan. Kedua tangannya digunakan untuk menopang tubuh dari belakang. "Kalau bunuh diri itu beda cerita, Dek. Walau mereka berpikir penderitaannya udah selesai, nyatanya enggak. Di sini, konteksnya beda. Sahabat gue, Rayyan, atau orang lain di luar sana yang meninggal karena penyakitnya, nggak punya pilihan lain. Kalau bunuh diri 'kan dia masih punya pilihan. Pengin terus ngegores arterinya atau memilih buat berhenti."

Aksa bergidik. "Apa itu sebabnya Kakak berhenti dulu?"

Arza tersenyum penuh arti, lalu mengangguk pelan. "Yah, mungkin."

•to be continued•

EccedentesiastWhere stories live. Discover now