Bab 1 | Sebuah Kisah Telah Dimulai

21.2K 1K 10
                                    

Aksara hadir tepat satu tahun setelah ayah dan bunda mengadopsi sesosok bayi mungil yang ditinggalkan orang tuanya di sebuah panti kecil yang ada di pinggir kota

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

Aksara hadir tepat satu tahun setelah ayah dan bunda mengadopsi sesosok bayi mungil yang ditinggalkan orang tuanya di sebuah panti kecil yang ada di pinggir kota. Tangis pertama Aksara hadir delapan bulan kemudian. Lemah, tapi cukup mengukir senyum kebahagiaan di bibir bunda.

Aksara menjadi pelengkap kebahagiaan keluarga kecil tersebut. Namun, hanya dua minggu, sebelum akhirnya kabar buruk itu hadir. Aksa didiagnosis menderita HLHS, yaitu kondisi di mana sisi kiri pada jantungnya tidak berkembang sempurna. Pembedahan langsung dilakukan pada minggu-minggu awal kelahirannya.

Menyakitkan.

Berminggu-minggu bunda duduk di sebelah Aksa. Tangan mungil putranya tersebut menggenggam jemari bunda. Sesekali, senyumnya tersungging, membuat mata bulat bermanik cokelatnya menyipit. Indah, tapi bunda seolah merasakan rasa sakit ketika melihat senyum itu.

Katanya, dikhawatirkan Aksa tidak dapat melewati ulang tahun pertamanya. Bunda tidak dapat berkutik ketika mendengar pernyataan tersebut. Di sebelah bunda, ayah juga sama, meski masih lebih kuat dibanding bunda.

Tapi, bunda tahu kalau Aksa adalah anak yang kuat. Karena nyatanya, tepat pada hari ini, ia telah menginjak usia enam belas tahun. Aksa telah berhasil mematahkan segala hal yang pernah diprediksi akan terjadi pada dirinya. Dan bunda yakin, untuk waktu-waktu selanjutnya, ia akan mendapat kejutan dari sang putra.

•••

Eccedentesiast

Bab 1 | Sebuah Kisah Telah Dimulai

•••

Hujan lagi-lagi mengguyur bumi di bulan Januari ini. Hawa dingin yang menusuk tulang membuat Aksa terjaga. Ia duduk di pinggir tempat tidur, menghadap tepat ke arah jendela yang tidak tertutup gorden. Suara tetesan air hujan membuat kedua kelopaknya tidak bisa kembali tertutup.

Aksa mengembuskan napasnya berat. Ia menurunkan kedua kakinya, menapaki lantai yang berlipat kali lebih dingin dari biasanya. Perlahan, Aksa berjalan ke luar kamar, lalu mengarahkan kedua tungkainya pada pintu kayu yang berada tepat di sebelah kamarnya. Nama sang kakak jelas tercetak di gantungan pintu sebagai penanda bahwa ia pemilik ruangan tersebut.

Tanpa aba-aba, Aksa membuka pintu kamar tersebut. Sosok sang kakak terlihat sedang duduk di kursi meja belajar, sedang mengerjakan tugas kuliahnya yang tak kunjung selesai. Senyum Aksa tersungging. Dengan cepat, Aksa masuk ke dalam dan duduk di atas ranjang.

"Kak Arza!" Aksa memanggil sang kakak. Ditepuknya pundak laki-laki yang usianya terpaut hampir dua tahun dari Aksa. "Kak, lihat sini sebentar."

Arza yang awalnya sedang fokus pada tugasnya, langsung memutar kursi. Kepalanya sedikit dimiringkan. "Ada apa, Dek?" tanyanya. Kedua manik hitam legam yang berkantung mata lumayan parah itu menatap wajah Aksa.

"Nggak bisa tidur lagi," jawab Aksa. Ia menjatuhkan dirinya ke belakang. Kedua tangan dan kakinya mengusap permukaan kasur yang terasa dingin. "Gue tidur di sini, ya."

Arza bangkit. Ia duduk di sisi tempat tidur yang kosong. Senyum sendunya terbit ketika melihat wajah sang adik yang tampak pucat. Kedua kelopaknya terpejam, walau sesekali masih terbuka.

"Kak, temenin gue dulu, ya," pinta Aksa. Ia menyunggingkan senyum di bibirnya. "Selamat malam, Kak."

•••Eccedentesiast•••

Arza tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Hanya ada dua hal yang ia tahu. Pertama, orang tua kandungnya membuang dirinya di sebuah panti kecil di pinggir kota. Kedua, ayah dan bunda mengadopsinya, tepat beberapa hari setelah dirinya ditemukan menangis di depan pintu.

Meski tumbuh di tengah keluarga yang bahkan tidak memiliki ikatan apapun dengannya, Arza tetap bahagia. Ayah dan bunda memperlakukan Arza dengan baik. Aksara, sang adik, juga tidak pernah mempermasalahkan statusnya.

Tujuh belas tahun terlewati, Arza masih berada di rumah ini. Ia duduk di depan laptop, tepat di dalam kamarnya. Suara gemuruh sedari tadi tak diacuhkannya. Arza hanya ingin tugasnya malam ini selesai.

Hingga suara pintu yang terbuka terdengar. Mata Arza melirik ke arah pintu. Tampak sosok Aksa masuk ke dalam kamar. Arza masih berusaha tidak peduli, hingga suara Aksa terdengar.

"Kak Arza! Kak, lihat sini sebentar."

Arza menghela napas lesu. Pukul dua belas malam, tugasnya belum selesai, dan sang adik minta perhatiannya. Langsung saja, Arza memutar kursinya agar ia bisa melihat Aksa.

"Ada apa, Dek?" tanya Arza.

"Nggak bisa tidur lagi." Aksa menjawab dan menjatuhkan dirinya ke belakang. "Gue tidur di sini, ya."

Arza tidak bisa melarangnya. Nyatanya, terkadang Arza merasa bahwa kedudukannya lebih rendah dibanding Aksa. Meski hanya sesekali, tapi hal itu cukup mengganggunya. Namun, Arza tetap menyayangi Aksa sebagai seorang adik.

"Kak, temenin gue dulu, ya."

Senyum tulus Arza terulas saat melihat lengkungan indah tercetak di bibir Aksa. Kedua netranya memperhatikan Aksa yang perlahan mulai terpejam. Ia mengusap lengan Aksa perlahan.

"Selamat malam, Kak."

"Selamat malam juga, Dek."

•to be continued•

A/n

Biar aku perkenalkan pada kamu, dua kakak beradik yang kadang akur, tapi kadang kayak kucing rebutan ikan. Aksara Ghifari dan Arza Alterio.

EccedentesiastOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz