Bab 65 | Tanpa Judul (4)

3.9K 274 14
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Eccedentesiast

Bab 65 | Tanpa Judul (4)

•••

"Bunda, kalau nanti Aksa pergi, apa Bunda bakal sedih?"

Aksa sedang bersantai di ruang keluarga bersama bunda ketika tiba-tiba ia berceletuk, menanyakan pertanyaan yang bahkan seharusnya Aksa tahu jawabannya. Lantas, bunda menoleh. Ia mengernyit heran.

"Kenapa Adek nanya gitu?" Bunda balas bertanya. "Ya, pasti bakal sedih. Adek itu 'kan anak kesayangan Bunda. Aneh 'kan kalau Bunda nggak sedih?"

Aksa tertawa pelan. Ia mengubah posisinya menjadi berbaring di pangkuan bunda. Dari bawah sini, Aksa bisa puas memperhatikan setiap detail wajah bunda.

"Kemarin aku bahagia banget, Bun," ucap Aksa. Suaranya terdengar menenangkan. Ia meraih tangan bunda dan menggenggamnya di atas dada. "Makasih, ya, Bun."

Bunda mengusap surai Aksa dengan lembut. Entah kenapa, tiba-tiba saja kesedihan merasuki perasaan bunda. Membuat kedua bola matanya menghangat hingga menghasilkan cairan bening yang melapisi. Pandangan bunda memburam, seiring dengan setetes air mata mengalir dari sudutnya.

"Kapan-kapan kita piknik lagi, ya."

Kedua manik Aksa tampak menerawang. "Apa masih ada kapan-kapan buat Aksa, Bun?" gumamnya. Rautnya sedih. Seolah, Aksa tahu kalau umurnya tidak akan sepanjang itu.

"Masih, dong!" sahut bunda semangat. Senyumnya lebar, dengan tangan yang menjawil hidung Aksa. "Nanti, setelah pengumuman SNMPTN, mau piknik lagi? Pengumumannya empat hari lagi 'kan?"

Aksa tertegun. Ia tidak ingat sama sekali bahwa empat haru lagi akan ada pengumuman penting di hidupnya. Saking yang ada di otaknya hanya pertanyaan yang terus mempertanyakan berapa lama lagi umurnya.

"Oh, iya, empat hari lagi."

"Semangat, Dek. Bunda yakin kamu pasti lolos. Terus, nanti kita piknik lagi." Bunda berucap semangat, berbanding terbalik dengan Aksa. Laki-laki itu seolah tidak punya semangat hidup lagi.

"Bunda, sebelumnya, apa Aksa boleh minta satu hal?" Aksa bertanya. Maniknya tampak kosong kali ini.

"Tentu boleh. Adek mau apa?"

"DNR," jawab Aksa singkat.

Bunda membeku di tempatnya. Sepertinya, barusan bunda salah dengar. "A-apa, Dek?"

DNR---do not recuscitate.

Aksa terpejam, lalu mengubah posisinya hingga ia dapat memeluk tubuh bunda. "Aksa capek, Bun ..." lirih Aksa. Suaranya terdengar bergetar. Napasnya terengah. Meski Aksa berusaha menahan isakannya, nyatanya ia tidak sanggup.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Aksa masih ingin hidup. Ia tidak ingin kisahnya berakhir dalam waktu yang cepat. Aksa masih memiliki keinginan. Ada banyak hal yang belum dapat Aksa capai. Kalau boleh egois, Aksa ingin menggapai segalanya dahulu, sebelum nyawa dicabut dari tubuhnya.

"Jangan bilang begitu, Adek," lirih bunda, "Adek nggak boleh capek buat berjuang. Adek masih harus tetap hidup sampai nanti. Katanya, Adek mau keliling dunia? Ayo, dong, Dek. Adek pasti bisa."

Aksa menyembunyikan wajahnya agar bunda tidak dapat melihat cairan bening yang mengalir dari pelupuk matanya. Jejaknya melewati pipi, hingga akhirnya menetes ke pundak bunda.

"Bunda, apa kematian itu menyakitkan?" Aksa bertanya lirih. Tangannya terkepal erat. Rasa takut mulai menyergapnya, membuat tubuhnya bergetar. "Atau kematian justru lebih mudah dari kehidupan? Tolong kasih tahu Aksa, Bun. Aksa takut. Aksa nggak mau ngerasain, Bun."

Bibir bunda terkatup rapat. Di matanya, wajah Aksa menampakkan rasa frustrasi yang mendalam. Ya, bunda tahu kalau harus terus berjuang itu melelahkan. Meski begitu, bunda tidak peduli dengan rasa lelah itu, dan terus egois. Bunda ingin terus melawan sang pencabut nyawa yang seolah selalu mengikuti setiap langkah Aksa. Bunda ingin egois. Ia tidak ingin kehilangan putra kesayangannya tersebut.

"Kata Kak Arza, kematian bisa jadi salah satu cara untuk mengakhiri penderitaan seseorang." Aksa tersenyum lembut. Ia mengusap jejak air mata di pipi bunda. "Mungkin, begitu caranya agar Aksa bisa lepas dari semua ini, Bun. Lagian juga, apa Bunda nggak capek harus terus bekerja keras cuma buat Aksa? Padahal, jelas-jelas sembuh itu bukan takdir Aksa. Aksa ditakdirkan buat terus sakit sampai mati nanti. Iya 'kan, Bun?"

Bunda menggeleng pelan, namun ia tidak mampu berkata apapun lagi. Nyatanya, sampai saat ini memang belum ada kejelasan sama sekali. Bunda masih terus berharap pada sesuatu yang tidak pasti, dan sejujurnya hal itu melelahkan. Namun lagi-lagi, keegoisan bunda mengalahkan semuanya.

"Adek ... Bunda nggak mau," bisik bunda, "Bunda nggak mau kehilangan Adek."

Isakan Aksa terdengar. Kali ini, Aksa tidak lagi menutupi semuanya. Ucapan bunda lagi-lagi membuat dadanya sesak. Oksigen seolah ditarik dari sekitarnya.

"Aksa belum siap, Bun," lirihnya. Ia memiringkan tubuhnya hingga wajah Aksa tertutupi oleh tubuh bunda. "Tapi Aksa nggak mau Bunda sama Ayah terus-terusan kerja keras cuma demi Aksa. Cuma demi harapan yang sia-sia itu."

"Nggak ada sesuatu yang sia-sia, Dek!" Bunda menyanggah keras. "Pokoknya Adek jangan khawatir. Adek jangan patah semangat. Bunda sama Ayah bakal terus ngusahain semuanya.

Aksa terpejam. Ia tidak lagi membalas ucapan bunda. Aksa jadi berpikir, kenapa bunda sulit sekali melepaskannya?

•••eccedentesiast•••

Lagi-lagi, Aksa tidak bisa tidur. Dadanya nyeri luar biasa hingga membuatnya terjaga. Perlahan, ia meraih ponselnya. Tangannya melemah, hingga membuatnya hampir menjatuhkan benda pipih itu.

Kakak ... Kakak ... Kakak ... tolong, Kak ....

Tangan Aksa yang bergetar mulai mengetik nomor Arza. Sesekali, ia berhenti dan meringis. Tubuhnya yang dibasahi oleh keringat melemah. Kelopak matanya sesekali terpejam, seolah enggan untuk terbuka kembali.

Aksa memilih opsi panggil. Dijatuhkannya ponsel itu ke sisi tubuhnya. Bahkan, begitu suara Arza terdengar, Aksa tidak juga berbicara. Yang ada hanya helaan napasnya yang terdengar sangat menyiksa.

"Dek, kenapa?"

Aksa ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Ia pasrah. Entah apa yang akan terjadi malam ini, Aksa sudah tidak peduli lagi. Harapannya untuk hidup lebih lama pupus sudah.

Hingga kemudian, pintu terbuka. Hal yang terakhir Aksa tahu adalah sosok Arza masuk ke dalam kamar dengan panik sambil memanggil namanya. Tubuh Aksa digoyangkan dengan kuat, sementara ia hanya bisa diam, tidak menjawab. Pandangannya memburam, hingga akhirnya menggelap sepenuhnya.

Tuhan, kalau memang ini akhirnya,

Aksa tidak apa-apa.

•To be continued•

EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang