Bab 39 | Pulang

3.1K 331 7
                                    

•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Eccedentesiast

Bab 39 | Pulang

•••

Bahkan, setelah pada akhirnya kondisi Arza benar-benar membaik, Kalina tidak datang kembali. Padahal, Arza tidak pernah benar-benar mengusirnya. Bahkan, selama ini ia menerimanya dengan tangan terbuka, membiarkannya berada di sisinya.

Dengan kaki yang digantungkan pada kedua sisi ranjang dan Aksa yang duduk di sebelahnya, Arza mendengarkan wejangan terakhir dari dokter sebelum pada akhirnya ia benar-benar bebas dari perawatan rumah sakit. Tangannya yang awalnya dipasangi venflon sudah dilepas, menyisakan alcohol swab yang ditempeli dengan plester di sana. Tangannya sedari tadi merapikan rambut yang bahkan masih tidak jelas bentuknya itu, efek operasi yang harus dijalani Arza---ditambah dengan rambutnya yang tumbuh agak lambat.

"Tapi, Kak Arza boleh makan apa aja 'kan?" Aksa bertanya.

"Boleh, nggak ada larangan." Dokter Erina, DPJP-nya, tersenyum tipis. "Asal, jangan sembarangan juga. Ingat, makanan juga harus dijaga. Nggak bisa asal makan ini-itu."

"Iya, kok, tahu," celetuk Arza. Ia mengusap leher belakangnya. "Udah, nggak ada yang mau ditanyain lagi. Aku mau pulang."

"Kakak." Bunda memperingatkan. Ia yang berdiri tepat di samping Dokter Erina langsung maju dan menepuk puncak kepala Arza pelan. "Minta maaf!"

Arza menunduk. "Iya, maaf," ucapnya mau tidak mau. Kepalanya lalu dimiringkan, menatap bunda yang masih saja menatapnya tajam. Kemudian, senyum jahil Arza terbit. "Apa lagi, sih?"

"Kakak minta maafnya nggak tulus." Aksa menceletuk. Kedua lengannya dilipat di depan dada. "Kalau minta maaf itu harus tulus, Kak. Walaupun lo nggak salah, ngucapin maaf itu jadi salah satu cara buat mempertahankan hubungan."

"Sejak kapan kamu seahli itu masalah hubungan, Dek?" Bunda bertanya. Diacaknya rambut Aksa dengan gemas. "Maaf, ya, Dok. Putra saya emang rada-rada gini."

Dokter Erina tertawa kecil. Interaksi di hadapannya benar-benar hangat dan mampu membuatnya merasa ikut bahagia. Sederhana, namun menyenangkan.

"Nggak apa-apa, Bu. Malah begini bagus 'kan? Nggak ada jarak antara setiap anggota keluarga." Dokter Erina mengerlingkan manik kirinya. Ia tidak bisa mengerti kenapa keluarga yang tidak memiliki hubungan darah apapun seperti Aksa dan Arza bisa punya ikatan yang kuat. Yah, setidaknya hal itu menunjukkan bahwa saudara tiri tidak selalu berseteru seperti di sinetron yang suka ditontonnya jika tidak sedang berjaga.

"Adek sayang banget sama kakaknya, ya!" seru Dokter Erina, yang langsung disambut oleh gelengan dari Aksa. "Loh, kenapa?"

Aksa menatap Arza yang kini juga sedang menatapnya. Lalu, keduanya saling membuang pandang. Wajah Aksa tampak memerah, lalu ia mengangguk, merevisi jawabannya barusan.

EccedentesiastWhere stories live. Discover now