Bab 2 | Hari-Hari Bersama Aksara Ghifari

13.5K 896 12
                                    

"Aksa, kenapa Aksa sayang sama Kak Arza?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aksa, kenapa Aksa sayang sama Kak Arza?"

"Karena Kak Arza itu adalah saudara aku."

•••

Eccedentesiast

Bab 2 | Hari-Hari Bersama Aksara Ghifari

•••

Aksara kadang terlalu malas untuk bangun di pagi hari. Tapi, ketika mengingat bahwa kesempatan itu belum tentu didapatkannya, Aksa langsung bangun. Ia menguap sejenak, sebelum akhirnya bangkit. Kepalanya tertoleh ke kanan dan ke kiri. Benaknya memikirkan kenapa dirinya bisa berada di kamar sang kakak.

Ah, Aksa baru ingat kalau semalam ia pindah ke kamar Arza, tepat tengah malam. Hujan yang tidak kunjung mereda, suara gemuruh yang bersahut-sahutan, cukup membuat Aksa tidak dapat memejamkan matanya. Makanya itu, untuk mencari ketenangan, Aksa pindah ke sini.

"Kak, bangun. Salat dulu." Aksa menggoyang-goyangkan tubuh Arza perlahan. Kakaknya itu masih tampak lelap dengan kepala yang terbaring di atas meja. Kedua tangannya terlipat, menjadi bantalan di bawah kepalanya. Laptopnya masih terbuka dengan beberapa kertas dan buku yang tergeletak di dekatnya.

"Kak, bangun." Aksa lagi-lagi menepuk pundak Arza. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Walaupun tidak tega, ia juga tidak mungkin membiarkan sang kakak terus tertidur hingga entah kapan.

Arza menggeliat di atas kursinya. Kedua kelopak mata yang masih terasa lengket itu perlahan mulai mengerjap. Kedua manik hitamnya tampak sayu ketika Arza mengangkat kepalanya dan menatap Aksa.

"Masih ngantuk ...." Arza bergumam pelan. Ia hendak menidurkan kepalanya lagi di atas meja, tapi Aksa menahannya, membuat laki-laki yang kini berusia tujuh belas tahun itu berdecak kesal.

"Kakak kuliah apa hari ini?"

"Hari ini nggak ada kelas. Malas ke kampus, cuma ngerjain tugas mandiri," jawab Arza. Ia menguap sejenak, bangkit dari bangku, lalu melempar tubuhnya ke atas kasur. "Bangunin gue lima menit lagi."

"Salat dulu, Kak. Jangan ditunda-tunda. Nanti kalau mati, lo malah nyesel."

Ucapan Aksa lantas membuat kelopak mata Arza kembali terbuka. Secepat kilat ia mendudukkan tubuhnya, meski sebagai akibatnya, kepalanya seperti berputar dengan pandangan yang sejenak menggelap. Yah, salahnya sendiri karena tiba-tiba bangun.

"Nggak usah pakai kata-kata mati bisa 'kan?" Ketika pandangannya kembali normal, Arza melirik Aksa tajam. Ia tidak suka jika sang adik mulai berkata soal hal itu.

"Kalau nggak gitu, lo nggak bakal mau bangun, Kak," elak Aksa, "Percuma aja gue bilang kalau lo nunda salat, segala urusan lo juga bakal ditunda. Lo nggak bangun."

Aksa nyengir, dan hal itu malah membuat Arza makin kesal. Ia menghela napas panjang, sebelum akhirnya bertanya, "Mau diantar ke rumah sakit hari ini?"

Dengan cepat, Aksa menganggukkan kepalanya. "Iya, iya! Mau!" balasnya kesenangan.

Arza mengangkat sudut bibirnya tipis, lalu bangkit dan merenggangkan tubuhnya. Senyuman Aksa menghangatkan pagi yang dingin ini, hingga membuat Arza seolah tertular oleh kehangatannya.

"Jarang-jarang lo ngantar gue, Kak." Aksa tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi. Kedua manik bulat itu menyipit dengan lesung pipit yang terlihat di kedua bagian dekat bibirnya. "Kalau gini, gue bisa lebih semangat buat check up!" Tangan kiri Aksa yang terkepal erat diangkat ke udara.

"Berlebihan," decak Arza pelan. Ia pada akhirnya bangkit, lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

"Kak! Jemaah, ya! Lo jadi imamnya!" Aksa berteriak sebelum Arza menutu pintu kamar mandi. Lalu, sahutan terdengar. Datar, tanpa intonasi sedikit pun.

"Terserah."

•••Eccedentesiast•••

Ada satu hal yang selalu Aksa inginkan. Keinginannya sederhana, tapi terlalu sulit untuk menjadi kenyataan. Bahkan, ketika kini dirinya menginjak usia enam belas tahun, keinginan itu belum dapat terwujud sedikit pun. Meski berkali-kali Aksa meminta, nyatanya Tuhan belum juga memberikan hal tersebut. Entah berapa lama lagi Aksa harus bersabar. Kadang kala, ia juga merasa lelah.

Setelah selesai memanjatkan doa, Aksa masih saja diam di tempatnya. Ia menatap punggung tegap Arza yang berada di hadapannya. Senyum Aksa terulas tipis.

"Kak, untuk siapa doa lo kali ini?" Aksa bertanya seperti biasanya ketika keduanya melaksanakan salat wajib berjemaah.

"Masih sama. Buat Ayah sama Bunda, buat orang tua kandung gue, dan buat kesembuhan lo," jawab Arza tanpa menoleh ke belakang. Jawabannya selalu sama, berulang-ulang, tapi mampu membuat perasaan Aksa menghangat.

"Kenapa lo selalu nanya begitu?" Kali ini, Arza yang bertanya. Ia mengubah posisinya hingga menatap Aksa.

Kepala Aksa sedikit dimiringkan. "Gue cuma pengin tahu, apa gue masih ada di dalam doa lo atau enggak." Ia lalu terkikik geli karena jawabannya sendiri.

Arza lantas tersenyum miring. "Gue nggak mungkin lupa nyebut nama lo kali. Tenang aja," ucap Arza tulus. Ia mengangkat tangannya, lalu menepuk puncak kepala Aksa perlahan. "Meski kita nggak ada ikatan darah, tapi lo tetap adek gue. Tentu, gue bakal berdoa buat kebahagiaan lo juga. Dan gue tahu, kebahagiaan lo itu adalah kesembuhan. Iya 'kan?"

Perlahan, Aksa menggelengkan kepalanya. Sinar matanya yang redup tampak menatap Arza dengan lembut. "Bukan cuma itu, Kak."

"Apa lagi?"

"Kebahagiaan lainnya buat gue adalah berstatus sebagai adek lo."

Arza tergelak hingga pundaknya bergetar. Ucapan Aksa tidak ada yang lucu, tapi Arza seolah tergelitik. Lalu, setelah puas tertawa, Arza menghela napas panjang.

"Tetap bertahan, ya, Dek."

"Iya, pasti, Kak!"

•to be continued•

EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang