Bab 54 | Meyakinkan

2.6K 298 7
                                    

•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Eccedentesiast

Bab 54 | Meyakinkan

•••

"Arza, apa ini?"

Suara ayah yang biasanya lembut, kini terdengar tegas. Arza yang sedang memakan sup ayamnya lantas bergidik. Perlahan, ia menoleh, menatap ayah yang berdiri di sebelahnya.

"Apa, Yah?" Arza balas bertanya takut-takut. Ia bahkan berhenti makan dan meletakkan mangkuk supnya kembali ke atas meja.

Ayah meletakkan sebuah map ke atas meja. Pandangannya yang tajam menatap Arza dalam-dalam. Di hadapan mereka, bunda ikut diam.

"Formulir pendonoran organ." Ayah bersedekap. "Kenapa tiba-tiba kamu ngisi formulir ini?"

Arza menghela napas sejenak. Semua itu tidaklah tiba-tiba. Arza sudah memikirkan hal ini berulang kali. Bahkan, beberapa kali ia berkonsultasi dengan dosen-dosennya.

Bukankah mendonorkan organ adalah hal yang baik? Maksud Arza, dengan begitu, ada banyak orang yang mendapat kesempatan untuk merasakan bagaimana kehidupan yang normal. Lagipula, pendonoran itu akan dilakukan ketika dirinya sudah meninggal. Atau setidaknya mengalami kondisi di mana kemungkinannya kecil untuk bertahan hidup.

"Aku cuma mau berguna buat orang lain, Yah," ucap Arza pada akhirnya. Terutama untuk Aksa. Kalau bisa. Aku harap bisa.

"Keputusan ini kamu ambil seorang diri. Kenapa?" Ayah bertanya. Ia mengetukkan jemarinya di atas map tersebut. "Ini bukan hal sepele, Arza. Pihak keluarga juga harus tahu."

"Iya, Yah. Maaf."

Ayah menghela napas panjang. Ia duduk di kursi tepat di sebelah Arza. "Coba sekarang kamu jujur. Apa alasan kamu ngisi formulir ini."

"Adek," jawab Arza singkat. Ia kini menatap ayah. Senyumnya terbit, meski sebenarnya Arza masih takut karena tiba-tiba ayah bersikap tegas seperti itu. "Buat Adek."

"Emangnya, kamu seratus persen yakin oragn tubuh kamu cocok buat Adek?" Kali ini, bunda yang bertanya.

Arza menunduk sesaat. Kedua tangannya yang berada di atas meja mengepal. "Kalau pun nggak cocok buat Adek, ada orang lain, bukan?"

Ayah mendesah keras. "Anak ini ... percuma dilarang, Bunda," ucap ayah. Ia bersandar dan meluruskan kakinya. Kedua manik matanya menatap langit-langit ruang makan. "Ayah nggak akan pernah bisa ngelarang kamu. Bunda juga sebenarnya."

Bunda berdecak pelan. "Ya, Bunda cuma takut kalau tiba-tiba kamu ngelakuin hal yang enggak-enggak biar bisa segera donorin jantung kamu," cetus bunda. Ia memakan ayam gorengnya dengan ganas. Raut wajahnya tampak kesal. "Kamu itu anaknya suka nekat. Nggak dibolehin, bodo amat. Tetap aja dilakuin."

Arza nyengir. Pada akhirnya, ia mampu bernapas lega. Meski sebelumnya jantungnya seolah dipaksa untuk bekerja lebih keras karena suara ayah.

"Kamu nggak bakal ada niatan bunuh diri 'kan?" Ayah bertanya.

Sontak, Arza tertawa. Ia menutup mulutnya, berusaha menahan tawa yang mengalir keluar begitu saja. "Mana mungkin, Yah!"

"Awas kalau tiba-tiba Ayah dapat kabar kamu coba bunuh diri lagi."

Arza lagi-lagi hanya bisa nyengir. Ia lanjut memakan supnya, tidak peduli lagi dengan tatapan tajam ayah dan ucapan bunda yang masih mengeluhkan kenekatan Arza. Yah, ia sudah tenang, karena kini sudah dapat izin.

•••eccedentesiast•••

"Apa kabar, Sa?"

Aksa menaikkan sudut bibirnya tipis. "Mau gue jawab jujur atau dengan sedikit bumbu kebohongan?" Aksa menawarkan. "Karena gue ditaburi wijen, jadi jangan percaya sama jawaban gue."

Radeya di seberang sana bergidik. Padahal, malam ini ia sudah rela menghabiskan kuotanya untuk menelepon Aksa. Sekadar bertanya kabar dan memberitahu kabar apa saja yang ada di sekolah.

"Tinggal jawab, kok, susah?"

Aksa tertawa. Ia mengubah posisinya hingga kini benar-benar berbaring di atas ranjang. Kakinya sebelah ditekuk, sementara satunya lagi berada di atasnya. Benar-benar seperti di rumah sendiri.

"Gue udah baik banget. Kayaknya, gara-gara kemaren banyak pikiran jadi harus dirawat," jawab Aksa pada akhirnya, "Cuma besok belum bisa pulang. Soalnya gue harus echo dulu."

"Oh, gitu." Radeya tidak mengerti, tapi ia iya-iya saja. "Oh, iya. Lo udah nyerahin daftar universitas yang mau lo tuju ke sekretaris?"

Aksa mengernyit, kemudian menggeleng, meski tahu kalau Radeya tidak akan bisa melihatnya. "Belum. Gue belum bisa banyak pikiran, jadi belum bisa menentukan," ucap Aksa, "Tapi kayaknya, gue mau ikut saran ayah gue aja. Nggak apa-apa, deh, sesuai tradisi keluarga, yang penting gue dapat restu buat lanjut kuliah."

"Lo sesulit itu, ya, dapat restu?"

"Keluarga gue khawatir, De. Baru mikirin hal sepele begini aja udah bikin gue kolaps." Aksa terkekeh geli. "Kebayang nggak, sih, gue kuliah di kesehatan, yang stresnya luar biasa. Bisa-bisa, di tengah jalan mati kali, ya."

"Astaghfirullah, ngomongnya!" Radeya berucap cepat. "Kalau ngomong dipikir. Seenaknya ngomong mati, mati, mati. Emangnya, lo tahu kapan lo bakal mati? Bisa aja, gue yang mati duluan. Bisa aja, lo hidup sampai tua nanti."

Senyum sendu Aksa tampak terukir di wajahnya. Binar di matanya meredup. "Yah, gue juga berharap begitu," ujarnya, "Ayo, semangat, Aksa! Lo pasti bisa hidup sampai nanti. Lo pasti bisa ... hidup ...."

Aksa menjauhkan ponsel dari telinganya. Sejenak, ia menutup kedua matanya dengan lengan. Bibirnya bergetar.

"Hidup ... gue pengin terus hidup."

"Sa ... lo kenapa?"

Aksa menggeleng pelan. Ia kembali mendekatkan ponselnya. "De, bisa doain gue biar gue bisa hidup sampai nanti?"

Aksa tidak tahu bagaimana ekspresi Radeya di seberang sana. Hal yang ia tahu hanya kekehan Radeya terdengar. Diikuti oleh suaranya yang renyah. Cukup membuatnya senyumnya kembali terukir.

"Iya, gue pasti doain yang terbaik buat lo."

•To be continued•

A/n

Sumpah, Icha butuh tidur :( ini jantung Icha udah marah-marah karena dari kemaren istirahat malam tapi ga istirahat. Sekalinya tidur malah capek :(

Sedih.

Pengin cepet nyelesaiin cerita ini :(

Terus, aku merasa terharu karena ... WOY NGGAK NYANGKA UDAH LEBIH DARI 50K VIEWS. CERITA TIDAK JELAS NAN AJAIB INI!!!

Ya, aku lebay hehehehe

EccedentesiastWhere stories live. Discover now