Bab 53 | Kakak?

2.9K 270 65
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Eccedentesiast

Bab 53 | Kakak?

•••

Aksa sudah biasa dirawat di rumah sakit. Hampir seumur hidupnya, ia harus tidur di ranjang pesakitan tersebut. Bisa dibilang, kamar nomor duanya adalah ruang rawat. Sampai-sampai, Aksa sudah biasa dengan aroma disinfektan, code blue, code red, sempat pula sekali code green---yang disusul oleh code blue di kamarnya karena terlalu panik, sampai hal-hal aneh lainnya.

Banyak hal yang Aksa lewatkan selama berada di rumah sakit. Meski ponselnya tersambung pada jaringan wifi rumah sakit yang super cepat, tapi Aksa tidak bisa menyaksikan semua itu secara langsung. Seperti saat kelulusan SMP kemarin, Aksa tidak bisa hadir karena kondisinya yang menurun. Rayyan, sahabatnya, bersedia melakukan video call selama prosesi. Tetapi, Aksa juga ingin berada di sana. Ia juga ingin merasakan euforia itu bersama teman-temannya.

Malam ini, Aksa sendirian. Selain karena ruangannya memang hanya diperuntukkan untuk satu orang, baik Arza maupun kedua orang tuanya sama-sama sedang berada di luar ruangan. Katanya, Arza harus kembali bersiap-siap untuk kuliah. Ia harus membayar biaya semester, mengisi KRS, hingga datang ke kampusnya hanya untuk sekadar say hi ke kucing-kucing di kantin kampus. Bunda juga izin pulang sebentar. Katanya, bunda ingin membersihkan diri sekaligus menyiapkan pakaian Aksa untuk esok hari. Ayah lagi-lagi lembur di IGD.

Untung saja, Aksa sudah biasa. Kalau bosan, ia bisa memainkan ponselnya, menonton film, mengganggu perawat yang sedang berdinas, atau makan. Untuk opsi terakhir, agak sulit dilakukan karena memang makanan Aksa lebih diperhatikan. Selain itu, yang didapatkannya hanya biskuit cokelat dan buah-buahan.

Aksa menghela napas bosan. Ia sudah berkali-kali mengubah posisinya. Mulai dari berbaring, bersandar di sandaran ranjang, duduk di pinggir tempat tidur, sampai berbaring di sofa.

"Bosaaan!" keluh Aksa. Ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju jendela. Disibaknya gorden yang menutupi jendela. Di luar, lampu-lampu tampak bersinar. Cahaya dari kendaraan yang memadati jalanan Kota Jakarta mengisi malam ini.

Jika sedang terkurung di sini, Aksa pasti merasa iri dengan orang di luar sana. Meski panas, meski kadang harus menghadapi kepadatan lalu lintas, namun rasanya semua lebih baik ketimbang berbaring di ranjang rumah sakit dan menunggu kapan waktunya untuk dipanggil tiba. Banyak orang mengeluh dengan kehidupannya, tapi di sini, Aksa berharap untuk sekali saja ia dapat menjadi mereka.

Ponsel Aksa tiba-tiba berbunyi, membuat ia menoleh. Langkahnya yang terseok menghampiri nakas, tempat di mana ponselnya berada. Ketika Aksa membaca nama yang ada di layar, senyumnya terbit. Segera, Aksa menjawab panggilan tersebut.

"Halo, Kak!"

"Adek ..." Bukan suara Arza, tapi justru suara lirih bunda. "Kakak kecelakaan."

Aksa membeku di tempatnya begitu mendengar kalimat itu. Kedua kelopaknya membulat sempurna. Tangan dan kakinya bergetar, membuat Aksa hampir jatuh menghantam lantai. Lemah, Aksa meraih pinggiran nakas untuk mempertahankan posisinya.

"A-apa, Bun?" Aksa bertanya, berusaha untuk mengetahui keseriusan dari ucapan bunda. Tapi, Aksa juga tahu bahwa bunda tidak akan berbohong. Apalagi pada dirinya."

"Bunda lagi menuju rumah sakit sekarang. Adek tenang, ya, jangan banyak pikiran. Tenang aja, Kakak pasti nggak apa-apa, kok." Bunda berucap dengan tenang, namun Aksa dapat menangkap keraguan di nada suaranya.

Aksa tidak dapat berucap lagi. Lidahnya kelu. Kedua skleranya memerah, hingga kemudian setetes air mata mengalir dari sudutnya. Tubuh Aksa pada akhirnya luruh, meski ia sudah berpegangan pada sisi tempat tidur. Napasnya yang sesak mampu membuat nyerinya makin terasa hebat. Ponsel yang ada di genggamannya terjatuh begitu saja.

"Ka-kak ...." Aksa berbisik lirih. Kedua kelopak matanya terpejam, hingga membuat keningnya berkerut. Aksa meraih dada kirinya dan meremasnya. Ditahannya nyeri yang semakin menjadi-jadi.

"Adek ... Adek ...." Suara Arza terdengar memasuki gendang telinga Aksa. Dengan cepat ia membuka matanya dan menoleh ke asal suara.

Tepat saat itu juga, ia melihat sosok Arza dengan tubuh yang berdarah-darah. Ia berjalan mendekati Aksa dengan menarik kaki kirinya sendiri. Sementara itu, di genggaman Arza terdapat sebuah organ.

Itu jantungnya sendiri.

"Ini ... buat ... Adek ...."

•••eccedentesiast•••

Dengan cepat, Aksa membuka kelopak matanya ketika ia merasakan tepukan pada pundaknya. Napasnya terengah dengan tubuh yang basah oleh keringatnya sendiri. Ia menoleh, mencari siapapun yang menepuk pundaknya.

Saat itu pula, ia mendapati Arza berada di sebelahnya. Rautnya khawatir. "Lo kenapa? Mimpi buruk?"

Aksa menelan salivanya dengan susah payah. "Air ... air ..." pinta Aksa. Ia masih berusaha menetralkan napasnya yang memberat.

Segera, Arza memberikan segelas air untuk Aksa yang langsung diterima dan diteguknya hingga tandas. Sungguh, Arza makin merasa aneh dengan tingkah sang adik. Bergumam memanggilnya dalam tidur, berteriak, hingga saat Arza membangunkannya, Aksa seperti melihat setan.

"Lo mimpi apa, Dek?" tanya Arza begitu melihat Aksa sudah mulai tenang. Ia kembali meletakkan gelas kosong itu di atas nakas. "Mimpi buruk, ya? Jangan diceritain---"

"Gue mimpi lo kecelakaan, Kak," potong Aksa cepat. Ia menatap Arza takut-takut. Mimpinya terasa benar-benar nyata hingga ketika Aksa menatap Arza, rasanya ia menatap sosok Arza yang menyeramkan di mimpinya. "Terus ... terus lo tiba-tiba ngedatengin gue. Sumpah, sosok lo nyeremin banget. Abis itu, lo ... ngasihin ... lo ngasihin ... jantung ke gue."

Arza mengerjap tak mengerti. "Maksudnya?" Arza bertanya heran.

"Sosok lo itu ngasih jantung ke gue. Katanya ... katanya ... itu buat gue," ulang Aksa. Ia meraih tangan Arza lalu menggenggamnya erat. "Kak, maksudnya apa?!"

Arza membuang pandangannya. Ia jadi teringat formulir pendonoran organ yang baru saja diisinya tadi siang. Pandangannya menerawang.

Apa ... itu maksudnya gue ... bakal ngedonorin jantung gue buat Aksa?

Arza tersenyum tipis. Ia mengusap surai cokelat Aksa dengan lembut. "Tenang aja. Itu cuma mimpi 'kan?"

•To be continued•

A/n

Kejutan!

Ehehehe

Ini percakapan aku dan Mas Ar ketika ngetik part ini.

Icha: "Judulnya 'Hanya Mimpi', Za?"

Mas Ar: "Ketebak banget. Ganti-ganti."

Icha: "Ini ceritanya Aksa dihantuin sama penghuni RS 'kan?"

Mas Ar: "Gimana kalau kita buat lebih seram?"

Alhasil, malah Arza yang jadi setan :( maafin

EccedentesiastWhere stories live. Discover now