Bab 16 | Congenital Heart Defect vs Amaurosis-Fugax vs Hemofilia

4.8K 442 29
                                    

•••

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

•••

Eccedentesiast

Bab 16 | Congenital Heart Defect vs Amaurosis-Fugax vs Hemofilia

•••

Arza memasuki rumahnya ketika bulan sudah menyapa. Ia menguap, bersandar pada tembok, lalu melepaskan sepatu dan membiarkannya tergeletak sembarangan. Tubuhnya terasa benar-benar lemah. Entah karena aktivitas hari ini yang lumayan berat, atau karena sejak kemarin Arza belum istirahat.

Perlahan, Arza menghampiri sofa, lalu menjatuhkan tubuhnya begitu saja. Bukan ke sofa, tapi ke karpet bulu tebal yang ada di bawahnya. Masa bodo dengan adanya lebam di tubuh atau perdarahan di sendi. Arza benar-benar malas bergerak.

Arza membalik tubuhnya hingga ia mampu menatap langit-langit. Kedua manik hitam itu menerawang, entah ke mana. Tiga hal yang pasti, ada masa depannya, Aksa, dan keluarganya.

Selalu, Arza berpikir bahwa suatu hari nanti ia akan diusir dari rumah ini. Namanya akan dihapus dari kartu keluarga. Atau yang paling parah, Arza akan dibiarkan hidup sendiri, sementara ayah dan bunda membawa anak kandung mereka pergi.

Tapi, sampai di usia tujuh belas pun, Arza masih berada di sini. Itu berarti, ayah dan bunda menyayanginya 'kan? Mereka benar-benar tulus 'kan? Atau hanya karena ... ayah dan bunda merasa bahwa Arza membutuhkan semua itu? Karena ... hidupnya kemungkinan tidak akan lama?

Arza menggeleng cepat. Pikirannya barusan benar-benar asal. Untung saja, nyeri di lutut akibat tindakan sembarangannya barusan, mengalihkan semua itu.

Tergopoh, Arza bangkit setelah sebelumnya ia melihat lututnya. Ia mengangkat sudut bibirnya tipis, lalu berjalan menuju dapur.

Sungguh, Arza butuh batu es sekarang.

•••Eccedentesiast•••

"Adek, kamu ... kenapa?"

Bunda terkesiap begitu ia memasuki ruang rawat dan langsung mendapati Aksa senyam-senyum sendiri di atas ranjangnya. Setelah sebelumnya, bunda sempat mendengar gumaman dari dalam sana. Sontak, bunda takut. Bukannya apa, takutnya makhluk halus penunggu rumah sakit malah merasuki putranya itu.

"Kamu ... baik-baik aja 'kan?" tanya bunda sekali lagi. Meski ketika bunda perhatikan, wajah Aksa tampak normal---meski benar-benar pucat. Kedua netranya masih beriris cokelat, bukan putih. Lantas, bunda mengembuskan napasnya lega.

"Aksa baik-baik aja, kok," jawab Aksa cepat. Ia tidak tahu kenapa bunda bertanya demikian, jadi Aksa hanya menjawab asal. "Bun, Aksa ... kemarin serangan lagi, ya?"

Bunda duduk di sebelah Aksa. Kepalanya untuk sejenak menengadah. "Iya," balas bunda singkat. Ia tersenyum tipis, menunjukkan keindahan itu pada Aksa. "Tapi, Adek berhasil melewatinya lagi. Adek hebat!"

Aspek positif yang bunda lontarkan tidak serta merta membuat senyum Aksa mengembang. Sebaliknya, Aksa malah memejamkan matanya dan bergumam, "Apa itu benar-benar karena Aksa hebat, atau sekadar keberuntungan belaka?"

"Tentu karena Adek hebat. Nggak semua orang bisa ngelewatin hal semacam itu dengan selamat." Bunda mencoba menghilangkan perkataan negatif yang Aksa ucapkan barusan. Bunda meyakini bahwa kehidupan panjang Aksa sampai saat ini adalah karena kekuatan sang putra.

"Hahhh ... begitu, ya?" Aksa merasa sesak. Bukan karena oksigen yang mendadak ditarik dari sekitarnya, tapi karena ucapan bunda yang terlampau optimis. "Padahal, Aksa berusaha mikir yang positif, tapi kenapa nggak pernah bisa? Apa karena Aksa emang nggak diberkahi sama pikiran positif?"

Bunda tertawa renyah. "Adek ngomong apa, sih? Adek aja yang nggak mau buat nyoba berpikir positif." Bunda mengusap pipi Aksa yang dingin. Lalu, ia meraih tangan laki-laki itu. Sama dinginnya, namun ketika Aksa membalas genggaman itu, bunda merasakan kehangatan yang berbeda.

"Adek berhasil mematahkan vonis para dokter itu, bukan? Katanya, Adek nggak akan berhasil ngelewatin ulang tahun pertama Adek. Tapi nyatanya ... sembilan bulan lagi Adek bakal umur tujuh belas tahun." Bunda berdecak pelan. "Adek mau apa? Mau dirayain ulang tahunnya?"

"Bulan depan, Kakak ulang tahun." Aksa berucap, tidak nyambung dengan pembicaraan barusan. "Makan-makan, ya, Bun."

Bunda untuk sesaat tertegun. Bagaimana bisa ia melupakan bahwa satu bulan lagi, tepat delapan belas tahun ia mengangkat seorang anak laki-laki yang ditelantarkan di panti?

"Oh, iya. Pasti, dong. Setiap tahun begitu 'kan? Sekarang, kita telepon Kakak, ya. Kita tanya Kakak mau makan-makan apa," ujar bunda semangat. Ia mengambil ponselnya, lalu menghubungi nomor Arza dengan panggilan video.

Aksa tersenyum tipis, dan makin melebar ketika melihat wajah Arza di layar ponsel bunda.

"Hai, Kak! Apa kabar?"

•••Eccedetesiast•••

RICE; rest, ice, compression, elevation, adalah teknik yang biasa Arza gunakan jika lututnya kembali lebam. Mudah untuk dilakukan, serta tidak buang-buang biaya banyak. Lebam dalam skala ringan tentunya, karena jika sudah berat, ia membutuhkan faktor pengganti.

Arza saat ini sedang asyik mengompres lebam di lututnya sambil menonton televisi ketika ponselnya yang berada di atas meja bergetar panjang. Tanpa menunggu waktu dan tanpa melepaskan es dari lututnya, ia mengambil benda pipih berwarna putih tersebut. Panggilan video dari bunda terlihat di layar.

Segera, Arza menggeser layar untuk menjawab panggilan. Wajahnya tampak di sudut layar ponsel, sementara wajah Aksa dan bunda mendominasi. Senyum adiknya itu tampak lebar.

"Hai, Kak! Apa kabar?"

Suara penuh semangat dari Aksa terdengar, membuat Arza mau tak mau membalas senyumnya. "Baik. Lo gimana? Udah lebih baik?"

"Lo nggak lihat muka gue?"

"Pucat dan nggak bercahaya. Gue bisa lihat itu."

Aksa tampak tertawa. Walau di mata Arza, tawa itu palsu. Tentu saja, tidak ada hal yang lucu untuk ditertawakan.

"Gue hari ini kepikiran lo. Bulan depan, lo ulang tahun, dan rencananya gue sama Bunda mau ajak lo sama Ayah makan-makan. Lo mau makan apa?" Aksa tampak mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia menoleh menatap bunda, lalu kembali menatap layar. Wajahnya tampak panik. Berkali-kali ia mengerjap.

Arza yang menangkap tingkah aneh Aksa barusan lantas menyernyit heran. Kepalanya sedikit dimiringkan. "Kenapa, Dek?"

"Sebentar, Kak. Pandangan gue ... gelap?!"

•To be continued•

A/n

Why kita jahat sekali :")

EccedentesiastOù les histoires vivent. Découvrez maintenant