Bab 32 | Lelah

3.6K 349 16
                                    

•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••

Eccedentesiast

Bab 32 | Lelah

•••

Aksa tetap saja memaksakan diri. Meski tubuhnya terasa benar-benar lemah dan sesekali harus berhenti berjalan hanya untuk menarik napas, ia tidak juga berbalik badan. Lebih daripada itu, meski dirinya harus meminta bantuan pada Radeya yang sesekali menggerutu karena Aksa yang keras kepala, ia tetap melangkah, menuju kamar rawat nomor 401.

"Mau istirahat lagi?" tanya Radeya begitu langkah Aksa memelan, "Lo terlalu memaksakan diri, tahu. Jangan gini juga. Seharusnya, lo tahu batasan diri lo sendiri."

Aksa menggeleng pelan. Sepertinya, memang sifatnya yang keras itu sudah dibentuk dari sananya. Ia tidak lagi peduli pada apapun, termasuk dirinya. Alasannya, karena Aksa memiliki tujuan. Dengan begitu, selama tujuannya belum tercapai, Aksa tidak akan menoleh.

"Bodoh sekali manusia satu ini," gumam Radeya kesal. Meski begitu, ia tidak juga pergi. Walau kalau Radeya mau, ia bisa saja meninggalkan Aksa di sini sendiri. "Kalau tiba-tiba besok nggak masuk lagi, gue pastiin kalau guru-guru bakal ngasih hukuman ke lo."

Tertawa pelan, Aksa lantas merangkul pundak Radeya. Diseretnya laki-laki itu menuju kamar rawat sang kakak. Bodo amat dengan ancaman Radeya, mana mungkin guru-gurunya itu tega memberi hukuman pada dirinya, siswa yang terkenal  mengharumkan nama sekolah karena sering memenangkan olimpiade matematika?

"De," panggil Aksa, "Apa kalimat pertama yang harus gue ucapin pas ketemu kakak gue nanti? Berhubung kemarin dia hampir ngebuat jantung gue ini jadi tinggal kenangan."

Radeya mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit. "Mungkin ... sekali lagi lo begitu, gue pastiin nama lo hilang dari kartu keluaga selamanya, gitu," jawab Radeya. Ia terkekeh geli karena ucapannya sendiri. "Yah, mungkin itu yang bakal gue ucapin kalau tiba-tiba kakak gue collapse. Atau ... kalau kakak gue masih ada, gitu."

Aksa melepas rangkulannya. Ia merasa bersalah saat mendengar kalimat terakhir yang Radeya ucapkan. Seharusnya Aksa sadar, tidak etis membicarakan seorang kakak di hadapan laki--laki yang telah kehilangan kakaknya itu. Seharusnya, Aksa bisa menahan ucapannya dan bisa mengerti bagaimana perasaan Radeya.

"Maaf."

Radeya menaikkan sebelah alisnya. "Buat apa lo minta maaf?" tanyanya heran, "Kakak gue meninggal beberapa bulan setelah lahir, Sa. Gara-gara PJB. Yah, jadi setiap kali gue ngeliat lo, gue berpikir, apa kalau kakak gue ada sampai sekarang dia bakal kayak lo?"

Aksa menaikkan sebelah sudut bibirnya. Diliriknya Radeya yang masih setia berjalan di sebelahnya. Pantas saja Radeya kadang suka penasaran dengan kondisi Aksa. Kadang juga, Radeya suka menanyakan apa saja yang Aksa rasakan.

"Kakak gue nggak pernah ngerasain rasanya kehidupan walaupun itu cuma sampai usia satu tahun. Tapi, gue tahu, dia nggak perlu tersiksa terus sama pengobatannya. Kalau dia hidup sampai sekarang, mungkin penyakitnya bakal ngebebanin dirinya sendiri. Dia ... udah bahagia 'kan---" Radeya menoleh, menatap Aksa yang tiba-tiba berhenti berjalan. "---Sa?"

Aksa tidak menjawab. Justru, air mata menggenangi pelupuk matanya. Tangannya tanpa sadar meraih dada sendiri, lalu meremasnya perlahan. Senyumnya terukir, meski hal itu tidak dapat menutupi kesedihan yang mendadak meluap. Ucapan Radeya sederhana, tapi mampu membuat perasaan aneh kembali menyiksanya.

Apa ... hal itu yang akan Arza rasakan saat Aksa pergi suatu hari nanti?

•••eccedentesiast••

"Bunda, apa Adek bakal ke sini?" Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari bibir Arza. Meski baru saja sadar, tapi yang ada di pikirannya adalah sang adik. "Adek gimana, Bun? Baik-baik aja 'kan? Adek nggak kenapa-napa 'kan selama aku sakit?"

Bunda terpekur di tempatnya. Ia mengusap tangan Arza perlahan. "Kakak selalu tahu kalau Adek kuat 'kan?"

Arza lantas tersenyum lemah. "Kalau boleh jujur ... sebenarnya aku nggak bisa ingat siapa adek aku, Bun. Aku cuma ingat kalau aku punya adek. Tapi ... aku nggak tahu siapa. Aku udah berusaha buat ngingat, tapi kepala aku sakit. Bisa bantu aku, Bun?"

Bunda tidak tahu harus menjawab apa. Satu fakta yang didengarnya barusan cukup membuat dada bunda terasa sakit. Bunda tidak tahu bagaimana reaksi sang adik seandainya ia mendengar bahwa Arza tidak mampu mengingatnya.

"Pelan-pelan aja, Kak," balas bunda pada akhirnya. Ia berusaha untuk mengerti. Hal itu bukanlah sesuatu yang Arza kehendaki, dan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. "Bunda yakin, Adek bisa ngerti, kok."

Arza tidak yakin dengan ucapan bunda. Setelah sekian lama tidak bertemu dan dilupakan begitu saja. Andai Arza ada di posisi sang adik, dirinya pasti akan merasa benar-benar sakit. 

"Kenapa, nih, kok mendadak cemberut?" Bunda mencubit pipi Arza pelan, membuat laki-laki itu meringis. "Mana coba senyumnya? Jangan ditekuk gitu, dong. Nanti gantengnya ilang, gimana?"

Wajah Arza lantas memerah. Ia memalingkan pandangannya ke arah jendela. "Apa, sih, Bun?" gumamnya pelan. 

Bunda lantas tertawa. Ia suka saat melihat Arza malu-malu seperti itu. Bagi bunda, penantiannya selama ini terbayar sudah ketika melihat Arza tampak baik, meski masih harus melalui proses observasi yang lumayan ketat. 

"Bunda, kalau nanti Adek datang, jangan bilang dulu kalau aku nggak bisa ingat dia sepenuhnya, ya." Arza berucap. Matanya menerawang, menembus langit-langit kamar.

"Iya, Kakak."

•••eccedentesiast•••

Aksa bersandar di dinding, tepat di sebelah pintu masuk ke kamar rawat sang kakak. Napasnya terengah, kedua matanya terpejam. Sejak kondisinya memburuk beberapa hari yang lalu, sepertinya dirinya benar-benar mengalami penurunan yang drastis.

Atau mungkin implantable cardioverter defibrillator-nya sudah mulai kehabisan baterai?

"Sa, masuk nggak, nih?" Radeya menanyai keseriusan Aksa. Lihat saja, laki-laki itu sudah sangat pucat. Kalau dipaksakan, mungkin ia akan ambruk sebentar lagi.

"Masa enggak, sih? Udah sampai sini," jawab Aksa dengan cengiran di bibirnya. Seolah ia tidak peduli lagi, tubuhnya kembali tegak. Tangannya terangkat, lalu membuka pintu ruang rawat. Dengan langkahnya yang ringan, Aksa masuk ke dalam sana.

Ketika melihat Arza di atas ranjang, kedua binar di manik madu Aksa terlihat, membuatnya makin tampak indah dengan senyuman secerah matahari menghiasi. "Kakak!" panggilnya senang. Ia menghampiri Arza yang sudah menunggunya, dengan lengkungan di bibir yang sama indahnya.

Namun, hanya selangkah karena kemudian Aksa benar-benar ambruk.

Yah, sepertinya benar kalau baterai ICD-nya sudah mulai habis.

•To be continued•

A/n

Mohon maaf agak lama wkwk.

Aku lagi ga enak badan, makanya ga bisa dimakan hehe.

Btw, 'kan Arza nggak bisa ingat sepenuhnya. Kalau ternyata sosok yang dia anggap bunda, ternyata bukan bunda gimana? Kalau ternyata yang dari tadi bicara itu adalah wanita yang ngirimin dia hadiah gimana? Wkwkwk

Wkwkwkwkwk

EccedentesiastWhere stories live. Discover now