Bab 8 | Hadiah Misterius

5.6K 514 15
                                    

"Bunda nggak bakal ninggalin aku 'kan? Walau udah ada Adek, tapi Bunda nggak akan pernah pergi 'kan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bunda nggak bakal ninggalin aku 'kan? Walau udah ada Adek, tapi Bunda nggak akan pernah pergi 'kan?"

Bunda menggeleng. Senyumnya lembut, berusaha menenangkan Arza. "Bunda janji, apapun yang terjadi, Bunda nggak akan pernah ninggalin Kakak. Karena Kakak adalah anak Bunda."

•••

Eccedentesiast

Bab 8 | Hadiah Misterius

•••

Seperti pagi sebelumnya, terutama jika Arza sedang ada kelas siang, dirinya langsung berbaring di sofa ruang keluarga. Aksa sudah berangkat ke sekolah sejak tadi. Kini, tinggal dirinya sendiri karena bunda lebih memilih untuk masuk ke ruangan kecil tempatnya bisa menyetrika pakaian.

Arza menguap bosan. Diletakkannya ponsel di atas dadanya. Kedua netra beriris gelapnya tampak menatap ke arah televisi yang menampilkan film kartun. Hanya saja, Arza tidak sepenuhnya memperhatikan.

Sejak dulu---atau lebih tepatnya sejak menyadari bahwa dirinya adalah anak angkat, Arza sering memikirkan soal kedua orang tua kandungnya. Apa alasan mereka membuangnya dahulu? Apa karena dirinya tidak pernah diharapkan? Atau karena kedua orang tuanya memang tidak sanggup untuk merawat dirinya?

Ada banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Dan hal itu terkadang malah membuat Arza bingung sendiri. Meski begitu, ada satu jawaban yang selalu terngiang di pikirannya. Yaitu, karena kedua orang tuanya memang tidak mengharapkan keberadaannya.

Suara bel terdengar, membuat pikiran Arza buyar seketika. Dengan malas, ia bangkit dan berjalan menuju pintu utama rumah. Ketika pint mengayun terbuka, Arza mendapati sesosok pria berseragam oranye tampak berdiri di baliknya.

Alis Arza tertaut heran. "Ada apa, ya, Pak?" tanyanya penasaran. Kedua manik hitam legamnya memperhatikan pria itu dari atas ke bawah. Di genggaman kedua tangannya, ada sebuah kotak yang terbalut dengan kertas cokelat. Dari apa yang sekarang dipegang oleh pria tersebut, dapat Arza simpulkan bahwa dirinya adalah seorang kurir.

"Paket atas nama Arza Alterio."

"Paket?" Arza bergumam heran. Ia menerima paket yang disodorkan kurir tersebut. "Oh, yaudah, Pak. Makasih, ya."

Segera saja, Arza kembali masuk ke dalam rumah. Ditatapnya kotak yang kini sudah berada di genggamannya. Perlahan, ia duduk di sofa dan merobek bungkusannya. Hingga di lapisan terakhir, sebuah kertas tertempel di sana. Kalimat bercetak miring tertulis di sana. Isinya cukup singkat, tapi mampu membuat Arza bergidik.

Arza, semoga kamu menyukainya.

Tertanda,
Satu-satunya wanita yang pantas kamu panggil bunda.

•••Eccedentesiast•••

Aksara punya sejuta cerita yang disembunyikan di balik senyumnya. Ia lebih memilih untuk diam daripada harus mengotori dunia ini dengan air mata. Makanya itu, Aksa tidak pernah menceritakan masalahnya pada orang lain. Apalagi pada temannya.

Meski sedari tadi merasa sedikit nyeri di dada, Aksa memilih untuk duduk di bangkunya. Toh, rasanya tidak seberapa sakit. Hanya saja, kenyamanan Aksa memang sedikit terganggu.

Sebutir obat pereda rasa nyerinya sudah Aksa teguk. Kedua kelopak matanya mulai memberat. Entah karena efek obat, atau karena pelajaran Matematika yang memuakkan. Satu hal yang pasti, Aksa ingin hari ini segera berakhir, dan ia bisa berbaring nyaman di ranjangnya.

Istirahat masih tersisa tiga puluh menit lagi. Aksa belum makan siang, tapi nafsu makannya seolah menguap, ditambah dengan rasa kantuknya. Oleh karena itu, Aksa memutuskan untuk menidurkan kepalanya, berharap nyerinya menghilang.

Tapi, satu tepukan di pundaknya membuat Aksa kembali mengangkat kepala. Pandangan mata bulatnya lurus ke depan. "Maaf, Bu! Maaf, maaf!" teriaknya refleks, membuat sebagian besar siswa yang ada di kelas menoleh ke arahnya.

Suara kikikan geli terdengar dari belakang Aksa. Lantas, ia menoleh setelah puas mengusap dadanya. Langsung saja, kedua manik matanya menangkap sesosok laki-laki berdiri di belakangnya. Kelopaknya menyipit dan berubah tajam, kebiasaannya jika sedang kesal.

Biar Aksa perkenalkan dahulu. Laki-laki yang kini duduk di hadapannya adalah Radeya, teman sekelas Aksa yang hobi mencampuri urusan orang lain. Termasuk pada Aksa yang jarang terbuka pada orang lain.

"Hei, Aksara. Are you okay?"

Aksa tersenyum tipis. Matanya tidak menyipit, salah satu pertanda bahwa senyumnya barusan hanyalah formalitas belaka. "Sangat baik. Terima kasih sudah bertanya," jawab Aksa.

"Masa?"

"Serius, deh."

"Yaudah. Kantin, yuk."

Aksa menganggukkan kepalanya perlahan. Rasa nyerinya berusaha tidak ia acuhkan. Ia bangkit, lalu mengikuti Radeya yang sudah berjalan terlebih dahulu.

Suasana sekolah yang masih ramai pada jam istirahat begini. Beberapa siswa tampak bermain basket di lapangan meski matahari sedang bersinar terik. Banyak pula yang duduk di pinggir lapangan, di bawah pohon, bercengkerama dengan temannya sambil memakan bekalnya.

Sedangkan di koridor, Aksa dan Radeya berjalan bersama. Berbincang tentang pelajaran hari ini, ataupun hal-hal yang terjadi beberapa hari ke belakang saat Aksa tidak bisa masuk sekolah. Yah, setidaknya, Aksa tidak ketinggalan gosip terbaru yang saat ini tersebar di penjuru sekolahnya.

Hingga langkah Aksa dan Radeya terhenti karena tiba-tiba saja, seorang laki-laki mencegat keduanya.

"Ow, kayaknya anak kesayangan guru ini udah masuk sekolah lagi. Kirain mau nyogok guru lagi biar bisa bolos, tapi nggak dapat hukuman apa-apa."

Aksa memincingkan kedua matanya. Ditatapnya laki-laki yang tersenyum sinis di hadapannya itu. Perlahan, ia menarik napas panjang, berusaha tenang. Tapi, tidak dengan Radeya.

"Gue kira, setelah sekian lama nggak ketemu, hobi ngomong ngawur lo itu udah nggak ada. Ternyata, masih tetap sama, ya." Radeya berdecak pelan. "Lagian juga, bolos? Bukannya yang hobi bolos dan nyari masalah itu lo, ya?"

Kendra, laki-laki itu, meringis pelan. Kedua lengannya terlipat di depan dada. "Radeya ... masih suka ikut campur urusan orang, ya, sampai sekarang?"

Radeya menggeram. Ia maju, namun Aksa langsung menahannya. Tangan Aksa dengan lembut langsung menarik lengan Radeya.

"Katanya mau ke kantin. Ayo, keburu masuk," ucap Aksa, berusaha menenangkan, "Nggak usah diacuhin orang kayak gitu."

"Oh, ya. Gimana kabar jantung lo yang rusak itu? Masih betah berdetak buat tuannya yang nggak berguna itu?"

Kedua tangan Aksa mengepal. Ia ingin membalas, tapi rasanya tubuhnya tidak berkehendak demikian. Makanya itu, Aksa berusaha menahan semuanya. Kedua kakinya terus berderap menuju kantin. Telingannya seolah tuli pada setiap ucapan Kendra yang menusuk hingga relung dadanya.

"Gue mau ngasih pelajaran buat orang itu!" ujar Radeya seraya berusaha melepaskan pegangan tangan Aksa pada pergelangan tangannya, "Enak banget dia ngomong sembarangan."

Aksa tersenyum tipis. Ia menunduk dalam. "Nggak apa-apa," gumamnya. Lalu, ia kembali menatap Radeya. Senyumnya lebih lebar dari sebelumnya, seolah menunjukkan bahwa Aksa baik-baik saja.

"Nggak usah begitu, gue nggak apa-apa, kok. Tenang aja."

•to be continued•

A/n

Wow, 1k+ views. Thanks, Guys!

EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang